04 December 2009

Mengapa Senja Sore Ini Begitu Dangkal?

Menemanimu menjamah malam
dan meninggalkanmu sendiri _
Merayap dalam kilauan kuning kemerah-merahan
begitu dekat kamu dengan satuan itu,
menyentuh ujungnya dan menelan perlahan
menimbulkan perubahan romantisme di petang ini
disana kamu tenggelam,
menjalani ketentuan-ketentuan yang tak bisa engkau tinggalkan
kau tau...
aku merindukanmu sesudahnya,
yang menghilang dalam tiga detik
mengungkap perasaan menyerah
yang hilang dalam serambi petang

sore ini engkau begitu dekat, dangkal dengan batasan air
entah dengan esok,
bisa saja engkau menjauh atau lebih dekat denganku
menyentuh setiap sisi yang teragungkan oleh kenyataan

sore ini engkau begitu indah
dan aku hanya berharap
di senja selanjutnya, engkau kembali dekat denganku

mampukah?

kenapa senja sore ini begitu dangkal?

21 October 2009

Aku Dalam Sajak

Aku seakan terbang ke suatu tempat dimana aku mampu mengendalikan ini semua. Tanpa kehilangan satu jejakpun. Aku seperti membawa hal-hal yang buruk menjadi sebuah kebaikan. Mungkin terlalu sulit bagiku untuk membedakan sesuatu yang buruk dengan yang baik. Terlalu naifkah aku? Sehingga batas-batas seperti itu menjadi teka-teki bagiku.

Aku masih berada dalam kegamangan yang mendekapku dengan erat. Aku sedikit merasa sulit untuk bernafas tapi tetap saja tak ada yang peduli. Aku seperti patung saja, yang dipahat, dibentuk lalu kemudian dipajang. Terus menerus aku terdiam. Pikiranku seakan sulit diikuti sehingga aku sedikit memberontak meskipun tanpa sadar aku tetap mengikuti kebodohanku.

Aku mungkin terselimuti oleh gelap-gelap kemunafikan yang terlihat anggun dan bersahaja. Dan aku melayang dengan itu semua. Aku tak bisa sadar dengan itu semua. Aku tak bisa sadar dengan sendirinya ataupun dengan bantuan orang lain. Pertolongan macam apa yang aku butuhkan? Aku menyadari bahwa aku telah terapung dan sekarat.

Namun aku terlambat! Penyesalan sebesar apapun tak mampu menyelamatkan aku.
Aku terperosok dalam keterikatan yang mengangkatku dari lumpur yang bening. Dimana aku sebenarnya merasa amat sangat nyaman. AKu seperti terkendali oleh waktu yang memuakkan. Aku merasa di waktu yang salah. Aku seperti partikel yang terpisah. Tapi bukan kemandirian yang aku dapatkan. Karena aku selalu bergantung pada perasaan yang mengambang. Yang tak mampu aku lepaskan.

Aku terlalu sulit untuk melepaskan diri dan bertahan hidup dalam keseimbangan-keseimbangan yang aku miliki. Aku terlalu lama bersandar pada kokohnya tembok yang terbangun dari pikiranku sendiri. AKu terjebak dalam keinginan-keinginan yang sangat sulit untuk aku ungkapkan. Dan aku tetap saja tertahan di dalamnya tanpa berusaha untuk menyadarkan diri. Aku termakan oleh kenyataan yang tak bisa dipungkiri dan aku masih saja mencari sela-sela untuk berlari.

Terkadang aku mendapati diriku yang sulit untuk aku kenali sendiri. Aku seakan merubah sisi-sisi dari peraturan yang terlalu curam untuk aku turuti. Tapi diriku yang sebenarnya tetap meniti itu semua meski pada akhirnya terjatuh dan berdarah. Tanpa rasa sakit dan luka. Aku begitu tertegun menemuka diriku yang sebenarnya begitu tangguh dan kuat. Sedikitpun aku tak pernah menyadarinya.

Terlalu luas bagiku untuk mengarungi diriku sendiri. Banyak sekali yang belum aku mengerti meskipun tentang aku sendiri. Dan aku kembali menapaki kelelahan yang tercipta dari segala yang tertimbun lama dalam diriku. Aku sedikit menggunakan muslihat yang tak seorangpun akan mengerti. Karena aku sebenarnya begitu tersesat dalam dangkalnya laut yang begitu sempit. Hanya saja aku tak merasa tersesat dalam lautan itu _ sama sekali tak seperti tersesat.

10 September 2009

Sosiologi, dan Mengapa Saya Berada di Dalamnya

Sejujurnya saya tidak bisa menulis apa-apa karena saya tidak tahu apapun yang berkaitan dengan sosiologi, specifically. Sosiologi selalu jadi pelajaran paling membosankan selama saya bersekolah. Entah karena gurunya yang tidak kreatif (Peace Bu :P) ataukah memang subjek pembelajarannya yang itu-itu saja sehingga saya tidak memiliki interest untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Orang selalu berkata “Ngapain kamu masuk sosiologi? Mau jadi guru ya?” atau “Apa sih yang menarik dari sosiologi, sampe kamu bela-belain masuk sana?” atau “Kamu masuk sosiologi gara-gara nggak diterima di jurusan lain atau emang pengen disitu?” Parahnya, tetangga saya bilang, “Kata guruku, kalo di sosiologi itu ntar susah nyari kerja lho. Paling gampang ya cuma jadi guru.” Honestly, it makes me scared. Bener nggak ya yang dibilang orang-orang? Jangan-jangan sosiologi cuma buangan orang-orang yang nggak lolos jurusan Hubungan Internasional (HI) atau Ilmu Pemerintahan (IP). Jangan-jangan sosiologi memang khusus untuk mereka yang mau jadi guru. Waaa :((

Hal itu menjadi masalah ketika saya diterima di jurusan sosiologi. Blank pada awalnya. Dan sebenarnya saya masih dibayangi rasa was-was akan persepsi orang-orang pada jurusan ini. Jujur saja, sampai sekarang pun saya masih merasa demikian. Apalagi melihat jurusan lain yang begitu meyakinkan. Saya minder dan merasa tidak pede dengan jurusan yang saya masuki. Rasanya tidak sebangga itu ketika orang bertanya “Jurusan mana?” dan saya harus menjawab “Sosiologi.” Saya lebih memilih menjawab “Fisipol” ketimbang “Sosiologi”. Orang tidak akan bertanya kenapa. Yeah, it’s so silly but it’s true.

Sayangnya orangtua saya justru bangga melihat saya masuk jurusan sosiologi. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang jelas saya tidak bisa berpikir seperti itu. Bapak saya mulai membelikan buku-buku yang sekiranya dapat saya gunakan nanti. Setiap ke toko buku, yang dicarinya selalu buku-buku sosiologi. Ibu saya juga tak kalah heboh. Setiap hari beliau menyediakan waktu minimal setengah jam hanya untuk berdiskusi masalah-masalah aktual ditinjau dari aspek sosiologis. Seakan-akan semua informasi itu penting dan akan keluar di soal ujian. Hash, sedikit hiperbol sepertinya.

Surprisingly, apa yang mereka lakukan membuat saya sedikit “melek” akan sosiologi dan apa saja yang ada di dalamnya. Ternyata sosiologi bukanlah ilmu yang kaku dan membosankan (seperti ketika saya berada di SMA, dengan guru yang sangat ehm, tidak kreatif). Bukan pula ilmu kemasyarakatan yang teoritis. Sosiologi justru ilmu yang paling ‘sosial’ karena memandang segala aspek dari segi manusia, bukan dari segi disiplin ilmunya. Dan ternyata, di luar negri, sosiologi justru jurusan yang dianggap paling bergengsi (wow). And the most important thing is lulusan sosiologi tidak hanya menjadi guru. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk menjadi bagian dari masyarakat. Sociology’s not that bad dan saya merasa beruntung bisa masuk ke jurusan ini, finally. Viva la sosiologi!

(ini sebenernya tugas ospek. Cuma kayaknya perlu untuk mengepostkannya di blog. Semoga bermanfaat. Hehehe)