23 March 2012

Bahagia Bisa Berbahagia

(BERIKUT pengakuan Pak Mena, penjaga mercusuar di pantai terpencil. Sampai hari ini, masih bekerja di tempat tersebut. Kadang batuk-batuk, dan keluhannya susah tidur).

"Saya ini hanya orang kecil. Tidak pintar bicara. Hidupnya pas-pasan. Tinggalnya saja di tempat terpencil. Semua saudara saya mengembara dan tinggal di kota. Saya seumur-umur disini. Menjadi penjaga mercusuar. Ada tenaga lain. Tapi baru setahun dua sudah tak tahan. Ganti berganti teman. Saya tetap menjaga. Begitu terus.

Saya ini orang kecil, tak punya arti apa-apa. Kalau saya mati pun tak ada yang kehilangan. Kalau saya sakit tak ada yang ikut sedih. Saya jarang ngomong, sama siapa? Teman dekat hanya ombak laut, burung, dan ikan di dalam laut. Bau tubuh saya sudah asin.

Pernah suatu kali di atas menara, malam-malam, saya berniat terjun. Toh hidup ini sudah tak ada artinya. Pikiran lagi buntu. Kalau saya hilang, belum tentu ketahuan, sebulan kemudian ditemukan mayatnya. Ketika mau loncat saya dengar ada suara orang nembang, bersenandung. Luar biasa, karena selama bertugas baru sekali ini ada suara tembang. Kalau hantu, mana bisa menembang lagu dengan begitu bagus. Saya turun dan mencari arah suara.

Di pantai tengah malam saya melihat seorang lelaki, tua, jalan. Kadang ke air, kadang ke tepi. Jalannya terseok-seok. Baru setelah dekat terlihat, lelaki tua itu memakai penutup mata. Pantas jalannya oleng. Saya tarik ke tepian agar tak terseret ombak.

"Apa yang Bapak cari?"
"Saya mencari jalan."
"Mau kemana? Dari mana? Apa yang Bapak lakukan? Kenapa mata Bapak ditutup? Bapak sakit?" Banyak sekali pertanyaan saya. Senang rasanya bertemu orang lain.

Lelaki tua itu membuka penutup matanya. Memberikan ke saya, agar saya menutup mata.

"Cobalah jalan kembali ke menara."
"Kenapa?"
"Coba saja."

Daerah pantai saya hapal. Juga jalan kembali ke menara. Tapi toh beberapa kali menginjak karang sehingga terjatuh. Alangkah bodohnya saya mengikuti perintahnnya. Sampai di dekat tangga, saya sudah tak mampu. Saya buka penutup mata.

"Siapa Bapak? Apa maksud Bapak sebenarnya?"

Lelaki tua itu tersenyum, menepuk pundak saya. "Siapa nama saya tidak penting untuk diingat. Bagi banyak orang, saya senang jika menjadi paman bagi mereka. 
Kamu sudah mencoba jalan dalam gelap? Walau kamu hapal jalanan, masih saja nubruk sana-sini. Saya mencoba juga, dan tak mampu. Kita yang dalam kegelapan itu adalah sampan, perahu, rakit yang melewati laut. Tanpa lampu sorot dari mercusuar, mereka akan berada dalam kegelapan. Tak tahu arah. Kamulah yang memberi arah. Apa yang kamu lakukan sangat bermakna bagi orang lain. Yang setiap malam melalui laut."
"Bagaimana Bapak bisa tahu kerisauan saya?"
"Saya juga merasa pekerjaan saya sia-sia. Tapi kalau yang saya lakukan bisa membahagiakan orang lain, saya akan merasa bahagia. Saya tidak merasa sia-sia."

Lelaki tua itu tinggal cukup lama. Lelaki tua itu mengembalikan harga diri saya. Saya tak perlu bunuh diri. Walaupun kecil dan tak berarti, saya dibutuhkan orang lain.

Baru kemudian saya tahu lelaki tua itu disebut Mandoblang. Atau Paman Doblang. Mandoblang memanglah seorang paman yang baik bagi para ponakan. Tak mungkin kedatangannya ke menara secara kebetulan. Mandoblang khusus mendatangi.

Dialah paman dalam arti sesungguhnya."



(Cerita: Arswendo Atmowiloto, Majalah INA No.32/TH.I/Minggu ke-2)

When Crazy Meet Odd






Somebody please pray for this crazy people. LOL
(Me, Umun, and Rizki. Crazy Mad Bro-Sist)

13 March 2012

Untukmu, Yang Selalu Menjelma Segalanya



Aku terus merasakannya, aku juga heran mengapa kau selalu ada. Melihat jam dinding, kau menjelma detik. Melihat ke jendela, kau menjelma cahaya. Mendengarkan musik, kau menjelma suara. Merenung di tengah sepi, kau menjelma denyut nadi. Tapi, aku suka, aku suka dengan ini semua. Kaulah yang selalu membuatku ingin tetap hidup terus dan terus. Ingin tetap terus menulis dan menulis. Sampai - sampai aku selalu merasa menjadi huruf-huruf untuk tulisanku sendiri. Kau tak pernah jauh dariku, jantungku sendiri mengenalmu sebagai debarnya. Ah sudahlah, sebenarnya aku sedang merindukanmu. Aku memikirkanmu, ketika menulis ini.

11 March 2012

Dream House

Mas pacar, aku mau rumah yang kayak gini dong:

The Front Side

Kalo malem jadinya kayak gini...

Tampak samping

And I want this one for our backyard

Don't forget this one

Our nice room

Don't forget the library

What a perfect and cozy place ya? I hope someday I (we) have that kind of place to live with. Keep my fingers crossing. Amen :D



10 March 2012

Cerpen: Anak Tukang Kue

Saya masih inget, cerpen ini saya tulis waktu pelajaran matematika kelas 1 SMA. Well, jujur saja, saya lebih memilih membuat cerpen ini daripada berkutat dengan rumus-rumus segitiga :p. Enjoy!


Oh iya.. Jangan lupa juga baca cerpen satunya: click here

Ceritanya ini bapaknya Mayang hahaha. Foto diambil dari sini

Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Tapi kelas XI IPS 1 masih saja ramai. Claudia, Tita, Icha, Mario, dan Nico tengah sibuk mengobrol sementara Mayang yang duduk di belakang sibuk membolak-balik majalah Kawanku keluaran terbaru yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sejak tadi ia diam saja, bahkan berpura-pura asyik membaca majalah. Padahal kedua telinganya menyimak obrolan kelima temannya yang berdiri tak jauh dari kursinya.

”Tita, liat deh,”kata Icha sambil mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya. Buku itu bersampul rapi dan masih baru. ”Harry Potter terbaru udah keluar lho.”
”Waaahh,”teriak Tita dengan cengiran lebar. ”Akhirnya keluar juga. Ntar gue mau beli ah. Temenin ya, Cha?”
Icha mengangguk sambil tersenyum lebar. Mario, Nico, dan Claudia ikut mengerumuni Icha yang sudah mengoceh tentang isi buku itu.
”Eh, pulang sekolah jalan yuk?”ajak Mario. ”Gue sama Nico mau beli cd game nih.”
”Iya, udah lama kan kita nggak jalan-jalan,”sahut Nico.
”Ooh, sekalian nyobain brownies ice cream yang di cafe favorit kita !!”Claudia dengan semangat membayangkan enaknya makanan kesukaannya itu.

Uuh, dengar saja cerita-cerita mereka. Sepertinya kehidupan mereka enaaaak banget. Serba mewah. Apa-apa ada. Lain dengan Mayang yang harus meminta sampai jungkir balik sampai permintaannya dikabulkan. Itupun kalau orangtuanya punya uang. Orangtuanya kan hanya seorang tukang kue. Ayah memang berdagang di Pasar Senen, tapi ia lebih banyak menjual kue buatan Ibu ke tetangga-tetangga dan kenalan-kenalan mereka.

”Kenapa sih mereka harus punya yang aku pengen?”keluh Mayang diam-diam.

Seandainya saja ayah Mayang bekerja sebagai arsitek terkenal seperti ayah Tita, atau pemilik dealer mobil seperti ayah Mario, atau dosen seperti ayah Claudia, atau punya toko kelontong seperti ayah Icha dan Nico....

”Mayang nggak ke kantin? Serius amat baca majalahnya,”kata Icha sambil meringis. Mayang terkejut mendengar sapaan Icha.
”Jangan diganggu deh, Cha. Mayang kan harus update soal fashion. Jadi dia harus baca banyak majalah,”kata Tita.
”Iya. Jangan diganggu, ntar konsentrasinya ilang,”kata Mario melerai.
Mayang hanya merengut. ”Suka-suka gue dong!”sahutnya. Ah, seandainya saja Mayang sanggup bercerita kalau ia baru saja menemukan tempat asyik untuk menikmati weekend atau baru saja menonton film seru di bioskop, mau rasanya meninggalkan majalah pinjaman dari sekolah itu dan bergabung dengan teman-temannya yang rata-rata memiliki kemampuan ekonomi diatasnya itu. Tapi...

”Kantin yuk! Haus nih,”ajak Icha. Mayang hanya bisa memandangi punggung kelima temannya itu ketika mereka keluar kelas. Ada rasa lega menyelinap di dadanya. Sekarang Mayang tidak merasa terganggu lagi dengan percakapan mereka yang selalu membuatnya iri itu. 

Ia hanya sendirian di dalam kelas. Perutnya memang selalu kenyang oleh sarapan lezat yang selalu dibuat ibunya. Mayang lebih suka membawa bekal kue-kue dari rumah yang dimakannya pada jam istirahat. Sementara teman-temannya berebut membeli makanan di kantin sekolah.

***

Seperti biasanya, setiap hari rumah Mayang selalu dipenuhi dengan asap dan aroma kue. Ayah dan Ibu Mayang bekerja di dapur, mengolah adonan menjadi kue yang nantinya akan dijual ayahnya berkeliling komplek perumahan di sebelah gang kecil tempat mereka tinggal. Sebenarnya Mayang kasihan melihat mereka harus bekerja keras untuk menghidupi dia dan kakaknya. Tapi entah kenapa, hari ini Mayang justru kesal melihat mereka sibuk di dapur.

Seandainya ayah Mayang seorang arsitek, atau pegawai kantor, atau pemilik toko, tentu saat itu Mayang tidak perlu memandangi dapurnya yang penuh jelaga dan hitam karena arang. Ibu juga tidak usah terlalu repot membuat kue. Jadi Ibu bisa menemani Mayang ngobrol di coffeeshop atau jalan-jalan ke mall. Kalau ayah sedang tidak sibuk, pasti ayah mengajak ibu dan anak-anak makan siang di restoran terkenal. Ah.. angan-angan seperti itu justru membuat Mayang bertambah gusar.

"Nak, ayah mau menjual kue-kue ini ke komplek sebelah. Ibu mau ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Kamu jaga rumah ya ! Jangan keluyuran,”pesan Ayah. Seperti biasanya Mayang hanya bisa mengangguk pasrah. Beginilah nasib anak tukang kue, selalu ditinggal-tinggal sendiri dan selalu disuruh menjaga rumah.

”Mayang mau ikut Ibu ke pasar?”tanya Ibu seakan dapat membaca pikiran Mayang.
"Aku di rumah aja, Bu,”sahut Mayang. Ikut ibu ke pasar? Uuh... membosankan sekali. Bayangkan saja, demi mendapatkan harga seratus rupiah lebih murah, Ibu rela berkeliling-keliling pasar. Kaki bisa capek. Mayang sudah kapok ikut Ibu berbelanja ke pasar. Apalagi peluang bertemu teman-temannya juga besar. Selama ini kan Mayang tidak mengatakan kebenaran tentang pekerjaan orangtuanya. Ia berlagak seperti anak orang kaya yang selalu hidup mewah dan fashionable. Makanya Mayang selalu khawatir jika ia bertemu teman-temannya di pasar. Alasan apa yang harus dipakainya?

“Ya sudah. Kalau begitu jaga rumah baik-baik. Kalau kamu belum makan, Ibu sudah siapkan nasi dan sayurnya di meja. Lauknya hanya ada 2. Sisakan satu untuk kakakmu,”kata Ibu. Mayang mengangguk. Setiap hari ibu hanya masak sayur. Lauknya pun hanya tahu dan tempe. Makan ayam pun hanya kalau ibu punya uang lebih saja. “Padahal kan aku ingin makan dengan lauk yang enak seperti teman-temanku. Ibu sih hanya bekerja sebagai tukang kue!!”gerutu Mayang ketika membuka tudung saji.

***

Mayang menghempaskan badannya ke kasur dengan kesal. Dia masih saja menyesali keadaan orangtuanya yang hanya bekerja sebagai tukang kue. Gara-gara ayah, aku tak bisa membeli handphone kamera keluaran terbaru seperti punya Claudia, atau membeli laptop Apple canggih seperti punya Icha, bahkan aku tak bisa membeli tas Reebok seperti punya Tita. Uh! Bahkan kamarku saja jelek begini. Kasurnya cuma kasur busa. Nggak ada TV, nggak ada AC, apalagi komputer. Aargh!!! Lagi-lagi Mayang menyesali nasibnya.

“Mayang... ayo makan,”kata Ibu dari luar kamar. Mayang yang sedang kesal dengan orangtuanya berpura-pura tidak mendengar.
“Biar saja. Biar Ibu tahu kalau aku nggak mau makan pake lauk orang desa,”pikirnya.
“Mayang.....,”Ibu kembali memanggil. Namun tak ada sahutan. “Ya sudah, nanti Ibu sisakan untukmu saja.”

Mayang sudah bosan dengan lauk orang desa yang setiap hari harus dimakannya. Tahu, tempe, tahu, tempe.. Bosan! Ia ingin makan makanan enak seperti makanan teman-temannya, yang ada kejunya, yang ada saus Inggrisnya. Tentu saja orangtuanya hanya bisa menyediakan kecap dan sambal bikinan sendiri. Lagi-lagi Mayang kesal dengan keadaan orangtuanya. Kakaknya juga sama saja. Kak Puput lebih suka memihak kepada orangtuanya. Kakaknya lebih memilih hidup sederhana dan tidak berpura-pura menjadi orang kaya hanya karena malu menjadi anak tukang kue. Tapi sejak tadi siang ia belum makan. Perutnya keroncongan. Akhirnya Mayang mau juga keluar kamarnya.

“Ibu masak apa?”tanya Mayang ketus sambil duduk di meja. Mengamati meja itu.
“Ibu masak sayur sop, tempe goreng, sama sambel,”jawab Ibu sambil mengambilkan piring untuk Mayang. “Kamu mau makan apa?”
“Aku bisa ambil sendiri kok!”kata Mayang sambil merebut piring yang disodorkan Ibu untuknya. Diamatinya makanan yang tersedia di meja makan. Dengan perasaan kesal, Mayang berjalan menuju lemari di dekat dapur. Mengambil sebutir telur yang tersisa dan sebungkus mie instant. Dengan cepat dibuatnya makanan itu dan dibawanya ke meja makan tanpa mempedulikan Ibunya yang susah payah memasak.

“Kok kamu malah bikin mie sih? Ibu kan udah masak,” Puput, kakaknya menegur Mayang.
“Suka-suka aku dong. Aku nggak mau makan masakan Ibu. Bosen. Tiap hari lauknya tempe-tahu-tempe-tahu. Nggak ada yang lain apa? Bisa-bisa aku jadi manusia tempe kalo tiap hari makan kaya gitu!!”bentak Mayang.
“Tapi kan Ibu udah masak. Sayang kan kalo nggak dimakan,”kata kakaknya.
“Aah. Kakak bawel banget sih! Nggak usah ngurusin aku deh. Urus aja diri kakak sendiri!”kata Mayang cuek sambil terus menyantap mie instantnya. Keluarganya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Mayang.

***

Seperti siang-siang sebelumnya, Mayang sendirian di rumah. Ibunya pergi ke pasar, ayahnya masih berkeliling menjajakan dagangan, sementara kakaknya masih les di sekolah. Sambil makan sisa-sisa kue yang gosong, Mayang menonton TV di ruang tamu merangkap ruang tengah. Tapi ternyata ayah pulang lebih cepat dari perkiraan.
“Ayah kok udah pulang? Laku kue-kuenya?”tanya Mayang heran. Ayah Mayang meletakkan motor bututnya di teras depan rumah.
“Tentu saja laku. Kalau belum laku Ayah masih berkeliling sampai sore,”sahut Ayah.

Ada rasa haru menyelinap perlahan di dada Mayang. Ayah memang ulet sebagai penjual kue. Ayah tidak malu berkeliling-keliling komplek perumahan elite untuk menjual kue buatan Ibu. Ayah juga sabar melayani pelanggan. Bahkan banyak orang menyukai ayah. Tapi, kenapa ayah tidak menjadi pegawai kantor saja? Ah, lagi-lagi Mayang menyesali keadaan orangtuanya.

“Tadi ayah menjual kue ke Citra Garden, perumahan yang elite itu. Ternyata banyak orang disana yang suka kue buatan ayah,”cerita Ayah.
“Ayah jualan disana?”Mayang kaget kaget bukan kepalang.
“Ya. Memangnya kenapa? Mungkin ayah akan berjualan disana saja. Pasti cepat laku,”kata ayahnya dengan gembira.

Bukannya senang, Mayang justru semakin gelisah. Citra Garden kan perumahannya tempat teman-temannya tinggal. Mereka akan mengolok-oloknya kalau sampai tahu ayahnya ternyata seorang penjual kue keliling. Selama ini kan mereka tidak pernah tahu pekerjaan orangtua Mayang yang sebenarnya. Yang mereka tahu, orangtua Mayang adalah seorang pedagang di pasar. Aduuh, bagaimana ini? Ini semua gara-gara ayah! Kenapa harus jualan disana? Kenapa tidak berjualan ke tempat lain saja? Kenapa ayahku harus menjadi seorang tukang kue? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

***

Esoknya Mayang sengaja menghindari teman-temannya, teruta Tita, Claudia, Icha, Mario, dan Nico. Waktu mereka masih berada di dalam kelas saat istirahat, diam-diam Mayang pergi ke kantin. Meski makanan yang ada di kantin tidak seenak buatan ibunya, Mayang tetap melahap bakso yang baru saja dipesannya. Perasaan takut ketahuan sebagai anak tukang kue terus menerus menderanya.
”Kok tumben makan di kantin?”tanya Mario.
”Iya. Biasanya kan lo bawa bekal sendiri,”timpal Icha.
Jantung Mayang berdegup kencang. Ternyata Icha, Tita, Claudia, Mario, dan Nico ada di kantin. Karena meja sudah penuh, mereka bergabung dengan Mayang yang baru menghabiskan separuh baksonya.
”Kita duduk disini ya, Kar,”kata Claudia sambil duduk di sebelah Mayang. Keempat temannya mengikuti. Mayang langsung berkeringat dingin.
”Aduh, mereka tau nggak ya?” Mayang bertanya-tanya dalam hati.

”Eh, kemaren ada tukang jualan baru di komplek. Gue ketemu pas gue barusan pulang dari mall. Bapaknya jualan kue-kue gitu,”cerita Claudia sambil menggigit tempe goreng yang dibelinya.
”Jualan apa?”tanya Mario.
”Kue-kue gitu,”jawab Claudia. Jantung Mayang serasa berhenti berdetak. Itu pasti ayahnya !
”Enak nggak? Jangan-jangan kue-kuenya nggak enak lagi!”komentar Icha.
”Lumayan lah. Enakan bikinan bapaknya daripada kue di kantin,”kata Claudia.
”Hah? Masa sih?”
”Penasaran gue...”
”Kapan-kapan gue beliin deh, pas kalian ke rumah gue,”kata Claudia.
”Eh, ntar pulang sekolah kan kita mau ngerjain tugas geografi di rumah lo,”kata Nico.
”Oh, iya. Semoga aja bapaknya lewat depan rumah,”kata Claudia.
”Lo mau ikut, Kar?”tiba-tiba Mario menawari Mayang. Mayang yang tengah minum segelas air terkejut dan nyaris saja tersedak. Cepat-cepat ia menggeleng.
”Nggak ah. Gue udah ngerjain tugasnya kok,”jawab Mayang cepat-cepat. Ikut? Yang benar saja! Itu sama saja memberi umpan pada buaya!

***

Sepanjang siang, Mayang terus menerus memandangi jalan depan rumahnya. Ibunya pergi ke pasar. Kakaknya belum pulang sekolah. Dan ayah pasti sedang berkeliling menjajakan dagangannya. Sejak tadi ia cemas memikirkan reputasinya di hadapan teman-temannya itu. Sisa-sisa kue tak disentuh sama sekali dan TV hanya dibiarkan menyala. Tapi ayahnya tak kunjung pulang.

Setengah jam kemudian terdengar suara motor butut ayahnya dari ujung gang. Mayang cepat-cepat berlari ke depan rumah dan menunggu ayahnya. Ia tak sabar menantikan kabar dari ayah. Dalam hati Mayang berharap banyak, semoga saja ayah tidak berjualan di komplek rumah Claudia.

”Mayang, ayo bantu ayah menurunkan keranjang-keranjang ini,”kata Ayah ketika sampai di rumah. Biasanya Mayang malas membantu ayahnya. Namun kali ini ia rela melakukan pekerjaan yang dianggapnya pekerjaan orang desa itu demi mendapatkan informasi dimana ayah berjualan.
”Kok cepet, yah?”tanya Mayang.
”Iya. Dagangan ayah diborong sama dua orang,”cerita ayah sambil mengelap keringat yang menetes di wajahnya dengan handuk.
”Ibu-ibu, yah?”tanya Mayang lagi.
”Waktu ayah berangkat, ada ibu-ibu yang lagi arisan. Kebetulan makanannya kurang. Jadi kue ayah diborong.”
”Trus kok ayah nggak langsung pulang?”
”Yah, dagangan ayah kan masih. Jadi ayah keliling ke komplek perumahan yang ayah ceritakan kemarin.” Mayang terbeliak kaget.
”Ternyata disana ada teman kamu, ya. Namanya.. uhm.. Claudia.”
”Ayah menjual kue kesana?” Mayang semakin kaget.
”Ya. Teman-temanmu itu orangnya baik dan ramah. Walaupun mereka orang kaya, mereka tetap mau makan kue bikinan Ayah. Biasanya kan mereka makan kue-kue yang mahal.”

Tapi Mayang justru semakin gelisah. Bocorlah sudah rahasiaku sebagai anak tukang kue, batin Mayang dengan masgul. Entah apa yang akan terjadi besok. Mayang tak bisa membayangkannya. Mungkin ia akan membolos saja supaya tidak usah bertemu dengan teman-temannya itu. Tapi alasan apa yang akan dipakainya? Lagipula ayah dan ibu pasti akan curiga dan menanyai Mayang macam-macam. Tidak mungkin ia berpura-pura sakit.

Esoknya Mayang sengaja menghindari tatapan teman-temannya. Ia masih malu dan khawatir kalau-kalau Claudia membocorkan rahasianya ke teman-teman sekelas. Begitu bel istirahat berbunyi, Mayang langsung bersiap ngacir ke perpustakaan, tempat yang dianggapnya jauh dari jangkauan Icha, Tita, Mario, Nico, ataupun Claudia.

”Sekaaaarr,”teriak Claudia dengan keras. Seisi kelas yang saat itu belum keluar langsung menoleh. Jantung Mayang langsung berdegup kencang sekali, sampai mau copot rasanya. ”Kok nggak pernah bilang sih kalau bokap lo jualan kue?!”
”Aduh, mati gue. Mayangang semua orang udah tau kalo ayah cuma seorang tukang kue,”kata Mayang dalam hati.
”Err.. ehm... gue...,”Mayang tak sanggup berkata-kata.
”Iya nih. Pantesan aja nggak pernah jajan di kantin,”timpal Icha.
”Selama ini lo nyimpan rahasia ya ! Jahat lo!”kata Claudia.
”Eh, sebenernya...”lagi-lagi Mayang tak sanggup melanjutkan omongannya. Apa yang harus ia katakan? Semua orang sudah mendengar kebenarannya dari mulut Claudia.
”Besok bawa dong, kue-kue buatan nyokap lo ke sekolah. Habis enak sih.. murah lagi,”kata Claudia.
”Iya, Kar. Masa diam-diam aja. Gue kan juga doyan tuh kue-kue enak,”tambah Nico.
”Iya, jahat lo, Kar. Padahal kan lo tau sendiri makanan kantin tuh nggak enak banget! Lagian harus capek-capek turun ke bawah. Coba lo bilang dari dulu,”kata Icha dengan tampang kesal.

Teman-teman Mayang dan Mayang sendiri tertawa mendengar ucapan Icha. Mayang mengangguk senang. Ah, ternyata menjadi anak tukang kue juga bisa sebahagia mereka yang ayahnya arsitek, dosen, pemilik dealer mobil, atau pemilik toko kelontong.

09 March 2012

Cerpen: Karena Dia Raymond


Kantin Sekolah, 2 Desember 2006
“Dorr!!!”sambil menyodorkan semangkuk bakso Raymond duduk di 
sebelahku. “Mikirin apaan sih, Ren?”
Kalau saja semangkuk bakso itu tidak ada, mungkin sekarang aku akan melarikan diri ke kelas atau mencari-cari alasan supaya aku tidak perlu berbicara dengan Raymond.
“Tugas Bahasa Indonesia,”otakku berputar untuk mencari alasan. “Sampai sekarang aku masih heran. Padahal aku udah ngerjain tugas itu susah payah. Aku juga udah kerja mati-matian. Tapi kenapa aku cuma dapet nilai 6?”
“Karena kamu masih kurang,”Raymond menyodorkan teh botol padaku. “Makan dong. Aku udah pesenin tuh buat kamu. Aku yang traktir deh,”
Raymond tersenyum kepadaku. Yang kubalas dengan senyum manis.
“Makasih. Tapi aku masih nggak bisa terima, Ray. Padahal si Lina aja yang ceritanya aneh aja nilainya bisa bagus.”
“Yah, itu berarti dia lagi beruntung,”
“Tapi aku tetep nggak terima. Karyanya dia tuh nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama cerpen-cerpen yang dimuat di majalah.”
“Ya jangan dibandingin sama yang di majalah dong.”
“Nggak bisa. Dimana-mana karya yang masuk majalah tuh udah pasti bagus kan?”
“Iya. Tapi kan itu majalah, bukan Pak Joko.”
“Pak Joko kan guru Bahasa Indonesia, harusnya dia tau dong cerpen mana yang bagus?!”kataku berapi-api.
“Ya.. mungkin menurut Pak Joko cerpennya si Lina itu bagus, makanya dia dapet nilai bagus.”
“Aah, masa gitu sih? Emangnya kamu udah liat karyanya dia?”
“Udah,”jawab Raymond sambil makan baksonya. “Yah, menurut aku karyanya dia sih lumayan. Cuma mungkin Pak Joko suka sama karyanya dia. Udah lah, Ren, enggak usah dipikirin. Mendingan kamu berusaha biar nilai tugas besok lebih bagus dari yang kemarin.”

Astaga! Jadi selama ini aku enggak nyadar kalau karyaku itu jelek. Kenapa sih enggak ada yang bilang? Padahal kan aku yakin banget kalau aku bakalan dapat nilai bagus. Kakakku memang sangat menyebalkan!! Jadi kemarin itu dia cuma ngerjain aku? Kurang ajar!!! Ah, sudahlah, semua ini sudah terjadi. Percuma aku marah-marah, toh nilaiku tak akan berubah.
“Makasih ya, Ray, udah nasehatin aku.”
“Nasehatin gimana?”
“Ya gitu deh. Pokoknya kamu udah bikin aku sadar dan aku nggak akan nyerah sebelum aku dapat nilai 10.” 

Raymond tersenyum melihat ulahku. Mungkin aku ini seperti anak kecil yang baru saja mendengar bahwa aku akan diajak pergi ke istana negri dongeng. Yang dengan cepat melupakan apa yang membuatnya kesal. 

Kelasku, 4 Desember 2006
“Happy Birthday!!!!!!”teriakku pada Raymond sambil memberikan kado yang kubungkus rapi dan dihiasi oleh pita berwarna biru. Kado itu kelihatan manis sekali. Dari kemarin aku sibuk cari kado buat Raymond. Agak susah sih, tapi untungnya kakakku mau bantuin. Semoga aja dia suka.
“Aduh, makasih ya, Ren,”kata Raymond tersenyum senang.
“Eit, jangan seneng dulu. Traktirannya mana?”tanyaku dengan senyum penuh harap.
“Ya deh, nanti pulang sekolah aku traktir kamu makan,”akhirnya Raymond 
membalas setelah berpikir sejenak.
“Asyiiikk!!!”kataku sambil melonjak-lonjak kegirangan.
“Tapi cuma kamu doang ya,”
“Beres boss!!”

Baru 2 hari aku dekat dengan Raymond. Sebelumnya aku nyaris tak pernah berbicara dengannya. Hanya sesekali menyapa atau hanya berbicara jika perlu. Dulu kupikir Raymond itu orangnya ngebosenin dan enggak menarik. Ternyata dugaanku salah. Selain cakep dan pinter, Raymond asyik banget diajak ngobrol. Sepertinya dia tahu semua hal. Kadang-kadang aku merasa seperti semut kecil yang berbicara dengan gajah bila aku bercakap-cakap dengannya. Karena aku sendiri merasa pengetahuanku tidak cukup bila dibandingkan dengan Raymond. Untungnya, Raymond ini baik hati, jadi dia tak pernah membicarakan sesuatu yang aku tak mengerti, seperti olahraga basket.

Lapangan Basket…  pulang sekolah        
“Renata, kamu tunggu disini sebentar. Aku mau ngasih formulir ini ke Pak Josh,”kata Raymond sambil mengeluarkan selembar kertas dari ranselnya. Pak Josh itu pelatih basketnya sekolah aku. Terutama buat tim basketnya. Kebetulan banget Raymond ini sang kapten basket jadi dia deket sama Pak Josh. 
“Yuk,”ajak Raymond setelah dia memberikan formulir kepada Pak Josh.
“Formulir apaan sih?”tanyaku penasaran.
“Itu, formulir Kejurnas,”jawab Raymond.
“Kejurnas???”aku mengoreksi ucapannya. “Serius kamu ikutan Kejurnas?”
“Iya dong. Besok lusa aku berangkat,”kata Raymond bersemangat. “Nanti waktu pertandingan kamu harus nonton lho.”

Aku berdecak tak percaya. Mungkinkah seorang Raymond nan baik hati dan pintar itu berhasil memenangkan piala Kejurnas? Kalaupun benar, pasti akan ada cewek-cewek yang mengelilinginya. Dan aku? Bagaimana denganku? Masa dia tega meninggalkanku sendirian disaat aku membutuhkan bantuannya? Aku kan butuh teman curhat. Aku butuh teman ngobrol yang nyambung denganku. Dan satu-satunya orang yang nyambung cuma Raymond. Lantas kalau dia pergi bagaimana?????

“Bagus dong. Aku ikut senang kamu berhasil ikut Kejurnas.”
Aku mencoba tetap tersenyum padahal sebenarnya aku sedikit kecewa pada Raymond. Aku tahu, ikut Kejurnas basket adalah impiannya sejak kecil. Jadi aku harus mendukungnya. Aku tak boleh menghalangi dia mengikuti Kejurnas itu. Toh, kalau misalnya dia menang, aku kan juga ikut bahagia?

***

“Ren, gue mau tanya, nih. Lo suka nggak sih sama Raymond?”tanya Felicia pada suatu hari. “Seandainya dia nembak lo, lo terima dia enggak?”
Seandainya saja Felicia bukan sepupu Raymond, aku langsung mengiyakannya. 
“Jawabannya iya atau enggak? Kita kan lagi berandai-andai, jadi enggak usah kelamaan mikir.”
“Enggak,”kataku lantang.
“Kenapa?”

Karena aku enggak mau disakiti untuk kedua kalinya. Dulu aku pernah suka pada seorang cowok yang juga seorang bintang basket. Ketika dia memenangkan pertandingan, semua orang mengelu-elukan dia, dan mendadak dia menjadi seorang selebriti. Kemanapun aku dan dia pergi, pasti selalu ada orang yang mengenalinya dan akhirnya mengajaknya mengobrol tentang basket. Aku seperti terasing. Aku seakan-akan tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Banyak sekali cewek-cewek yang minta no HPnya atau sekedar kenalan. Lama-lama aku menjadi jenuh. Aku cemburu pada bola basket. Aku bahkan sangat membenci bola basket. Karena basket, cowokku jadi enggak peduli lagi sama aku. Karena basket, aku menderita. Karena basket, aku harus berpikir dua kali dalam bertindah, salah-salah perbuatanku malah akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Akhirnya ketakutanku pun menjadi kenyataan. Suatu hari dia memutuskanku secara sepihak. Katanya dia bosan denganku yang tak pernah mengerti tentang basket. Aku tak bisa menerima hal itu tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku memang tak akan pernah suka dengan basket sampai kapanpun. 

“Mmm….”aku menggaruk kepala. “Kita cuma berteman kok.”
“Beneran?”Felicia menatapku dengan pandangan penuh arti.
“He-eh,”jawabku mengangguk. 

Alasan kedua kenapa aku menolak untuk mengakui bahwa aku suka pada Raymond adalah karena aku tak ingin terlibat lagi dengan basket. Bagiku, basket adalah olahraga paling menyebalkan di seluruh dunia. Entah kenapa Raymond bisa suka pada olahraga itu. 

Koridor sekolah, 6 Desember 2006
Raymond menungguku di koridor sekolah. Dia memintaku untuk menemuinya disana sebelum dia berangkat.
“Udah siap?”tanyaku.
“Lumayan,”wajah Raymond terlihat tegang.
“Santai aja lagi. Aku tahu kamu pasti bisa,”kataku mencoba menenangkan hatinya.
“Kamu…”senyumnya mulai mengambang.
“Kamu apa, Ray?”aku penasaran sekali.
“Kamu mau enggak liat pertandingan aku? Aku tahu kamu enggak suka basket. Tapi aku mohon kamu dateng ya?”katanya memohon. Aduuh, tatapan matanya itu membuatku tak bisa menolak.
“Aku usahain deh.”
“Beneran?”
“Bener. Tapi aku nonton sama Feli.”
“Makasih ya, Ren.”
“Enggak masalah.”

Itulah senyum terakhir yang dapat kulihat dan wajah ganteng Raymond sebelum dia pergi ke Kejurnas itu. Mungkin ini terakhir kalinya aku melihat Raymond yang seperti ini. Raymond yang dikenal sebagai Raymond yang baik hati, ramah, dan pintar.

Sebuah Mall, 24 Februari 2007
“Hayo, ngelamun lagi,”Raymond menyodorkan sebuket bunga mawar di depan hidungku.
“Enggak ngelamun kok. Cuma ngliatin orang lain aja,”kataku mencari alasan.
“Emangnya ada yang menarik?”
“Enggak.”
“Trus ngapain dilihat?”
“Daripada enggak ada kerjaan.”
Sudah 1 bulan lebih aku dan Raymond jadian. Entah kapan tanggal pastinya. Tahu-tahu dia sudah menjadi pacarku. Cinta itu memang aneh. Tak pernah jelas. Kadang aku sampai bingung dibuatnya. Seperti saat ini.
“Sekarang kita kemana, Ren?”
“Main basket,”jawabku dengan mantap.

07 March 2012

It's (Not) Over




It's not over at all
You're just trying to smile
I know perfectly well
Such are things we both know
and we think we should say
just to organize the stains
Systems reveal their construction these days
as we escape to drift further away
We know the stars go out one night
but I can't tell you
anything you wouldn't know
So nothing has been lost

It's not over at all
If my thoughts could be here
they'd advice you to leave
and it's not easy, I know
making hard things look small
But we're dying to try
You have revealed your conclusion by chance
I have replaced you at little expense
We know the stars go out one night
but I can't think of anything I haven't told
So nothing has been lost

When you could use the words
reserved for a sad song
You'll find you've spent them
up on God and everyone
Like anyone before

It's not over at all
You're just trying to smile
I know perfectly well
It's not over
but oh, if my thoughts could be here
They'd advice you to leave
We will be cold where the lights are all out
but at least we can think
without reason or doubt
I don't know much about this world
but I can tell you one thing as I pass you by
Oh, nothing has been lost

It's Not Over - Sondre Lerche

Oh well.. It's not over. Yet

04 March 2012

This Relationship (Status)

Buat sebagian besar orang, bagaimana mereka beraktifitas di sosial media - Facebook ataupun Twitter - seringkali (atau memang iya) digambarkan sebagai representasi diri mereka sendiri di dunia nyata. Err, singkatnya gini. Bagi sebagian besar orang, apa yang terjadi dan apa yang muncul di dunia maya, itulah yang terjadi juga pada mereka di dunia nyata. Hal ini bisa dilihat dari foto-foto yang mereka upload ke facebook, update'an status mereka di facebook ataupun twitter, daaaan *ini yang paling penting* a change in relationship status announces their availability, commitment or something in between.

Status hubungan yang dituliskan di facebook jelas ngegambarin status hubungan seseorang dengan orang lain, apakah itu berpacaran (in a relationship), lajang (single), atau rumit (it's complicated). Nggak cuma itu, status ini juga sering diwarnai dengan hal-hal yang bikin orang tertarik untuk mengepo. Kenapa? Karena segala hal yang berhubungan dengan cinta-cintaan selalu menarik untuk diikuti.

Dari sebuah status, kita bisa tahu kalau orang ini lagi jatuh cinta atau bahagia atau berbunga-bunga. Misalnya kayak status teman saya yang ini:

Status yang amat bahagia. Semoga langgeng yaaa A-B :D

Dan ini status adik sepupu saya yang masih SD .____.


Tetapi relationship nggak selalu mulus kan? Ada juga yang kayak gini:




Status-status galau cinta-cintaan yang tanpa sengaja saya temukan di facebook :p. 
Maaf ya, tidak bermaksud loooh

Seperti efek domino, dalam waktu 1 x 24 jam seluruh orang di facebook akan tahu tentang hubungan kita dan mulai bertanya-tanya, hingga akhirnya mengendus-endus asal mula perkara seperti anjing pelacak. Mungkin inilah salah satu faktor yang membuat facebook menjadi menarik. Secara nggak langsung, kita menjadi saksi maya dari perjalanan cinta seseorang, mulai dari pdkt - jadian - seneng-seneng - berantem - putus - ketemu orang baru. Siklusnya selalu sama dan berulang. Dan selalu menarik untuk diikuti. Ya kan?

Drama-drama dunia maya ini semakin seru kalau misalnya kisah percintaan mereka diwarnai dengan orang ketiga. Atau salah satu pasangan mulai tak peduli dan yang lain merasa tersakiti. Bakal ada sinetron-sinetron di timeline yang penuh umpatan, makian, cacian, ejekan. Yang tadinya merayu memanja seperti 'Kau adalah matahari yang menerangi hidupku' tiba-tiba saja berubah menjadi 'Kamu tak punya hati!' People change, things go wrong, shit happens, and it's so funny to see that kind of mello-dramatic thing.

Menarik banget kan? Jujur saya juga suka tertarik dengan status teman-teman yang vulgar macam begitu. Saya sering tanpa sengaja membaca status mereka dan tahu 'Oh hubungan mereka lagi renggang' atau 'Si ini habis jadian dengan si itu'. Saya dipaksa untuk menjadi kepo karena status-status atau updatean yang mereka share di timeline. 

Saya pun pernah mengalami masa-masa itu lho. Masa dimana segala sesuatu yang terjadi dalam hidup saya ingin saya share-kan dengan orang lain, tak terkecuali urusan percintaan. Sampai-sampai semua orang tahu saya lagi naksir siapa, lagi diPDKTin siapa, lagi dimana ngapain sama siapa, siapa pacar saya dan bagaimana hubungan saya, prahara-prahara yang terjadi dan bagaimana akhirnya. Mendadak berita tentang saya tersebar dengan sangat luas dan sangat cepat.

Bergantinya status seseorang dari 'single' menjadi 'in a relationship', atau dari 'in a relationship' menjadi 'it's complicated' atau 'single' bukannya tanpa alasan. Jelas mereka nggak mungkin mempertahankan status itu hanya untuk menghindari gosip kan? Perubahan itu jelas membuat gempar, karena terpublish dan terhighlight sehingga semua orang tahu. 

Efek positifnya adalah saya menjadi lebih ekspresif. Berasa nggak punya beban gitu karena sudah tersalurkan lewat updatean lima menit sekali. LOL. Tapi yang jelas ini juga ngeselin banget karena orang-orang mulai bertanya-tanya 'ada apa'. Setiap mereka ketemu saya, mereka selalu nanya 'Kamu kenapa sama si A? Habis berantem?' atau 'Udah baikan belom sama pacar?' atau 'Gimana kelanjutannya kamu sama si ini?' dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang menyentuh ranah pribadi. Bagaikan wartawan infotainment, mereka nggak bakalan berhenti nanya sebelum mendapatkan jawaban yang sejelas-jelasnya. Kinda annoying lho kalau sudah kayak gini.

Hmmm....

Ribet ya. Pada dasarnya memang manusia itu selalu pengen tahu. Dan nggak bisa disalahin juga kalau mereka (yang tadinya tidak mau tahu) jadi (terpaksa) mau tahu. Salah kita sendiri juga. 


Terus gimana cara ngeredamnya? Tutup mulut. Don't speak a word. Biarin aja mereka bertanya-tanya dan mereka-reka. Biarkan saja mereka bergulat dengan pikiran mereka. Saya sudah belajar dari pengalaman bahwa ada hal-hal pribadi yang seharusnya tidak diumbar di sosial media. Kita harus bisa memilah, mana yang oke buat dishare dan mana yang enggak. 

Sebenernya status dipublish atau ditampilkan di facebook itu positif lho. Kita bisa menahan keinginan orang-orang yang mencoba PDKT, karena disitu jelas tertera bahwa kita sudah menjadi milik seseorang. Tapi kita harus siap-siap untuk di-kepo-in juga, apalagi ketika publik mulai mencium sesuatu yang nggak beres dari hubungan percintaan kita.

Lalu... Bagaimana status hubungan saya sekarang? 
Ah.. biarlah kami berdua saja yang tahu :p.

03 March 2012

Tragedi Kelas Pagi Part II

Rupanya saya masih juga belum belajar dari pengalaman kemaren. Kamis pagi, awal bulan Maret, saya masih juga semangat kuliah Masyarakat Indonesia: Struktur dan Perubahan. Kebetulan minggu kemaren matkul ini kosong jadi saya pikir kuliah ini bakalan lama dan penuh dengan catetan.

Ritual kelas pagi selalu sama: dibangunkan oleh alarm, ngetweet, mandi, dan sarapan roti sambil nonton acara gosip. Kebetulan kuliah hari ini dimulai jam 9.30 jadi bisa nyantai-nyantai dikit.

Jam 9.15 saya berangkat dari rumah. Santai-santai sambil dengerin mp3, nyanyi-nyanyi di jalan. Tanpa disadari jam sudah menunjuk pukul 9.35. Telat men!! Langsung tancap gas ke kampus dan buru-buru naik ke ruang 4 (di jadwal yang saya salin dari catetan Ana Martiana, tertulis ruang 4). Dosennya udah masuk. Dari luar udah keliatan screen sudah penuh tulisan bahan kuliah. Oh well..

Saya mengetok pintu dan membukanya.
Dosen: "Langsung masuk aja mbak. Duduk di depan ya."

Saya nurut aja. Dan mulai menyalin slide. Dalam hati saya mikir, ini dosennya siapa ya? Kok gak pernah liat.

Bisnis merupakan kegiatan sosial yang terstruktur. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis dilihat sebagai suatu komoditi dimana harga diukur dengan tidak mengkombinasikan nilai kerja. Faktor produksi dikombinasikan sedemikian rupa sehingga nilai jualnya naik..

EH?
KOK BISNIS?

Saya mulai curiga. Apakah kuliah Masyarakat Indonesia memang membahas bisnis?
Si dosen rupanya melihat kegelisahan saya, dan berkata "Ada yang ingin bertanya?"
Saya memutuskan untuk diam saja dan melanjutkan catatan.

Bisnis juga memiliki kaitan erat dengan moralitas. Selama ini para pelaku bisnis jarang sekali yang memperhatikan keselamatan kerja, kesehatan pegawai, dan hubungan dengan masyarakat.

Ini benar-benar mencurigakan. Ada yang nggak beres nih. Saya ngrasa nggak ada yang salah dengan diri saya. Baju oke-oke aja. Saya juga nggak ngelakuin kesalahan. Dosen kayanya beres-beres juga. Apa yang salah ya?

Saya nengok ke belakang. Celingak-celinguk cari temen-temen saya. Dan ternyata mereka nggak ada. Nggak ada satupun wajah yang saya kenal. Isinya anak-anak jurusan lain. Dan kayaknya angkatan tua semua. Mampus. Salah kelas ni gue! 

Pantesan aja kok rasanya aneh masuk kelas ini. Pantesan juga kuliahnya bahas bisnis, bukannya masyarakat Indonesia. Ngakak sendiri kalo inget cerita ini. Besok diulangi lagi ya nduk. Hahahahaha #toyordirisendiri.