21 February 2010

01 February 2010

Those 18 Cups of Coffee

Semua orang yang mengenal saya tahu betul bahwa saya adalah seorang coffee addict – penggemar berat kopi. Bisa dibilang saya sudah mencoba berbagai macam rasa dan jenis kopi, mulai dari klasik yang kental dan pekat, kopi instan dengan aroma-aroma yang (katanya) asli vanilla atau mocca, bahkan kopi olahan dengan topping ice cream atau whipped cream di atasnya. Saya menikmati semua jenis kopi itu, dan bisa menghabiskannya tanpa protes. Bahkan ketika cangkir yang digunakan bukanlah cangkir porselin, tetapi hanya gelas belimbing biasa. Tetap tidak mengubah persepsi saya terhadap kopi dan larutan-larutan yang sehari-hari menjadi teman insomnia saya itu.

Seperti saat ini, saya ditemani secangkir kopi panas. Kapal api hitam. Klasik. Kental. Pekat. Dan tentu saja rasanya pahit. Sebanyak apapun gula yang ditambahkan tetap tidak bisa mengubah kekentalan kopi jenis yang satu ini. Malah gula yang terlalu banyak itu akan membuat kopi klasik kehilangan keklasikannya. Aneh sekali ya.

By the way, hari ini (barusan) saya ulang tahun. Delapan belas. My favorite number. Biasanya pada detik-detik pergantian umur saya, saya selalu menanti-nantikan hadiah-hadiah dan moment meniup lilin dengan jumlah umur saya. Tapi sekarang tidak. Saya justru ditemani secangkir kopi kapal api klasik dan facebook (yang mulai penuh dengan ucapan selamat). Saya terlihat begitu dewasa dengan ketidaktertarikan saya akan balon, kue, dan hadiah. Tetapi sebenarnya (dalam lubuk hati saya yang paling dalam), saya enggan menjadi tua.

Menjadi tua berarti banyak hal. Semakin berat tanggungjawab yang harus saya pikul, semakin berat hidup saya dengan tuntutan ini-itu, semakin sedikit waktu yang saya punya, semakin berkurang waktu untuk bermain-main, sudah saatnya memikirkan masa depan, dan sebagainya. Jujur saya takut dengan masa depan saya. Saya takut tidak bisa menjadi apa yang saya mau, apa yang saya impikan. Saya takut untuk jatuh terpuruk dengan luka-luka di sekujur tubuh saya. Saya takut tidak bisa bangkit kembali dari keterpurukan dan menyembuhkan luka-luka itu. Pokoknya saya takut. Saya takut menjadi tua.

Saya ingin terus menjadi anak-anak. Bebas bermain, bebas melakukan apapun yang saya mau, bebas berekspresi, bebas menangis, bebas tertawa, dan bebas berteriak tanpa beban. Bukan berarti sekarang saya tidak bisa melakukannya, tapi rasanya janggal bila saya (dengan umur yang sudah segini tua) mencoba menjadi anak-anak (atau kekanak-kanakan). Jelas semua orang akan menertawakan dan menganggap saya aneh. But yeah, I love to be a kid. Sampai sekarang saya masih menyukai film kartun – spongebob squarepants, hey arnold, fairly odd parents; saya masih mencintai ice cream coklat dengan wafer dan choco chips; saya masih suka bermain gelembung sabun dan petak umpet; saya masih menyukai baju-baju dengan warna cerah dan motif lucu-lucu. Just like when I was 8.

Sama seperti 10 tahun lalu, saya akan menambahkan gula banyak-banyak dalam kopi klasik saya (yang dulu saya buat karena saya juga ingin minum kopi seperti ayah). Tidak hanya tiga sendok teh gula, tetapi lima. Saya akan menambahkannya lagi dengan creamer atau susu atau bahkan oreo, supaya kopi yang saya minum akan menjadi manis – bahkan sangat manis – atau terlalu manis. Yang penting saya tidak merasakan rasa pahit dari kopi itu. Atau saya akan membuatnya di mug bergambar mickey mouse kesukaan saya, supaya kopi itu terlihat menarik dan saya memiliki keinginan untuk menyeruputnya. Sungguh usaha yang bagus bukan? Tetapi pada akhirnya saya tidak pernah bisa menghabiskan kopi yang saya buat. Pada awalnya memang menarik – sesuatu yang berwarna hitam (kadang hitam-putih dengan berbagai campuran produk) di dalam mug saya yang bening dengan gambar mickey mouse dan minnie mouse bermain-main – jelas sangat menggiurkan. Pada tegukan pertama saya berhasil menghabiskan sepertiga kopi. Pada tegukan kedua saya sudah menghabiskan seperempatnya. Lalu pada tegukan ketiga, kopi itu terasa sangat manis, sangat sangat sangat manis, dan tenggorokan saya mulai bereaksi. Pada menit selanjutnya, mug itu sudah berada dalam bak cuci piring. Dengan kopi yang masih tersisa setengah. Saya membuang-buang kopi, gula, dan oreo bukan? Semuanya berakhir sia-sia.

Lalu saya mulai berpikir, alasan saya ingin minum kopi pada waktu itu bukanlah karena kesukaan saya terhadap kopi, bukan pula karena saya ingin minum kopi, bukan pula coba-coba. Tetapi karena saya ingin seperti ayah – yang minum kopi klasik dengan 3 sendok teh gula, tetapi bisa menikmati kopi itu dan menghabiskannya tanpa sedikitpun mengeluh. Jelas rasanya pahit, lebih pahit dari kopi yang saya buat tadi (dengan 5 sendok teh gula, creamer, dan oreo). Jelas lebih kental dan pekat daripada punya saya (karena ayah menggunakan tiga sendok teh kopi, bukannya satu seperti punya saya). Tetapi kenapa beliau masih bisa menikmatinya dengan santai, menghabiskan segelas kopi itu dalam waktu berjam-jam tanpa sedikitpun mengeluh akan rasanya yang pahit?

Setelah saya ‘minum delapan belas gelas kopi’, saya mendapat jawabannya. Bukan salah kopinya. Bukan salah gulanya. Bukan pula salah oreo. Semua ini terjadi karena saya memaksa kopi yang saya buat untuk menjadi sesuai dengan selera saya. Saya mencampuradukkan ramuan yang salah. Saya ingin kopi saya manis, tetapi saya menambahkan terlalu banyak gula sehingga rasanya terlalu manis. Lalu saya akan mencoba mengurangi rasa manis kopi itu dengan menambahkan air panas. Tetapi hal itu justru membuat kopi saya hambar. Dan saya akan menambahkan gula lagi sampai kopi itu terasa pas. Sayangnya, rasa kopi itu tidak pernah pas. Saya menambahkan air dan gula terlalu banyak, dan saya membuat kopi itu menjadi encer. Begitu seterusnya sampai saya menyerah dan membuang semua percobaan saya ke bak cuci piring. Saya justru membuang-buang bahan dan melakukan sesuatu yang sia-sia. Jelas, saya tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuangnya begitu saja.

Sama seperti hidup saya selama ini. Saya mencoba menutupi rasa pahit dengan menambahkan rasa manis yang terlalu banyak. Sampai akhirnya menjadi terlalu manis dan saya muak dengan kemanisan itu. Saya hanya melihat dari satu sisi rasa: pahit atau manis, bukan pahit dan manis. Saya tidak pernah mencoba untuk meresapi rasa yang ada. Saya tidak pernah mencoba mengkombinasikannya. Saya hanya ingin rasa yang saya sukai, dan membuang rasa yang saya tidak suka (atau mencoba menghilangkannya dengan menambah ‘rasa manis’ yang lain). Parahnya, saya tidak mau mencoba merasakan rasa pahit itu. Padahal dari rasa pahit itulah nantinya saya akan mendapatkan rasa yang pas – rasa kopi klasik seperti yang saya inginkan, pahit tetapi manis.  

Pada kopi ke delapan belas saya hari ini, saya mencoba membuat kopi dengan ramuan yang benar: dua sendok kopi kapal api klasik, air panas, dan tiga sendok gula dalam mug putih kesukaan saya. Pada awalnya memang terasa pahit. Saya sempat berhenti dan berpikir untuk meninggalkan kopi ini. Lalu kopi itu mengendap. Ampasnya terkumpul di dasar. Saya mengaduk kopi itu lagi dan mencoba merasakannya. Panas dan masih pahit. Tapi dari rasa pahit itu muncul sensasi yang memaksa saya untuk minum seteguk lagi. Masih terasa pahit. Lalu saya mencoba merasakan rasa pahit dari kopi yang saya buat. Menikmatinya seteguk demi seteguk. Perlahan-lahan. Sambil mendengarkan suara jangkrik beradu dengan malam. Tanpa sadar saya sudah menghabiskan secangkir kopi. Tanpa mengeluhkan rasa pahit – bahkan saya tidak merasa pahit sama sekali. Rasanya pas dan nikmat.

Mungkin harus begitu caranya. Tidak perlu dipaksa untuk menjadi manis. Tidak perlu dipaksa untuk dihabiskan. Tetapi dari rasa yang tidak manis itu akan muncul rasa yang berbeda, yang memaksa saya untuk meneguk lagi kopi pahit itu, merasakan (sedikit) rasa manisnya, sampai akhirnya tidak ada setetespun kopi yang tersisa. Bahkan ampasnya pun tidak.







Terima kasih untuk setiap tegukan kopi klasik ini, teman.
You are my bittersweet cups of coffee and I wanna keep drink you all.

* this is my birthday reflection. Happy Birthday to me, anyway :)