05 June 2014

Selfie: I Share, Therefore I Am


Photo by: Alfonsus Darmawan, model: Antonius Novan
Pernahkah kamu melihat seseorang yang memotret dirinya sendiri menggunakan ponsel atau kamera digital? Atau kamu sendiri pernah melakukan hal itu? Itulah seni berfoto narsis yang dikenal dengan sebutan 'selfie' atau 'self-potrait.' Selfie merupakan gaya foto yang menampilkan diri sendiri entah itu wajah, seluruh tubuh atau hanya bagian tubuh tertentu. Foto selfie dilakukan oleh diri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret. Saat melakukannya, si pelaku selfie akan memegang ponsel berkamera atau kamera dengan salah satu tangannya dan mengarahkan lensa ke bagian yang ingin difoto. Selfie memang sedang populer. Sampai-sampai kata ‘selfie’ dinobatkan sebagai Oxford English Dictionary's 2013 Word Of The Year. Seperti dikutip dari web BBC, kamus Oxford mendefinisikan kata selfie sebagai sebuah aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, yang umumnya menggunakan ponsel atau webcam, kemudian mengunggahnya ke situs media sosial. 

Perilaku 'narsis' di media sosial ini berlaku universal. Bukan cuma masyarakat biasa, kalangan elit seperti presiden, pejabat, dan selebritis pun sudah ketularan perilaku ini. Survey dari Pew Internet & American Life Project menyatakan, 54 persen pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke Facebook, Twitter atau jejaring sosial lainnya. Tujuannya tidak lain sekadar mengekspresikan diri atau ingin menginformasikan keberadaannya pada saat itu. Misalnya selfie dengan background tempat liburan, selfie bareng artis idola, bersama tokoh populer, di lokasi bencana, dan lain sebagainya.

Selfie sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa kata ‘Selfie’ atau ‘self-potrait’ pertama kali dipakai pada tahun 1839. Kala itu Robert Cornelius adalah orang pertama di dunia yang melakukan selfie. Ketika zaman kamera polaroid ngetren di tahun 70-an, Andy Warhol juga melakukan hal serupa. Ia kemudian dikenal sebagai orang ke-2 di dunia yang melakukan selfie. Putri Kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna, adalah remaja yang diketahui pertama kali mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya pada tahun 1914.



Kenapa orang suka melakukan selfie?

Dr Pamela Rutledge, Psikolog asal Boston mengungkapkan bahwa dalam Selfie “we see ourselves alive and dynamic, a person in progress” (bbc.co.uk). Dr Rutledge juga menjelaskan, manusia pada dasarnya suka mencoba identitas-identitas baru, dan selfie mengakomodasi kesenangan tersebut. Selfie tells other people how we want to be seen. Seseorang yang gemar berfoto selfie bisa memotret dirinya dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Namun tidak semua foto tersebut dipublish, hanya beberapa foto yang ia sukai saja. Sehingga tak jarang banyak pula yang menganggap kaum selfie sebagai kaum yang ‘haus perhatian’.


Selfie memang dekat dengan remaja atau orang-orang yang berjiwa muda. Karena keterbatasan teknologi, pada awalnya selfie hanya dilakukan sendirian. Biasanya, TKP (Tempat Kejadian Pemotretan) favorit adalah di depan cermin besar (seperti di toilet mall) atau di kursi penumpang mobil. Pose favorit para remaja (terutama perempuan) adalah dengan memajukan bibir (manyun/monyong) yang sering disebut pose duckface. Tentu tidak ada yang salah dengan ‘memotret diri sendiri’, tapi memposting selfie ke ranah digital bisa jadi indikasi bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.

Memotret diri sendiri kemudian dipajang di internet adalah salah satu aktivitas jagad maya yang masuk kategori narsisme. Pengguna selain ‘pamer’ diri juga ingin mendapat perhatian dari siapa saja yang melihat foto itu. Namun, jika kita bukan Ellen DeGeneres, bukan artis papan atas yang memiliki jutaan penggemar, berhematlah dalam hal selfie ini. Studi yang dilakukan oleh Birmingham Business School menunjukkan, semakin sering kita menyebar foto selfie via media sosial, semakin menyebalkanlah kita di mata banyak orang. Inilah perilaku yang paling menyebalkan di media sosial, dan membuat pelakunya dikucilkan. 

Hasil penelitian Asosiasi Psikiater Amerika mengungkap bahwa kebiasaan selfie adalah sebuah bentuk dari gangguan kejiwaan yang serius. Para psikiater AS tersebut menggolongkan kelainan jiwa selfitis ini dalam 3 kelompok, yaitu Selfitis Pinggiran, Selfitis Akut, dan Selfitis Kronis. Selfitis Pinggiran adalah kecenderungan seseorang mengambil foto diri, sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari, tapi tidak mengunggah hasil fotonya ke jejaring sosial miliknya. Sementara itu Selfitis Akut dikategorikan bagi seseorang yang memotret diri sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari dan mengunggah tiap hasil foto diri tersebut ke media sosial. Dan yang terakhir, Selfitis Kronis adalah dorongan tak terkendali untuk mengambil gambar diri sendiri sepanjang waktu, dan mengunggah foto-foto tersebut ke media sosial lebih dari enam kali sehari.

Dr Pamela Rutledge menyebut “Kegiatan memposting foto selfie menunjukkan orang tersebut kesepian, butuh pengakuan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.” Bahkan Dr Pamela menambahkan orang yang memposting foto selfie dengan pose duckface biasanya tidak terlalu pintar, “Pose dengan ekspresi wajah bebek ini menunjukkan rendahnya kepercayaan diri dengan wajah natural dan takut tidak terlihat menarik.” Karena merasa tidak cantik, beberapa orang menggunakan filter foto secara berlebihan sehingga hasilnya berbeda jauh dengan kenyataan. Ini adalah efek negatif dari selfie: gaya hidup pencitraan; di mana orang mulai menciptakan tuntutan pada diri sendiri untuk mendapatkan penilaian terbaik dari publik terhadap mereka.

Selfie adalah bentuk aktualisasi diri, sebuah kebutuhan sebagai mahluk sosial yang harus dipenuhi ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi. Selfie sah-sah saja dilakukan asalkan pelaku selfie juga melihat situasi dan kondisi. Selfie manner juga harus dipertimbangkan ketika melakukan selfie. Apalagi kini dengan hadirnya beberapa inovasi seperti monopod alias tongsis (tongkat narsis) dan kamera depan pada ponsel, kegiatan selfie pun semakin mudah dilakukan. Selfie bersama banyak orang pun jadi tidak ribet lagi. Kegiatan ini pun bergeser maknanya dari sekedar bentuk eksistensi di media sosial menjadi sarana (media) untuk benar-benar bersosialisasi. 

Selfie, yuk!

(dimuat di Bulletin Lilin edisi Mei 2014)