19 August 2010

A Man Behind The Lover

Malam mengizinkan gelap mendisfungsikan lensa mata, memaksa retina melihat dalam gelap dan hanya menangkap bayang-bayang. Tapi aku tak peduli. Bukan birunya langit yang ingin kulihat, bukan pula mencari benda yang hilang. Bukan karena hal-hal tersebut aku membuka mata. Aku hanya kehilangan kemampuan untuk memblokade fungsi saraf motorik dan sensorik agar dapat tertidur. Aku lelah dengan semua ini.

Aku tidak pernah memilih untuk mengenalnya. Permainan ruang dan waktu yang sanggup mempermainkan garis cakrawala, pada akhirnya mampu mempertemukan aku dan dia pada suatu ujung waktu; dalam sebuah konsep abstrak yang sulit ditemukan korelasinya. Bola kristal tak mampu membaca pertanda, begitu pula interpretasi daun teh atau berjalannya logika. Realitanya, dia sudah tercapture (dengan pose dan pencahayaan yang tepat).

Sungguh, ini sungguh mengganggu. Bukan karena permainan jepretan karet yang terlontar dari belakang. Bukan pula permainan kata-kata rayuan dalam pesan-pesan singkat. Bukan pula bayangan tersembunyi yang menguntit diam-diam. Bukan. Ia hanya diam. Tapi diam itu menggangguku, dengan cara yang sangat tidak general.

Dan spontan! Tanpa aba-aba. Saat itulah pertama kali aku percaya akan kepastian sesuatu yang kasatmata selain ilmu pasti. Dalam perasaan ini tidak ada jaminan kemutlakan, karena tidak ada rumus berangka untuk memecahkan problemnya. Namun entah mengapa, aku begitu yakin, perasaan ini benar-benar ada.

'Apa yang begitu special dari dia, sampai-sampai kau begitu terbius?'
Aku tak bisa menjawabnya, karena menurutku, ia adalah kesempurnaan itu sendiri. Aku tidak bisa menyebutkan partikel-partikel kecil yang membentuk kesatuan kesempurnaan itu. Smart, yes. Mature, of course. Hillarious, yeah. Good figure, absolutely. Art-ist, yeaah. Kalau kisah ini adalah sebuah lakon teater, maka dari awal mula pencitraan, dia adalah sang tokoh utama. Pangeran berkuda putih yang akan memerangi penyihir jahat demi mendapatkan sang putri (dan nantinya akan hidup bahagia selamanya).

Kami merajut pelangi bersama. Menyatukan spektrum-spektrum warna dan menjadikannya satu kesatuan. Aku membiarkan pena memulai kisahnya, memaparkan lembaran yang kusut, dan membagi cerita yang kita dekap erat. Membiarkan sejenak untuk kita menelaah. Mengurai alfa hingga zero. Kita memang amatir, tapi kita bebas membentuk. Memadukan sejuta spektrum warna. Dan menjadikanmu candu bagiku.

Kata orang, candu itu merupakan zat adiktif yang berbahaya. Kenikmatannya begitu riil, namun sifatnya sementara. Setelahnya, timbul siksaan-siksaan yang tak memiliki ampun. Meluluh lantakkan sistem syaraf otak dan menciptakan ilusi-delusi yang tidak masuk akal.
Tetapi candu masih kalah bahaya bila dibandingkan denganmu, #koala. Zat adiktif yang ada di dalam dirimu terus menyerang tanpa memberikan satu detikpun waktu untuk beristirahat dari bayangmu. Menimbulkan rasa sakit yang luar biasa mengoyak-oyak; kondisi siksaan terparah yang bisa dirasakan manusia.

Dia adalah esensi nyata dari keindahan. Segala nikmat surga dunia ada pada senyumnya. Matanya tajam sarat akan kecerdasan. Wajahnya tegas, dengan stuktur kulit yang halus dan putih. Setiap melihatnya, aku merasa seluruh kata lenyap dari otakku. Lidahku kelu. Kutundukkan kepalaku dan berharap menjadi invisible. Semua tulangku terasa lemas, tak sanggup untuk bergerak. Aku merasa kehilangan kendali akan seluruh badanku. Otakku tidak dapat bersinkronisasi dengan seluruh sendi tulangku.

Masalahnya adalah, kami terjebak dalam suatu titik bumi, dimana dorongan gravitasi magnetis yang kuat menyebabkan spektrum warna yang selama ini kita rangkai harus berhenti. Berakhir atau tidak, entahlah. Hanya saja kutub-kutub itu memaksa kita untuk bertolak. Kita berbeda. Keyakinan itu meyakinkanku pada resolusi tentang hujan badai sore hari, yang membagi antara langit dengan pelangi. Menggelegar, dan pada akhirnya menutup lembaran yang basah yang belum sempat terjamah.

Kita berada dalam dua ruang berbeda, yang tidak mungkin dipersatukan kecuali oleh jembatan magis. Meskipun (mungkin) pada suatu hari nanti, aku berjanji akan menemukanmu. Merangkul mimpi-mimpi, menyambut satu-satu sang mentari, melebur batas-batas biru dan abu-abu langit menjadi pelangi.

I think I'm madly in love with you, #koala. And I hate this

(Hey, ini rahasia!)