14 September 2011

Xoxo



Gimme your kiss this morning
and I'll know that
tomorrow you'll still be here


Counting time
and gone.

09 September 2011

Southern Serenade

Kita memeluk waktu agar tak beranjak,
Yang menghanyutkan kita dalam tiap detiknya
Menjamah malam
Merayap dalam kilauan kuning kemerah-merahan
Menimpa pada garis yang tak kita terima
Kamu, aku, kita terpaut dengan waktu
Yang mengikat dengan semu

“Coba pegang detik itu!! Dan aku akan menarik menitnya
Supaya tiap jam tak pernah terbentuk!!”

Namun kita tak bisa,
Mereka tetap berlari ke arah kita: mencoba memisahkan hunian yang kita miliki
Memaksa untuk meninggalkan rongga
Yang memberi kesempatan bernafas

“Kita benci ‘waktu’ itu!!”

Yang terus mendorong kita mendapatkan samar
Yang mulai menghilang.

Sore ini engkau begitu dekat, dangkal dengan batasan air
Menyentuh ujungnya dan menelan perlahan
Menimbulkan perubahan romantisme di petang ini

Disana kamu tenggelam
Menjalani ketentuan-ketentuan yang tak bisa engkau tinggalkan
Dan hilang dalam serambi petang

Sore ini engkau begitu indah
Dan aku hanya berharap
Di senja selanjutnya, aku bisa kembali
(lagi)


Gubernur DIY dan Jabatan Tradisionalnya

Asumsi Daerah Istimewa tidak dapat dipisahkan dari Kota Yogyakarta. Selama bertahun-tahun Yogyakarta dianggap sebagai daerah khusus, karena memiliki pemerintahan yang diurusi sendiri. Dalam hal ini, Gubernur Yogyakarta sekaligus merupakan pemimpin kerajaan lokal. Dengan kata lain, yang menjadi Gubernur haruslah Raja dari Kerajaan Mataram.

Selama bertahun-tahun, masalah keistimewaan Yogyakarta tidak pernah terusik. Masyarakat Kota Yogyakarta sendiri tidak memikirkan masalah itu, selama mereka bisa hidup nyaman dan tentram dan mereka tidak kesulitan bahan pangan. Pemerintah Kota Yogyakarta pun tidak ambil pusing dengan kesepakatan lampau yang memang sudah berjalan dengan baik dan tanpa masalah. Namun dewasa ini persoalan itu mulai diungkit. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa Sri Sultan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara tidak langsung hal ini memberikan implikasi atas keistimewaan Yogyakarta. Dalam Kapanlagi.com disebutkan Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Dr Subakdi Soemanto dan warga bereaksi kencang, dengan menganggap, tanpa Sultan disertai kewenangan politik serta pemerintahan, fungsi pengayom rakyat hilang, begitu juga keistimewaan Yogya amblas. 

Berbagai polemik di media, demo, dan pendapat masyarakat Yogyakarta tentang pemilihan Gubernur mereka belum sampai pada keputusan yang bisa memberi kelegaan pada semua pihak. Pemerintah pun belum bisa mengambil sikap tegas sehingga masalah suksesi Gubernur DIY tetap mengambang. Hal ini wajar, karena ada banyak pihak dan kepentingan yang menjadikan hal tersebut semakin kompleks. Jika dilihat dari kacamata sosio-politis, keadaan mengambang tanpa keputusan dan kejelasan tersebut sangat natural mengingat Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki sejarah politis yang “istimewa” dan benar-benar berbeda dengan wilayah lain. Mayoritas masyarakat DIY, bahkan pasca kemerdekaan RI, tetap kraton-eoriented dan menganggap Sultan penguasa yang istimewa dan “berbeda” dari presiden RI. Sultan merupakan pemimpin adat, spiritual, dan politis karena sekaligus Gubernur. Perasaan sebagian besar masyarakat Yogyakarta terhadap Gubernur mereka diwarnai oleh kefanatikan terhadap sosok yang, sebagaimana dikatakan oleh Soebakdi Soemanto, “pengayom.” Dengan demikian, Gubernur DIY bukan sekedar pemimpin politis melainkan pemimpin yang benar-benar khusus bagi masyarakat. 

Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki sejarah politis tersendiri. Yogyakarta dalam perspektif politik memiliki keistimewaan yang mendasar. Sejak Indonesia menyatakan dan dinyatakan merdeka, Yogyakarta secara resmi, melalui Sri Sultan Hamengkubuwono IX, menyatakan bergabung dengan negara Indonesia dan mau menjadi bagian dari negara Indonesia. Namun Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menambahkan bahwa urusan dalam kota akan diurusi oleh Kasultanan Yogyakarta. Dalam Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan bahwa Yogyakarta menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sesudah itu Sri Sultan Hamengku Bowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (http://anggara.org/2007/06/07/otonomi-khusus-dalam-hukum-internasional-catatan-kritis-untuk-keistimewaan-yogyakarta/).

Jika kemudian pemilihan Gubernur dilakukan dengan sistem yang sama dengan sistem pemilihan pemimpin politis lain, wajar bila masyarakat merasa tidak suka karena aspek-aspek spiritual, kraton-oriented, dan sebagainya tidak akan terwakili. Terlebih, sistem pemilihan tersebut akan memungkinkan teprilihnya Gubernur yang non-keturunan Sultan. Sebagaimana dikatakan oleh John E. Farley dalam bukunya Sociology, power atau kekuasaan tidak selalu diperoleh dengan kekerasan atau konflik (1990:387). Farley juga mengutip pendapat Max Weber bahwa salah satu sumber kekuasaan yang penting adalah otoritas. Individu yang memiliki otoritas, menurut Weber, dengan sendirinya memgang kekuasaan. Dengan kata lain, orang menerima saja hal tersebut. Salah satu contoh hal ini adalah otoritas tradisional yang didasarkan pada praktek-praktek tradisi yang turun-temurun atau adat. Model kekuasaan tersebut, menurut Farley, seringkali menyangkut elemen-elemen sakral, magis, spiritual sehingga siapapun yang melawannya cenderung dianggap menentang adat dan tradisi serta takdir Allah. Sebagai contoh, kekuasaan atau otoritas yang dimiliki oleh para raja atau ratu (Farley.1990:388). Demikian pula tampaknya sikap dan pandangan masyarakat Yogyakarta terhadap Gubernur mereka. Karena selama ini Gubernur adalah Sultan, maka pemilihan yang sesuai tradisi puluhan tahun sudah mengakar dan diterima dengan mantap oleh rakyat. Jika kemudian ada wacana berbeda, penawaran sisetem pemilihan yang tidak sama, maka gejolak pun muncul.

Ketika masyarakat semakin plural dan terdidik, dan tradisi semakin ditinggalkan, sistem pemilihan yang lama sebenarnya menghadapi tantangan. Pendapat bahwa sistem pemilihan Gubernur DIY tidak demokratis juga masuk akal. Ketika masyarakat Yogyakarta tidak lagi kraton-oriented tetapi academic-oriented karena Yogyakarta menjadi pusat kampus, sistem pemilihan yang selama ini dianggap tidak bermasalah tiba-tiba dipertanyakan karena dianggap tidak demokratis dan tidak melibatkan rakyat. Relevansi sistem election berdasar garis keturunan dan “keistimewaan” DIY sebagai pusat budaya dan kraton dengan pola kehidupan masyarakat yang sangat berubah menjadi problem riil wilayah ini. 

Barangkali, di era awal kemerdekaan, sistem pemilihan berdasar tradisi dan keturunan masih relevan dan sesuai. Barangkali, pada waktu itu hingga tahun 80-an, ketika  Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sekaligus negarawan dan politikus, masih menjadi pemimpin politis dan spiritual yang berwibawa, model suksesi tersebut masih bisa diterima karena pada dasarnya beliau memang panutan yang oleh sebagian masyarakat dianggap “pengayom” dan Sultan dalam artian yang sesungguhnya. Ketika masyarakat semakin kritis dan dalam banyak hal “tidak membutuhkan” kraton, kebutuhan emosional dan keterikatan dengan kasultanan Yogyakarta tidak sebesar dulu lagi. Generasi muda masa kini bahkan sudah tidak merasakan kontribusi kraton pada kehidupan mereka. Dulu, barangkali teori Anthony C. Zinni sangat sesuai untuk menjelaskan model pemilihan berdasar tradisi tersebut:

The process of creating democracy may be destabiliting and bring unpredictable consequences. Elections are good, but not in every society. Without an educated electorate, without substantial a viable political parties, without a viable and institutional structure to elect into, the act of holding an eleciton is meaningless.(Zinni, 2006: 111)

Ketika negara baru saja terbentuk, manakala rakyat baru saja menghirup kemerdekaan, segala sesuatu belum tertata dan banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Partai-partai bermunculan secara sporadis dan membawa janji yang sangat membingungkan masyarakat yang belum terdidik. Dalam kondisi seperti itu, wajar bila sosok Gubernur yang sekaligus pemimpin lokal sangat melegakan masyarakat.

Tetapi, ketika era berganti dan tata masyarakat berubah seperti dewasa ini, sistem yang sebelumnya dianggap prima belum tentu masih sesuai. Semua tergantung pada masyarakat, seperti yang dikatakan Zinni:

Order and stability return to failed, failing or unstable states when their institutions regain sufficient strength to sustain them, and / or their environtment can gain protect and provide for them. Rebuilding institutions or the environment can come from within – people can raise themselves up by their boothstraps – or with help from outside ( Zinni,  2006: 112 ).

Kalau konflik suksesi Gubermur kemudian mencuat, hal itu merupakan sesuatu yang wajar karena, sebagaimana pendapat Zinni di atas, membangun kembali suatu organisasi atau lingkungan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dari dalam dan dari luar. Dari dalam, berarti dari masyarakat itu sendiri sedangkan dari luar berarti oleh pihak dari luar masyarakat tersebut. Dalam konflik atau gejolak suksesi Gubernur DIY, masyarakat Yogyakarta sendiri akan sulit mengatasinya karena untuk masa kini, masyarakat Yogyakarta masih didominasi warga yang cenderung kratonis. Perlu pihak luar, misalnya Menteri Dalam Negeri untuk menegaskan dan mermberlakukan sistem yang mestinya paling ssesuai. Tapi, jika Mendagri menetapkan sistem yang baru, gejolak baru akan timbul karena seperti yang dinyatakan oleh Teori Struktural Fungsionalisme ( Talcott Parsons), kalau dalam sebuah organisasi atau masyarakat ada satu fi\ungsi yang terganggu, maka fungsi lain akan kacau. Demikian pula fungsi sebagian warga DIY akan terganggu oleh sistem pemilihan Gubernur langsung sehingga  “kenyamanan” dan “keseimbangan” masyarakt akan terganggu pula karena aspek-aspek relijius, politis, kratonis, yang selama ini dipegang teguh diasumsikan akan lenyap oleh pemilihan model baru. Dengan demikian, perubahan yang mengganggu salah satu unsur tersebut akan mengganggu seluruh sistem masyarakat. Kesimpulannya, khusus untuk DIY, demokrasi dan sistem pemilihan Gubernur dengan pemilihan langsung justru kurang menguntungkan karena tidak mengakomodasi kebutuhan masing-masing “unsur” masyarakatnya.

Pemilihan langsung Gubernur DIY belum bisa dilakukan jika anggota masyarakat yang masih kratonis masih mendominasi tatanan masyarakat DIY. Sistem pemilihan lama Gubernur DIY yaitu berdasar garis keturunan Sultan untuk saat ini masih relevan dan tidak melanggar demokrasi. Dalam artian, sebagian besar masyarakat justru menginginkan hal itu, tidak merasa dirampas hak pilihnya.

(Per)jalan(an)


Mengapa engkau berdiri angkuh di atas sana?
Hingga aku harus menengadahkan kepalaku
Hanya untuk sekedar menampar tipis
Yang seperti beberapa mili di depanku

Tapi aneh,
Aku tak mampu menjangkaumu.

Di lain hari aku mencoba
Memanjat tebing ini, dimana kakimu berpijak

Dan setiap selangkah aku berhasil menapak
Terlihat engkau seperti ke atas pula

Entahlah,
Kepalamu hampir menyentuh biru yang terluka.

Disana engkau terlihat semakin angkuh
Tawamu mengisyaratkan ejekan

Detik berikutnya, langkahku melemah
Tersadar aku pada transparansi dunia
Semua begitu jelas, tapi aku menendangnya
Melompat dan mencoba tak melihat
Kembali menapak pelan _ jatuh

Selang waktu aku lupa dengan kokohnya dirimu
Jauh di atas sana, tak tersentuh...
Menyempurnakan nafasku untuk tergugah
Melihat ke bawah, dan heiii
Aku menemukannya!

Sendangsono, 26 Agustus 2011, sebuah refleksi.

Gadis Pantai: Gambaran Posisi Perempuan Dalam Dunia Kepriyayian Jawa

Sebuah resensi novel karya Pramoedya Ananta Toer



Pramoedya Ananta Toer selalu berhasil mengubah persepsi seseorang akan suatu cerita. Yang beliau ceritakan bukanlah cerita dengan banyak istilah ilmiah, atau cerita dengan bahasa tingkat tinggi yang sulit dicerna. Hanya roman, cerita yang ditulis dengan sudut pandang berbeda. Tentang Gadis Pantai, gambaran kehidupan masyarakat pesisir kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Gadis Pantai hanyalah gadis berumur empat belas tahun. Tidak bernama. Kulitnya langsat, tubuhnya kecil mungil dengan hidung kecil dan mata setengah sipit, yang dengan mudah membuat para pembesar jatuh hati. Ia adalah gambaran kembang desa nelayan di seluruh pantai keresidenan Jepara. Kehidupannya sehari-hari sama dengan para gadis pantai lainnya. Ia bermain di pantai bersama teman-temannya, menunggu para nelayan berangkat dan pulang melaut, membawa ikan hasil tangkapan, dan mengolahnya untuk dijual kembali. 

Suatu hari datanglah utusan dari kota. Utusan itu tinggal beberapa hari di kampung, dan pada hari ketiga dibawalah Gadis Pantai beserta Lurah Desa dan sanak keluarganya ke kota. Gadis Pantai telah dinikahkan dengan sebilah keris, yang merupakan wakil suaminya - seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Seorang pembesar yang disebut Bendoro.

Gadis Pantai dan keluarganya dibawa ke rumah besar tempat Bendoro tinggal. Tubuhnya diselimuti kain sutra halus dan perhiasan-perhiasan yang tak pernah ia kenakan sebelumnya. Wajahnya dipoles dengan bedak dan make up. Ia memakai alas kaki yang terbuat dari bahan berkualitas bagus. Tetapi ia sendirian. Keluarganya harus meninggalkannya untuk tinggal disana, karena sekarang ia adalah istri Bendoro.

Kehidupan di rumahnya yang sekarang sama sekali berbeda dengan kehidupannya di kampung nelayan dulu. Ada banyak aturan untuk setiap gerak-gerik. Harus begini, harus begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, kehidupan Gadis Pantai (atau yang sekarang disebut Mas Nganten) terkurung dalam rumah yang penuh dengan aturan. Seperti tikus dalam perangkap. Ia sendirian, tak berkawan, hanya ada bujang yang siap menemani dan melayaninya dua puluh empat jam penuh.

Kedudukan Gadis Pantai memang terangkat, begitu pula keluarganya di kampung nelayan. Kini ia adalah istri seorang pembesar santri setempat, dan istri seorang pejabat Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tapi kedudukannya yang sebenarnya hanyalah sebagai Bendoro Putri, perempuan yang melayani “kebutuhan” seks laki-laki sebelum laki-laki tersebut memutuskan untuk menikah resmi dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.

Gadis Pantai tidur dengan pembesar itu, melayani semua kebutuhannya, membantu mengurus rumah dan memerintah di Komplek Keresidenan, paviliun, kandang-kandang, bahkan sebuah masjid. Ia memegang kendali di seluruh keresidenan tersebut. Termasuk ketika terjadi pencurian uang, ia harus merelakan bujangnya dikeluarkan dari residen dan digantikan oleh pelayan lain. Mardinah namanya. Umurnya sama-sama empat belas tahun, parasnya cantik, kulitnya mulus, dan ia janda. Hanya saja keberadaan Mardinah mengancam eksistensinya dalam rumah itu. Mardinah secara hierarkis memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Gadis Pantai. Ia adalah seorang anak juru tulis dan berasal dari kota. Berbeda dengan Gadis Pantai yang hanyalah anak seorang nelayan kampung. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gadis Pantai belajar untuk mencurigai seseorang. Ia tak lagi lugu dan mempercayai semua kata-kata yang masuk ke telinganya. Ia mulai berhati-hati, terutama pada Mardinah.

Pada suatu waktu, Gadis Pantai pulang ke kampungnya di kampung nelayan sana. Dibawanya serta Mardinah atas perintah Bendoro. Namun keadaan di kampung sama sekali berbeda ketika Gadis Pantai datang. Ia kini dianggap sebagai “Ndoro”. Kebebasannya dirampas, dan ia sadar betul akan hal itu. Tidak boleh ikut melaut, tidak boleh memasak dan turun ke dapur. Hanya boleh duduk dan tiduran di dipan. Segala kebutuhannya dilayani dan dipenuhi. Bahkan oleh orangtuanya sendiri, yang tertunduk hormat pada anak gadisnya yang sekarang bukan milik mereka lagi.

Dan ia hamil! Ia mengandung anak Bendoro, anak yang kelak akan melanjutkan perjuangan Bendoro. Pernikahan itu memang membangkitkan prestise Gadis Pantai. Derajatnya naik dan ia “dipandang”. 

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ketika Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan, ia diusir. Anaknya ditahan dan tidak boleh dibawa bersamanya. Orang yang selama ini memilikinya, tega membuangnya begitu ia melahirkan anak perempuan.

Dalam usia yang begitu mulia, Gadis Pantai sudah kehilangan segalanya. Tidak punya suami, tidak punya rumah, tidak punya anak (karena anaknya diambil dari tangannya), tidak punya pekerjaan, bahkan ia kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Roman ini diceritakan dengan indah dan mempesona. Lewat roman ini, Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi berhasil menunjukkan adanya praktek feodalisme Jawa yang tidak berperikemanusiaan. Melalui novel ini Pramoedya juga menuturkan realita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa pada era itu, bahwa kedudukan wanita dalam sebuah keresidenan yang megah dan terpandang, dengan embel-embel panggilan “Bendoro”, ternyata hanyalah sebuah ironi. Wanita hanya dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki yang dengan mudah didepak bila sudah tidak berguna lagi.

Sungguh ironis.

Independent-kah Kita ?

Dewasa ini peran perempuan sebagai salah satu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat sudah mulai diperhitungkan. Banyaknya organisasi yang menjunjung tinggi martabat perempuan sudah mulai marak di Indonesia. Munculnya aktivis-aktivis perempuan juga sudah mulai mencerahkan paham emansipasi wanita yang selama ini hanya kita anggap sebagai sebuah formalitas semata. Tak bisa dipungkiri bahwa gender kini bukan lagi sebagai penghalang kita, kaum perempuan, untuk bisa tampil di garis depan.

Namun pada kenyataannya, presentasi perempuan Indonesia yang menganggap diri mereka sebagai “perempuan independent” masih sangat minim bila dibandingkan dengan perempuan non independent yang jumlahnya sangat mengejutkan. Memang sangat ironis bila mengingat jumlah penduduk Indonesia yang majemuk. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah setiap perempuan mampu memaknai arti emansipasi yang telah diperjuangkan R.A Kartini sejak puluhan tahun yang lalu? Apakah genderisasi sudah benar-benar terhapus dari pikiran masyarakat kita?

Seorang perempuan bisa disebut independent bukan hanya didasari pada beberapa faktor keibuan saja atau jika dia bisa hidup berjuang sendirian tanpa tameng sesosok laki-laki. Namun yang paling penting jika perempuan itu berani menghadapi hidup dengan segala resiko yang akan ditanggungnya atas segala  keputusan yang telah ia ambil dalam menjalani garis hidupnya serta mampu mengubah pandangan negatif orang terhadap dirinya.

Contoh konkret dari seorang perempuan adalah seorang single mom, baik yang terjadi karena hasil dari ‘kecelakaan’ maupun bagi keluarga yang terpaksa harus kandas di tengah jalan. Secara kasat mata, yang pertama kali kita lihat biasanya dari aspek status sosial yang menggambarkan bahwa mereka-mereka ini adalah sosok yang kuat tanpa sosok laki-laki. Namun dibalik itu, ada hal yang lebih mendasar sehingga mampu menentukan sikap dan mengambil keputusan sendiri. Keberanian inilah yang menjadikan mereka menjadi sosok perempuan independent.

Lain halnya dengan kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka masih belum bisa mendapatkan hak-hak mereka, bahkan hak yang paling dasar sekalipun, salah satunya hak  untuk hidup. Mereka mengalami kekerasan fisik dan yang paling parah harus menghembuskan nafas   terakhir di tangan orang terdekat mereka. Ironis sekali. Di sisi lain, aktivis muda menyerukan emansipasi, namun di belahan dunia lain masih banyak perempuan yang belum mencicipi emansipasi itu sendiri.

Tak salah apabila ada anggapan bahwa di tangan wanita semua akan berjalan dengan baik. Namun yang patut diingat, untuk mewujudkan itu semua, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berpartisipasi. Tak peduli apa jenis kelaminnya. Jadi secara tidak langsung laki-laki juga harus ikut andil.

Sudahkah kita menjadi perempuan independent?

Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat

Seperti yang kita tahu, dewasa ini teknologi berkembang amat pesat. Bisa dihitung berapa banyak produk baru yang launching setiap minggunya. Berbagai macam merk, jenis, design, beserta fasilitas yang disediakan pun sudah tak terhitung banyaknya. Di satu sisi hal ini merupakan indikasi dari kemajuan jaman. Masyarakat (dalam hal ini adalah penemu, pencipta, penggubah alat-alat elektronik tersebut) sudah mulai ‘melek’ dan mulai meninggalkan nilai-nilai tradisional yang (memang) kuno dan tidak relevan dengan era globalisasi. Tetapi di sisi lain, hal-hal seperti ini justru memberikan dampak negatif.

Ada semacam fenomena menarik yang terjadi di masyarakat. Orang lebih suka berkomunikasi via dunia maya (facebook, twitter, sms) daripada bertemu muka secara langsung. Well, saya sendiri termasuk salah satu pelakunya. Untuk berkomunikasi dengan tetangga-sebelah-rumah-yang-jaraknya-tak-sampai-satu-kilo saya memilih menggunakan sms daripada datang ke rumahnya dan bertemu langsung. Malas, repot, dan berbagai alasan dikemukakan. Dan sms seakan-akan menjadi ‘jembatan komunikasi’ yang dapat mewakili kehadiran seseorang. Padahal kenyataannya tidak sama sekali.

Sebaliknya, ketika kita membahas tentang jejaring sosial (facebook, twitter, plurk, myspace, hi5, dan sebagainya), semua orang yang sebenarnya tidak kita kenal justru menjadi penting dan diprioritaskan (underline it please). Beribu cara dilakukan untuk bisa menggali info sebanyak-banyaknya tentang orang itu. Bahkan kita rela meluangkan waktu berjam-jam hanya untuk membalas wall yang sebenarnya tidak begitu penting. Woow, yang jauh didekati sementara yang dekat dijauhi.  

Kelihatannya memang sepele dan ‘Ah cuma gitu doang. Apa salahnya sih?’. Tapi sebenarnya masalah ini cukup serius dan perlu mendapat penanganan lebih lanjut. Bagaimana nasib generasi muda kita kalau mereka tidak memiliki sikap sosial yang baik? Apakah selamanya mereka akan terkurung dalam dunia maya dan tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat?

Sebenarnya menggunakan teknologi (dalam hal ini adalah HP (SMS) dan Facebook) tidaklah salah. Dalam beberapa hal, kegiatan tersebut justru membuahkan hasil yang baik. Komunikasi menjadi lebih lancar dan tidak perlu repot. Tetapi hal itu kembali lagi kepada masyarakat luas (penggunanya), seberapa jauh mereka menggunakannya dengan wajar dan sesuai kaidah. Apakah mereka masih bisa mendekatkan yang jauh dan masih dekat dengan yang dekat.

Sosiologi dan Mengapa Saya Berada di Dalamnya

Sejujurnya saya tidak bisa menulis apa-apa karena saya tidak tahu apapun yang berkaitan dengan sosiologi, specifically. Sosiologi selalu jadi pelajaran paling membosankan selama saya bersekolah. Entah karena gurunya yang tidak kreatif (Peace Bu :P) ataukah memang subjek pembelajarannya yang itu-itu saja sehingga saya tidak memiliki interest untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Orang selalu berkata “Ngapain kamu masuk sosiologi? Mau jadi guru ya?” atau “Apa sih yang menarik dari sosiologi, sampe kamu bela-belain masuk sana?” atau “Kamu masuk sosiologi gara-gara nggak diterima di jurusan lain atau emang pengen disitu?” Parahnya, tetangga saya bilang, “Kata guruku, kalo di sosiologi itu ntar susah nyari kerja lho. Paling gampang ya cuma jadi guru.” Honestly, it makes me scared. Bener nggak ya yang dibilang orang-orang? Jangan-jangan sosiologi cuma buangan orang-orang yang nggak lolos jurusan Hubungan Internasional (HI) atau Ilmu Pemerintahan (IP). Jangan-jangan sosiologi memang khusus untuk mereka yang mau jadi guru. Waaa :((

Hal itu menjadi masalah ketika saya diterima di jurusan sosiologi. Blank pada awalnya. Dan sebenarnya saya masih dibayangi rasa was-was akan persepsi orang-orang pada jurusan ini. Jujur saja, sampai sekarang pun saya masih merasa demikian. Apalagi melihat jurusan lain yang begitu meyakinkan. Saya minder dan merasa tidak pede dengan jurusan yang saya masuki. Rasanya tidak sebangga itu ketika orang bertanya “Jurusan mana?” dan saya harus menjawab “Sosiologi.” Saya lebih memilih menjawab “Fisipol” ketimbang “Sosiologi”. Orang tidak akan bertanya kenapa. Yeah, it’s so silly but it’s true.

Sayangnya orangtua saya justru bangga melihat saya masuk jurusan sosiologi. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang jelas saya tidak bisa berpikir seperti itu. Bapak saya mulai membelikan buku-buku yang sekiranya dapat saya gunakan nanti. Setiap ke toko buku, yang dicarinya selalu buku-buku sosiologi. Ibu saya juga tak kalah heboh. Setiap hari beliau menyediakan waktu minimal setengah jam hanya untuk berdiskusi masalah-masalah aktual ditinjau dari aspek sosiologis. Seakan-akan semua informasi itu penting dan akan keluar di soal ujian. Hash, sedikit hiperbol sepertinya.

Surprisingly, apa yang mereka lakukan membuat saya sedikit “melek” akan sosiologi dan apa saja yang ada di dalamnya. Ternyata sosiologi bukanlah ilmu yang kaku dan membosankan (seperti ketika saya berada di SMA, dengan guru yang sangat ehm, tidak kreatif). Bukan pula ilmu kemasyarakatan yang teoritis. Sosiologi justru ilmu yang paling ‘sosial’ karena memandang segala aspek dari segi manusia, bukan dari segi disiplin ilmunya. Dan ternyata, di luar negri, sosiologi justru jurusan yang dianggap paling bergengsi (wow). And the most important thing is lulusan sosiologi tidak hanya menjadi guru. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk menjadi bagian dari masyarakat. Sociology’s not that bad dan saya merasa beruntung bisa masuk ke jurusan ini, finally. Viva la sosiologi!

07 September 2011

Eight Things You Should Know About Me

I'm about to tell you several facts about myself. This is fun because I don't normally tell people about all these things, but I was so excited when I thought about writing this post for everyone. So here they are, some facts you need to know about... 

My Identities


 I'm half Indonesian (Javanese), quarter Chinese, and quarter Dutch. I don't really look like my parent, and people can't tell whether I'm more Javanese or Chinese or Dutch - I don't have strong ethnical characteristics. And it makes me feel quite awkward sometimes (but I get used to it). 

My Biggest Fear


I'm afraid of snake. Running away from them everytime and get panic easily when there are lots of snake showing on television or books. Even if I think of them. It’s like a phobia, yeah. But, snakes are dangerous, are they?

My Daily Writings 


I regularly write my daily journals. Sometimes when I forgot to bring any notebooks, I wrote down the words in any papers I could find - abandoned newspaper, the back part of  posters... anything. I have a special book contains of my writings about the conversation between coffee and tea (in a series of letters) - mainly talks about life and the philosophies. I was planning to make a regular post from the series but never sure whether it's necessary or not to share them.

My Playlist 


  

Many of you may got surprised if you get to know my playlist. 'You? A song like this? I don't believe it', that's what they say. Mom called them the "noisy, boy-thing groups" and my dad said I don't suit their groupies styles. Well, besides jazz and britpop, I enjoy their songs and always put them on my playlist... Hey, what's wrong with that? I may dress girly and trendy, but it doesn't mean that I can't enjoy this kind of music genre.  

My Personal Style


I will feel beautiful, or most beautiful, when I’m comfortable with my outfits and still able to do anything I like – and just being my own self, my whole self without any pretending. For me, beauty needs honesty, so I’m always trying not to be fake. And I believe it works! The first thing in my mind everytime I open my closet is that I should feel comfy enough with anything I wear – then automatically the sense of beauty will come along. I think my favorite outfit so far are dress, flats, and wedges. They’re just like my to-go items. I prefer to be simple and often need to be dressed up quickly (since I always in hurry – miss clumsy clumsy), so dresses and flats are my favorite one. They’re light and easy to wear, not hard to be paired with, and allow me to move freely (and yes, the flats help a lot for such hyperactive manner).

 My Current Obsession


Fashion journalism is like a dream to me, since I was child. It includes fashion writers, fashion critics or fashion reporters. The most obvious examples of fashion journalism are the fashion features in magazines and newspapers, but the term also includes books about fashion, fashion related reports on television as well as online fashion magazines, websites and blogs. 

The work of a fashion journalist can be quite varied. Typical work includes writing or editing articles, or helping to formulate and style a fashion shoot. A fashion journalist typically spends a lot of time researching and/or conducting interviews and it is essential that he or she has good contacts with people in the fashion industry, including photographers, designers, and public relations specialists. See, that’s a dream for me. How about you?

I am a lunatic dreamer

If you could experience being  anything in the world for a day, I will be a fairy – wearing my white luminous tube dress with blue, pink, yellow and green pastel shades all over my body and luster-y transparent wings on my backbone. I could fly anywhere – and choose whether I want to be seen or keep invisible from the human beings and other creatures. I wake up in the morning from my soft ovary bed in my sunflower house, bring my loony colorful bucket and spread the magical stardust over the flower and plants – it is the powerful spirit and energy that was abstracted from the universe that will keep them alive. I will sing along by the noon with the other fairies in the heart of our thick, humid forest, accompanied by the mighty unicorns and mermaids by the side of their illuminated crystal pond. In the evening I will fly away to greet other magical creatures - from the kind witches and their black cats to the wise old trees in the southern land. I probably will blow the happiness wind for any deserved humans that I meet on the way, to make sure that they will have a beautiful day. And last, after having a enormous dinner with all the fairy village members, I would fly alone again to kiss the grasses who has enliven the party with their wonderful whisperer choirs and hugs the animals who always welcoming the fairies to sleep in their land-pit to get some warmth when the frosty night coming. Everyone will say a sweet farewell for me, and I will go back to my fluffy bed... to be vanished as the sprinkles of rain and incarnated as a mediocre human again.

I love Batik, especially the classic one

  
Well, being brought to the international runway make the pattern application is a bit and lot different from the basic or genuine one (that originally made by hands - it's a wax-resistant dyeing technique used to create the pattern... but due to the modern advances of textile industry, we also have 'printed-batik' made by the fabric machines, like those on the picture above, I believe)... If I should choose, I like the handmade cloth better since it has the old, classic and more traditional sense. But still a good news to hear! Even these kind of outfit on the photos are not vintage, not so my-signature-style taste, and I wouldn't be dare enough to wear such colors, but these are another side of beauty. And it brought my national heritage to the world! <3