25 December 2011

Joyeux Noël! ♥




Christmas is love in action. Every time we love, every time we give, it's Christmas.

It's Christmas every time you let God love others through you. It's Christmas every time you smile at your brother and offer him your hand

Christmas is not just a day, an event to be observed and speedily forgotten. It is a spirit which should permeate every part of our lives.

Happy Christmas to everyone. Be a candle, be a light, and spread love and happiness to the world. God bless :) ♥

19 December 2011

Surat Yang Tak Pernah Sampai



Suratku itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya aku hanya ingin berbicara pada diriku sendiri. Aku ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang aku beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam… tentang dia. .

Dia, yang tidak pernah aku mengerti. Dia, racun yang membunuhku perlahan. Dia, yang aku reka dan aku cipta.

Sebelah dariku menginginkan agar dia datang, membenciku hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padaku, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kami berjumpa. Akan aku kirimkan lagi tiket bioskop,bon restoran, sekua tulisannya-dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan-bukti-bukti bahwa kami pernah saling tergila-gila-berterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupku, hidupnya, pasti akan lebih mudah.

Tapi, sebelah dari aku menginginkan agar dia datang,menjemputku, mengamini kami, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kami di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah dariku percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir,segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala, dan itulah tujuan kami.

Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik maka… tanpa ragu aku akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.

Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamaku, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa aku rela membatu untuk itu.

Tapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Aku, tidak terkecuali.

Aku takut.

Aku takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanku untuk mengakui aku mulai ragu.

Dialah bagian terbesar dalam hidupku, tapi aku cemas. Kata ‘sejarah’ mulai menggantung hari-hari di atas sana. Sejarah kami. Konsep itu menakutkan sekali.

Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.

Skenario perjalanan kami mengharuskanku untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalaku sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kami seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kami bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak Boleh Sia-sia. Aku sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Aku pertaruhkan segalanya demi apa yang aku rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggiku.

Lama baru aku menyadari bahwa Pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual.

Lama bagi aku untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kami alami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.

Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanku, entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kami bergandengan… karena cinta adalah mengalami.

Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan aku. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud.

Aku ingin berhenti memencet tombol tunda. Aku ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.

Dan aku tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.

Hingga akhirnya…

Di meja itu, aku dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (aku baru sadar betapa tidak adilnya ini semua. Kenapa harus aku yang kebagian tugas dokumentasi dan arsip, sehingga cuma akulah yang tersiksa?)

Jangan heran kalau aku menangis sejadi-jadinya.

Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupaku, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang aku hafal betul temperaturnya.

Dan aku hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.

Sampai pada halaman kedua suratku, aku yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.

Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanku bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.

Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatku berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang kungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatku menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.

Aku pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah aku alami.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput aku yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari diriku yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kami bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Diriku yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut pergi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagaku pun sudah menyurut, maka aku akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.

Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit diriku itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan aku akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan… yang menunjukkan jalan pulang bagi hatiku untuk, akhirnya, menemukanmu.

***

Rindu itu candu. Begitu juga dengan kamu.

from Dee Lestari's Filosofi Kopi.

13 December 2011

Suara-Suara di Tengah Malam


Note: Kebetulan lagi ngobrak-abrik laci lemari, dan menemukan tulisan jaman kelas 3 SMA. Hahaha enjoy it :p.

***

Belakangan ini topik “hantu” jadi gossip hot di sekolah. Ini semua gara-gara Babe yang cerita-cerita pas teori olahraga. Seru sih. Cuma gue agak terganggu juga. Soalnya gue sering mengalami kejadian-kejadian itu di rumah. Waaaw

Seminggu ini gue sering bangun di tengah malam. Nggak pas jam 12. Kadang jam 1, kadang jam 2. SELALU BEGITU. Pasalnya, setiap gue bangun, pintu kamar gue pasti terbuka sedikiit dan langsung menghadap lorong ke bagian belakang. Nggak tau nyokap gue yang buka atau gimana. Cuma gue yakin banget, gue selalu nutup pintu kalo mau tidur. Alasan gue bangun selalu aneh. Pernah gue mimpi dikejar setan yang serem banget. Pernah gue kebangun karena bunyi hp (padahal hpnya jauh. Apa hubungannya?). Pernah juga karena ada yang bangunin (yang nggak keliatan gitu). Alasan terakhir ini yang bikin gue merinding disko. Si ehem ini membangunkan gue karena gue disuruh belajar. Lah? Alasan yang aneh. 

Pernah pas gue setengah melek, ada yang buka pintu kamar gue trus kaya bangunin gitu. ”BANGUN! AYO BELAJAR!” gitu katanya. Nggak tau siapa. Tapi udah familiar banget sama orang ups ehem itu. Dan kalo gue nggak belajar, besoknya bakal dibangunin lagi. wawawawawa !!

Pernah juga pas gue terbangun, ternyata ada IM masuk ke HP gue. YM gue emang selalu aktif 24 jam, termasuk saat gue tidur. Dan gue pake sistem SMS. Jadi tu IM masuknya kaya SMS gitu. Kalo mau nyoba, silahkan pake YMnya 3. Ada 2 cara yang bisa dipilih. YM via sms atau via GPRS ~ which means harus install dulu. Lah, kok malah promosi? Mari kita kembali ke cerita, saudara-saudara.

Jadi waktu itu ada IM dari salah satu temen chat gue. Nggak usah disebutin namanya. Pas gue reply, ternyata dia online. Jadilah gue terbangun dan YMan sama dia.

Nggak ada angin tapi ujan deres, kita cerita masalah hantu. Itu masih jam 1 dini hari dan itu saat yang sangat sangat sangat tepat untuk bercerita masalah ituan. Cerita diawali dengan pocong, trus benda-benda yang ‘idup-mati’, dan akhirnya tibalah pada cerita yang paling yahud.

Kata dia, di Kaliurang ada sebuah villa yang angker. Disitu ada noni Belanda yang bunuh diri. Ceritanya dia jatuh cinta sama seorang pemuda pribumi. Tapi emak sama babenya nggak setuju. Yah, akhirnya dia bunuh diri deh. Cewek hantu itu sukanya jalan-jalan ke loteng. Kadang-kadang suka datengin orang-orang yang nginep disana. Pake dress putih dan of course she’s pretty. Namanya Laura.

Begitu denger cerita itu, gue langsung deg-degan gila dan merinding disko abis. Pasalnya GUE PERNAH NGINEP DI VILLA ITU. Waktu kecil sih. TK kalo nggak salah. Waktu itu temen kantor nyokap gue ulangtaun dan ngadain acara inap-menginap di sebuah villa di Kaliurang (yang ternyata adalah villanya Laura). Waktu itu anak kecilnya nggak banyak sih, cuma ada beberapa. Pas sampai disana, udah malem gitu. Sekitar jam 12an. Anak-anak kecil lain udah pada tidur. Sementara gue, yang waktu itu kebangun, sendirian di kamar. Para orangtua lagi nonton bola di bawah sambil ngopi-ngopi. Gue kan bosen gila tuh, akhirnya gue keluar kamar dan berjalan melewati lorong ke bawah.

JENG JENG JENG JENG
KAU TAHU APA YANG TERJADI ?

Gue ketemu seorang anak kecil. Sebaya sama gue. CAAAANNNTIIIIKK banget! Kayak boneka barbie. Matanya biru. Rambutnya ikal. Pake dress putih kayak punyanya princess-princess Disney. Pengeeen banget gue punya dress kayak gitu. Dan dia bule. Nggak tau asalnya dari mana, tau-tau dia nongol dari tangga.

Dia : Hai ! Kamu mau kemana ?
Gue : Mau ke bawah. Mamaku disana.
Dia : Ohh. Kok kamu nggak tidur ?
Gue : Enggak. Aku nggak ngantuk. Kamu sendiri mau kemana ?
Dia : Aku mau ke kamar (dia menunjuk lorong yang belakangan gue tau kalo itu lorong menuju loteng).
Gue : Kamu siapa? Kok tadi aku nggak liat?
Dia : Aku barusan datang. Namamu siapa?
Gue : Chicha ( gue mengulurkan tangan )
Saudara-saudara, tebak namanya siapaaa ..
Dia : LAURA (membalas uluran tangan gue)
Gue : Waaah, kayak yang di buku ! (buku Little House on The Big Woods, fyi)
Dia ketawa.
Dia : Iya. Eh, kamu nggak usah takut disini ya. Ada aku kok yang nemenin kamu.
Gue : Iya. Udah ya. Aku mau ke bawah dulu. 
Dia : Iya. Dadah !

Gue lari menuruni tangga dan gue nggak pernah nengok ke belakang. Besoknya gue udah nggak inget apa-apa tentang Laura. Sampai malam itu, waktu gue chat sama temen gue. Gue baru nyadar kalo yang dulu kenalan sama gue itu ehm Laura si noni Belanda yang bunuh diri. Oh my goat dragon, gue langsung nutup badan gue pake selimut, ambil rosario dan berdoa buat Laura, semoga dia tenang disana. Belakangan, setelah temen gue off (sekitar jam 4an), gue memutuskan untuk melanjutkan tidur gue. Dan gue mimpi tentang Laura. Dia berjalan menaiki tangga sebuah rumah yang baguuus banget. Kayak rumah-rumah Belanda gitu. Dan dia ketawa bahagia. 

Laura, semoga kamu tenang disana.

08 December 2011

Karena Isyarat Adalah Bahasa Hati Yang Terlupa


"Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta. Namun orang itu hanya dapat kugapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh yang lenyap keluar dari bingkai mata sebelum tangan ini sanggup mengejar. Seseorang yang hanya bisa kukirimi isyarat sehalus udara, langit, awan, atau hujan"(Dewi Lestari, Hanya Isyarat)



Sepertinya isyarat itu tidak pernah sampai padamu ya?
Buktinya, saya sudah ngos-ngosan seperti ini, tapi kamu tetap bergeming.
Sekarang pertanyaan saya, cuma kamu yang bergeming, atau hatimu juga ikut bergeming?

"Bagaimana kita bisa tahu,
kapan waktunya untuk menyerah
dan kapan waktunya untuk bertahan?"

Saya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
Karena itu tolong beritahu saya.
Karena saya hanya ingin ritme hati saya kembali seperti semula.

06 December 2011

Heartbeat




Can you feel my heartbeat? The heart that you’ve stomped on is still beating towards you. No matter how hard I try, no matter how many new people I meet, again and again, why do I turn around and think of you? I’m going to stop, I want to stop. Although I calm and calm myself again, it’s no use.

Why am I still doing these stupid things? My mind seems to understand, but why my heart is still acting on its own? I grabbed you and I still can’t let go. It still seems like you’re by my side, I can’t believe we’ve had a goodbye.

No matter whom I meet, I can’t open a part of my heart. I keep leaving a space for you. This is not a reason for you to come back, but my heart keeps believing that you might come back. Why won’t it listen?

02 December 2011

Spasi


Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda?
Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak?
Dan saling menyayang bila ada ruang?
Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi.
Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali.
Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah.
Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat.
Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat..
karena aku ingin seiring dan bukan digiring.

(Dewi Lestari)

23 November 2011

Happiness Is In Your Hand


Dialog Dini Hari. Selasa 22 November 2011. 01:10 A.M

photo source: here

“Hati kamu mungkin memilihku, seperti juga hatiku selalu memilihmu. Tapi hati bisa bertumbuh dan bertahan dengan pilihan lain. Kadang, begitu saja sudah cukup. Sekarang aku pun merasa cukup.” | @deelestari, Perahu Kertas

X: Lucu ya, Cha, ngeliat kamu yang biasanya kuat, sekarang jadi kayak gini.
C: Kayak gini gimana maksudnya?
X: Yaaa.. lemah. Galau abis-abisan. Padahal sama yang dulu-dulu tuh gak kaya gitu kan?
C: Yaah, kan beda-beda tiap orang. Masa disamain.
X: Kenapa sih kamu kok galau-galauan gitu? Padahal dari cerita-ceritanya, kayaknya kamu gitu yang disakitin.
C: Disakitin? Nggak juga ah. Kamu ngeliatnya dari satu sudut pandang aja sih. Yang keliatannya salah belum tentu salah. Yang keliatannya bener, belom tentu bener. Sama kayak galau. Yang keliatannya galau, belum tentu galau. Hahaha
X: Really? Kalo kamu gimana?
C: Aku? Ya begini.
X: Begini gimana? Masih galau?
C: Kalo kamu nanya, masih galau apa engga, yaaa masih. Gimanapun juga, emang ada hal-hal yang gak bisa dihapus, gak bisa dilupain, dan gak bisa diubah. Tapi ini pilihan kok. Dan aku bahagia.
X: Bahagia? Masa sih? Kalo aku jadi kamu pasti udah aku injek-injek tu orang. Aku bom rumahnya. Trus aku pasti udah benci banget sama dia. Tapi kamu.. yaampun. Aku ga ngebayangin deh.
C: Emang ada yang salah? Aku tulus kok. Beneran bahagia. Dan ini caraku mencintainya. Aku bahagia, kalau dia bahagia, walau tanpa aku. Klise sih emang, cinta itu gak harus memiliki bla bla bla. Keliatannya bullshit banget. Tapi emang ini pilihan yang udah aku ambil. Dan kadang, pilihan terbaik adalah menerima.
X: I have shoulder for you to cry on.
C: Aku gak punya air mata. Aku bahagia :)

22 November 2011

Angelina Indra dan Dialog Matahari

Siang yang cerah. Di rumah sendirian. Saya lagi malas kuliah. Dan kebetulan matahari sedang bersinar dengan teriknya. What a perfect time to: 1) mencuci 2) bermalas-malasan 3) nonton tv sambil tiduran. Menyenangkan bukan? Tidak, menurut saya, because I'm a busy person. I hate being alone and I hate doing nothing. But thanks to technology, akhirnya ada sosok yang bisa diajak berbincang.

Angelina Indra. Sosok yang tidak asing dalam kehidupan saya. Kami jarang bertemu, tapi dia mengenal saya dengan baik, begitu juga sebaliknya. She is my shoulder to cry on. Selama 10 menit kami berbincang, berbasa-basi, berhai-hai-apa-kabar, dan mengupdate beberapa hal menarik yang terjadi pada kami akhir-akhir ini. Sampai akhirnya, tibalah saat penggalauan (musik lembut mengalun, lampu dimatikan dan lilin dinyalakan *apa sih ini*)

Dia: Jogja itu sempit ya. Nggak nyangka banget, pacarku adalah temen SMPmu, sahabatnya pacarnya Sarah, sahabatnya pacar sahabatku satu lagi, dan temen SMPnya temen teaterku sekarang.
Aku: Hahaha.. Sempit sekali dunia ini emang. Dan yang nggak kalah sempitnya adalah mantanku itu kakaknya temen deketku SD. Hadeeeh.
Dia: Ouch ouch ouch. Damn damn damn. Ini gila. Tapi seru. Tapi kadang bikin bete juga.
Aku: Hahaha seru ya. Bete kenapa?
Dia: Ya jadi ngerasa 'ajegileh, sini kenal situ ternyata'. Jadi susah juga tu kalo mau nyembunyiin kaya 'aib' wkwkwk. Tapi, damn big hell banget yang kamu tadi, ternyata mantanmu itu kakaknya temen deket SD.
Aku: Hahaha bener-bener. Tapi untungnya jadi banyak mata-matanya wkwkwk. Gak ngebayangin kalo besok reuni SD, ketemu adeknya dan heboh 'yaampun ternyata kamu mantannya kakakku' hahaha. Damn berasa aneh gitu pasti.
Dia: Oh God, itu HELL banget deh.
Aku: Super duper HELL gilak. Yaampun Tuhan itu punya skenario ter-oke.
Dia: Yang saking apiknya, kadang kita nggak tau mesti seneng atau senep. Hahaha
Aku: Yah pasti ada sesuatu yang bisa diambil dari film yang kita mainin ini.
Dia: Karena sutradaranya adalah sutradara paling hebat sepanjang masa :D
Aku: Benar. Dan aku penasaran, bakal kayak apa cerita hidupku nanti hahaha.
Dia: Yang kuyakin, rencanaNya itu indah.
Aku: Hal buruk yang terjadi sekarang mungkin bikin kita down. Tapi percaya aja kalo kita tuh punya ending yang jauh lebih oke :)
Dia: Yap. The ones that brought you down, would be the ones that make you stronger.


Beberapa hal yang menimpa saya akhir-akhir ini memang sempat mengejutkan saya. Berawal dari pertemuan tak sengaja yang akhirnya saling menautkan hati, sampai akhirnya harus berakhir dengan proses yang juga tidak terduga. Sungguh tidak mengenakkan. Menyayat hati. Dan harus saya akui, keran air mata saya mendadak begitu lancar mengalir. Anak muda jaman sekarang menyebutnya galau. Saya menyebutnya gambus, karena level saya mencapai tingkat dewa. Menembus sukma. Dan saya yang fabulous spektakuler ini pun bisa jatuh karena... cinta.

Saya tahu, pada saat itu segala pertahanan saya runtuh. Saya lemah. Saya jatuh tersungkur. Beberapa teman bilang saya bodoh, karena saya terlalu dalam mendalami hubungan yang saya bina. Beberapa menyebut saya lemah, karena bersikeras mempertahankan cerita yang menurut mereka salah. Beberapa menyebutnya buta, ketika saya tenggelam dalam cinta seperempat windu. Baru kali ini saya mencintai hingga tak kenal logika. Baru kali ini saya mencinta walau harus tersayat kata-kata.

Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti. Itu pilihan, bukan karena tak lagi cinta.
Decisions are the hardest move to make. Especially when its a choice between where you should be and where you want to be.
Beberapa hal memang tidak bisa terkatakan. Tak ubahnya cinta.

Well, perbincangan dengan Indra sempat membuka mata saya. Bahwa saya masih harus menjamah ruang-ruang yang lain. Saya masih punya klimaks-klimaks lain yang pada akhirnya akan membawa saya pada sebuah awal baru. Saya masih akan menemukan kebetulan-kebetulan baru. Oh, the world still waits. And so do I. There's single for a season, and single for a reason. I remember thinking it was hilarios until the day he went away. Then my thoughts turned much darker, like 'Hey, maybe I am single for a reason'. That's a depressing day, when you realize Prince Charming isn't riding in on a white horse, and Justin Bieber is starting to sound awfully handsome on the radio. LOL

I keep waiting to wake up from one of my fantasies. Now he feels free to tell me what he feels - now that he's turning and walking away from me. But does it really mean anything? I can't make him stay with me here, and I know I wouldn't want to. Life is a series of choices. I've made mine. He's made his.

For better or worse, they don't coincide


me and Indra

Thanks to God, and you (all). Saya tahu, sejak awal Tuhan tidak pernah membiarkan kita benar-benar sendirian.  *hugs*

Bibit Bebet Bobot

Tiga kata ini kedengarannya old, kuno, eyang-eyang banget, sesuatu yang dirasa aneh di jaman modern ini. Pemilihan bibit bebet bobot dapat diaplikasikan pada banyak hal, tapi yang paling sering adalah dalam memilih jodoh slash pasangan hidup.

Okay, I'm gonna explain more about these things.

Menurut sumber ini, arti bibit adalah rupa (harafiah: asal-usul, keturunan atau bibit pula seperti dalam bahasa Indonesia). Arti bebet adalah keluarga, lingkungan, dengan siapa teman-temannya. Dan arti bobot adalah nilai pribadi atau diri yang bersangkutan. disini termasuk kepribadian, pendidikan dan kepintarannya, pekerjaan juga nilai pribadi seperti gaya hidup dan iman. Bobot juga berhubungan dengan tingkat pendapatannya. Ketiga hal ini selalu dipesankan oleh Eyang-eyang dan Mama-mama dari suku Jawa buat anak-cucu-cicitnya yang mau menikah. Termasuk saya.

Kenapa?
Believe me, it works.

Kenapa juga ngomongin soal bibit bebet bobot?
Ini semua gara-gara temen saya yang tiba-tiba nanyain 'Kalo disuruh milih, mending pacar yang ganteng tapi gak tajir atau tajir tapi gak ganteng?'

Tanpa pikir panjang, saya jawab kalau itu bukan pilihan, sama ketika pacar nanya 'kamu milih aku atau kegiatanmu' (oops ).
Dan sekonyong-konyong saya dibilang nggak realistis.
JEDER!


Saya nggak paham sejauh mana nggak-realistis-nya statement saya tadi, ditambah saya juga nggak paham pasangan seperti apa yang mereka bilang realistis. Apakah yang realistis itu adalah sosok pria tampan berhidung mancung, tinggi 180 cm, berkulit putih, sixpack, keturunan ningrat, anak pengusaha kaya, lulusan S3 Kedokteran universitas ternama, rajin beribadah, berkepribadian baik, dan dari keluarga baik-baik? Terlalu sempurna, dan sinetron banget! Hahaha. Tapi menurut saya memang ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam memilih pasangan, atau ada beberapa kriteria bibit-bebet-bobot yang harus dipenuhi, menurut saya:
  1. Seiman
    Alasannya sederhana. Kalau pasangan saya seiman, pasti enak diajakin ke Gereja bareng atau ngerayain Natalan bareng, dan yang paling penting adalah dia nggak bakalan protes kalau saya terlalu banyak ikut kegiatan Gereja (fyi, Gereja itu sudah seperti rumah kedua saya, dan seluruh hidup saya lebih banyak dihabiskan disana hehe). Bukan berarti yang beda itu nggak bagus. Bukan gitu. Justru saya sangat menghargai perbedaan. Cuma ada beberapa hal yang bakalan bikin rempong kalo kita beda, terutama kalau sudah mau serius menikah. Serius loh.
  2. Open minded, fleksibel, demokratis, dan easygoing
    Saya nggak suka orang yang 100% lurus, kaku, konservatif, dan terlalu protektif. It's 2011 hell-oow. It's so last year! Orang dengan kepribadian seperti itu bukan tipe saya banget deh. Ini dikarenakan saya punya teman yang tidak cuma perempuan, tetapi juga laki-laki, dimana saya juga sering hang out dengan mereka. Ditambah lagi saya juga termasuk orang yang ceplas-ceplos dan *jujur* suka misuh. Kan nggak lucu banget kalau pacar saya selalu ngelus dada tiap kali saya ngomong. 
  3. Berkepribadian baik dan cerdas
    Kriteria ini PPKN banget: sikap baik, bukan anak gaul (maksudnya bukan anak club mobil atau 'dugem is my lifestyle'), nggak suka pamer, apa adanya, rajin membantu ibu, suka menolong sesama, rajin menabung, menghargai orang lain, sayang keluarga, penuh semangat, berpikiran positif, setrikaannya halus hahaha. Yah, semua orang pasti punya sisi baik dalam hidupnya kan?

    Dan cerdas! Nggak harus secerdas Albert Einstein atau Thomas Alfa Edison. Bukaaaaaannnn.. Cerdas disini adalah mampu berpikir logis dan kreatif. Serta rajin menimba ilmu. Karena buat saya, kita nggak boleh berhenti belajar. Dan saya mau dia juga begitu hehehe.

    Saya nggak tahu harus jelasin gimana lagi soal penilaian nomer 3 ini. Yang jelas, family man selalu berhasil membuat saya terpesona.
  4. Dan ini yang paling penting: toleran dengan kegiatan saya yang sangaaaaaaaaaaattttt banyak
    Saya termasuk busy person. Saya paling benci nggak ada kerjaan dan sendirian, makanya saya selalu  punya kegiatan atau mencari-cari kegiatan yang bisa saya lakukan. Termasuk di malam minggu. Hehehe
Ganteng, apalagi tajir, nggak masuk dalam kriteria bibit-bebet-bobot versi saya. Karena buat saya, dua hal itu sifatnya fluktuatif. Nggak kekal. Dan cuma bonus. Alhamdullilah kalau misalnya dapet pacar yang ganteng dan tajir, tapi kalau misalnya enggak, ya nggak masalah, karena itu bukan prioritas. Saya lebih suka memulai dari nol bersama pasangan. Ngerasain gimana jatuh-bangun, bikin pondasi, menjaga biar rumah yang kita bangun itu nggak goyah walaupun diterpa angin topan, ngerasain gimana berjuang, susah-sedih-bahagia bersama, buat saya itu lebih worthed.

picture taken from here
People say, love is so objective.
Although when we talk about the feeling it self, we used to be so subjective, self oriented, selfish, and irrational.
It’s no matter if u’re so mature, well, or -intelligent.
When it comes to love, who really cares about the right or wrong, the logical, the rules?
All we know is just loving and loving, although sometimes it hurts so much.
But we’d rather stand to live in pain than stand to live with no air rite?
The love, is the air
See? Kriteria bibit-bebet-bobot versi saya masih dalam taraf wajar dan rasional. Di dunia ini memang nggak ada yang sempurna. Kira-kira beginilah kriteria pemilihan pasangan versi saya. Nggak berlebihan, dan wajar. Berminat mendaftar? Saya single loooh hahahaha .

20 November 2011

Firasat

"...Aku teringat detik-detik yang kugenggam. Hangat senyumnya, napasnya, tubuhnya, dan hujan ini mengguyur semua hangat itu, menghanyutkannya bersama air sungai, bermuara entah ke mana. Hujan mendobrak paksa genggamanku dan merampas milikku yang paling berharga. Hujan bahkan membasuh air mata yang belum ada. Membuatku seolah-olah menangis. Aku tidak ingin menangis. Aku hanya ingin ia pulang. Cepat pulang. Jangan pergi lagi."

Firasat | @deelestari

19 November 2011

Peluk


‎"Tiada yang terobati di dalam peluk ini
tapi rasakan semua sebelum kau kulepas slamanya."

Aliran ini memecah. Indah. Meski aku berbalik pergi dan tak kembali. | @deelestari

16 November 2011

Hello There




Stupid fights. Midnight talks. Thousand messenger words. Longing hugs. DVD dates. Kisses. 
Siomay 70. Sendangsono. Seven Sekop. Ganjuran. Soccer match. Manchester United. 
Joglo Antonio. Ruang Mudika. Photographs. Blog. Badminton. 
Rasulan. Ngobaran-Ngrenehan. Poker. Football Manager.
Smile. Laugh. Cry. Love. Lie. Hope. Fear. Hate. 
I miss you :(

p.s: if you read this, I'm sorry for being selfish. I (still) love you.

09 November 2011

Someone Like You

You know how the time flies.
Only yesterday was the time of our lives.
We were born and raised in a summer breeze.
Bound by the surprise of our glory days.

I hate to turn up out of the blue, uninvited
But I couldn't stay away, I couldn't fight it.
I had hoped you'd see my face and that you'd reminded
That for me it isn't over.

Never mind, I'll find someone like you.
I wish nothing but the best for you, too.
Don't forget me. I begged, I remember you said.
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead.
Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead.

Adele - Someone Like You
:)

Published with Blogger-droid v2.0.1

08 November 2011

Bahasa Yang Kutahu Kini Hanyalah Perasaan

Aku memandangimu tanpa perlu menatap.
Aku mendengarmu tanpa perlu alat.
Aku menemuimu tanpa perlu hadir.

Hati tidak menyimpan apa-apa.
Ia menyalurkan segalanya.
Mengalir, hanya mengalir.

Published with Blogger-droid v2.0.1

14 September 2011

Xoxo



Gimme your kiss this morning
and I'll know that
tomorrow you'll still be here


Counting time
and gone.

09 September 2011

Southern Serenade

Kita memeluk waktu agar tak beranjak,
Yang menghanyutkan kita dalam tiap detiknya
Menjamah malam
Merayap dalam kilauan kuning kemerah-merahan
Menimpa pada garis yang tak kita terima
Kamu, aku, kita terpaut dengan waktu
Yang mengikat dengan semu

“Coba pegang detik itu!! Dan aku akan menarik menitnya
Supaya tiap jam tak pernah terbentuk!!”

Namun kita tak bisa,
Mereka tetap berlari ke arah kita: mencoba memisahkan hunian yang kita miliki
Memaksa untuk meninggalkan rongga
Yang memberi kesempatan bernafas

“Kita benci ‘waktu’ itu!!”

Yang terus mendorong kita mendapatkan samar
Yang mulai menghilang.

Sore ini engkau begitu dekat, dangkal dengan batasan air
Menyentuh ujungnya dan menelan perlahan
Menimbulkan perubahan romantisme di petang ini

Disana kamu tenggelam
Menjalani ketentuan-ketentuan yang tak bisa engkau tinggalkan
Dan hilang dalam serambi petang

Sore ini engkau begitu indah
Dan aku hanya berharap
Di senja selanjutnya, aku bisa kembali
(lagi)


Gubernur DIY dan Jabatan Tradisionalnya

Asumsi Daerah Istimewa tidak dapat dipisahkan dari Kota Yogyakarta. Selama bertahun-tahun Yogyakarta dianggap sebagai daerah khusus, karena memiliki pemerintahan yang diurusi sendiri. Dalam hal ini, Gubernur Yogyakarta sekaligus merupakan pemimpin kerajaan lokal. Dengan kata lain, yang menjadi Gubernur haruslah Raja dari Kerajaan Mataram.

Selama bertahun-tahun, masalah keistimewaan Yogyakarta tidak pernah terusik. Masyarakat Kota Yogyakarta sendiri tidak memikirkan masalah itu, selama mereka bisa hidup nyaman dan tentram dan mereka tidak kesulitan bahan pangan. Pemerintah Kota Yogyakarta pun tidak ambil pusing dengan kesepakatan lampau yang memang sudah berjalan dengan baik dan tanpa masalah. Namun dewasa ini persoalan itu mulai diungkit. Dalam berbagai sumber disebutkan bahwa Sri Sultan tidak bersedia lagi dicalonkan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara tidak langsung hal ini memberikan implikasi atas keistimewaan Yogyakarta. Dalam Kapanlagi.com disebutkan Guru Besar Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Dr Subakdi Soemanto dan warga bereaksi kencang, dengan menganggap, tanpa Sultan disertai kewenangan politik serta pemerintahan, fungsi pengayom rakyat hilang, begitu juga keistimewaan Yogya amblas. 

Berbagai polemik di media, demo, dan pendapat masyarakat Yogyakarta tentang pemilihan Gubernur mereka belum sampai pada keputusan yang bisa memberi kelegaan pada semua pihak. Pemerintah pun belum bisa mengambil sikap tegas sehingga masalah suksesi Gubernur DIY tetap mengambang. Hal ini wajar, karena ada banyak pihak dan kepentingan yang menjadikan hal tersebut semakin kompleks. Jika dilihat dari kacamata sosio-politis, keadaan mengambang tanpa keputusan dan kejelasan tersebut sangat natural mengingat Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki sejarah politis yang “istimewa” dan benar-benar berbeda dengan wilayah lain. Mayoritas masyarakat DIY, bahkan pasca kemerdekaan RI, tetap kraton-eoriented dan menganggap Sultan penguasa yang istimewa dan “berbeda” dari presiden RI. Sultan merupakan pemimpin adat, spiritual, dan politis karena sekaligus Gubernur. Perasaan sebagian besar masyarakat Yogyakarta terhadap Gubernur mereka diwarnai oleh kefanatikan terhadap sosok yang, sebagaimana dikatakan oleh Soebakdi Soemanto, “pengayom.” Dengan demikian, Gubernur DIY bukan sekedar pemimpin politis melainkan pemimpin yang benar-benar khusus bagi masyarakat. 

Daerah Istimewa Yogyakarta memang memiliki sejarah politis tersendiri. Yogyakarta dalam perspektif politik memiliki keistimewaan yang mendasar. Sejak Indonesia menyatakan dan dinyatakan merdeka, Yogyakarta secara resmi, melalui Sri Sultan Hamengkubuwono IX, menyatakan bergabung dengan negara Indonesia dan mau menjadi bagian dari negara Indonesia. Namun Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menambahkan bahwa urusan dalam kota akan diurusi oleh Kasultanan Yogyakarta. Dalam Dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan bahwa Yogyakarta menyatakan kemerdekaan serta kedaulatannya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sekaligus juga mengakhiri serta mengintegrasikan kemerdekaan dan kedaulatannya kepada Pemerintah Republik Indonesia. Sesudah itu Sri Sultan Hamengku Bowono IX dan Paku Alam VII mengeluarkan kembali dekrit kerajaan, yang dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945, yang menyerahkan kekuasaan legislatif kepada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan yang dikeluarkan melalui Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melalui Dekrit Kerajaan ini dinyatakan bahwa hubungan antara Negeri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri Kadipaten Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung, dan kedua kepala Negeri bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden, yang dikukuhkan dengan piagam kedudukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Agustus 1945, yang diterimakan pada tanggal 6 September 1945. Secara hukum perkembangan ini sungguh menarik karena meski tidak diatur melalui UU khusus, akan tetapi melalui dekrit kerajaan dapat dinyatakan bahwa Yogyakarta menganut bentuk pemerintahan monarki konstitusional dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (http://anggara.org/2007/06/07/otonomi-khusus-dalam-hukum-internasional-catatan-kritis-untuk-keistimewaan-yogyakarta/).

Jika kemudian pemilihan Gubernur dilakukan dengan sistem yang sama dengan sistem pemilihan pemimpin politis lain, wajar bila masyarakat merasa tidak suka karena aspek-aspek spiritual, kraton-oriented, dan sebagainya tidak akan terwakili. Terlebih, sistem pemilihan tersebut akan memungkinkan teprilihnya Gubernur yang non-keturunan Sultan. Sebagaimana dikatakan oleh John E. Farley dalam bukunya Sociology, power atau kekuasaan tidak selalu diperoleh dengan kekerasan atau konflik (1990:387). Farley juga mengutip pendapat Max Weber bahwa salah satu sumber kekuasaan yang penting adalah otoritas. Individu yang memiliki otoritas, menurut Weber, dengan sendirinya memgang kekuasaan. Dengan kata lain, orang menerima saja hal tersebut. Salah satu contoh hal ini adalah otoritas tradisional yang didasarkan pada praktek-praktek tradisi yang turun-temurun atau adat. Model kekuasaan tersebut, menurut Farley, seringkali menyangkut elemen-elemen sakral, magis, spiritual sehingga siapapun yang melawannya cenderung dianggap menentang adat dan tradisi serta takdir Allah. Sebagai contoh, kekuasaan atau otoritas yang dimiliki oleh para raja atau ratu (Farley.1990:388). Demikian pula tampaknya sikap dan pandangan masyarakat Yogyakarta terhadap Gubernur mereka. Karena selama ini Gubernur adalah Sultan, maka pemilihan yang sesuai tradisi puluhan tahun sudah mengakar dan diterima dengan mantap oleh rakyat. Jika kemudian ada wacana berbeda, penawaran sisetem pemilihan yang tidak sama, maka gejolak pun muncul.

Ketika masyarakat semakin plural dan terdidik, dan tradisi semakin ditinggalkan, sistem pemilihan yang lama sebenarnya menghadapi tantangan. Pendapat bahwa sistem pemilihan Gubernur DIY tidak demokratis juga masuk akal. Ketika masyarakat Yogyakarta tidak lagi kraton-oriented tetapi academic-oriented karena Yogyakarta menjadi pusat kampus, sistem pemilihan yang selama ini dianggap tidak bermasalah tiba-tiba dipertanyakan karena dianggap tidak demokratis dan tidak melibatkan rakyat. Relevansi sistem election berdasar garis keturunan dan “keistimewaan” DIY sebagai pusat budaya dan kraton dengan pola kehidupan masyarakat yang sangat berubah menjadi problem riil wilayah ini. 

Barangkali, di era awal kemerdekaan, sistem pemilihan berdasar tradisi dan keturunan masih relevan dan sesuai. Barangkali, pada waktu itu hingga tahun 80-an, ketika  Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang sekaligus negarawan dan politikus, masih menjadi pemimpin politis dan spiritual yang berwibawa, model suksesi tersebut masih bisa diterima karena pada dasarnya beliau memang panutan yang oleh sebagian masyarakat dianggap “pengayom” dan Sultan dalam artian yang sesungguhnya. Ketika masyarakat semakin kritis dan dalam banyak hal “tidak membutuhkan” kraton, kebutuhan emosional dan keterikatan dengan kasultanan Yogyakarta tidak sebesar dulu lagi. Generasi muda masa kini bahkan sudah tidak merasakan kontribusi kraton pada kehidupan mereka. Dulu, barangkali teori Anthony C. Zinni sangat sesuai untuk menjelaskan model pemilihan berdasar tradisi tersebut:

The process of creating democracy may be destabiliting and bring unpredictable consequences. Elections are good, but not in every society. Without an educated electorate, without substantial a viable political parties, without a viable and institutional structure to elect into, the act of holding an eleciton is meaningless.(Zinni, 2006: 111)

Ketika negara baru saja terbentuk, manakala rakyat baru saja menghirup kemerdekaan, segala sesuatu belum tertata dan banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Partai-partai bermunculan secara sporadis dan membawa janji yang sangat membingungkan masyarakat yang belum terdidik. Dalam kondisi seperti itu, wajar bila sosok Gubernur yang sekaligus pemimpin lokal sangat melegakan masyarakat.

Tetapi, ketika era berganti dan tata masyarakat berubah seperti dewasa ini, sistem yang sebelumnya dianggap prima belum tentu masih sesuai. Semua tergantung pada masyarakat, seperti yang dikatakan Zinni:

Order and stability return to failed, failing or unstable states when their institutions regain sufficient strength to sustain them, and / or their environtment can gain protect and provide for them. Rebuilding institutions or the environment can come from within – people can raise themselves up by their boothstraps – or with help from outside ( Zinni,  2006: 112 ).

Kalau konflik suksesi Gubermur kemudian mencuat, hal itu merupakan sesuatu yang wajar karena, sebagaimana pendapat Zinni di atas, membangun kembali suatu organisasi atau lingkungan bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu dari dalam dan dari luar. Dari dalam, berarti dari masyarakat itu sendiri sedangkan dari luar berarti oleh pihak dari luar masyarakat tersebut. Dalam konflik atau gejolak suksesi Gubernur DIY, masyarakat Yogyakarta sendiri akan sulit mengatasinya karena untuk masa kini, masyarakat Yogyakarta masih didominasi warga yang cenderung kratonis. Perlu pihak luar, misalnya Menteri Dalam Negeri untuk menegaskan dan mermberlakukan sistem yang mestinya paling ssesuai. Tapi, jika Mendagri menetapkan sistem yang baru, gejolak baru akan timbul karena seperti yang dinyatakan oleh Teori Struktural Fungsionalisme ( Talcott Parsons), kalau dalam sebuah organisasi atau masyarakat ada satu fi\ungsi yang terganggu, maka fungsi lain akan kacau. Demikian pula fungsi sebagian warga DIY akan terganggu oleh sistem pemilihan Gubernur langsung sehingga  “kenyamanan” dan “keseimbangan” masyarakt akan terganggu pula karena aspek-aspek relijius, politis, kratonis, yang selama ini dipegang teguh diasumsikan akan lenyap oleh pemilihan model baru. Dengan demikian, perubahan yang mengganggu salah satu unsur tersebut akan mengganggu seluruh sistem masyarakat. Kesimpulannya, khusus untuk DIY, demokrasi dan sistem pemilihan Gubernur dengan pemilihan langsung justru kurang menguntungkan karena tidak mengakomodasi kebutuhan masing-masing “unsur” masyarakatnya.

Pemilihan langsung Gubernur DIY belum bisa dilakukan jika anggota masyarakat yang masih kratonis masih mendominasi tatanan masyarakat DIY. Sistem pemilihan lama Gubernur DIY yaitu berdasar garis keturunan Sultan untuk saat ini masih relevan dan tidak melanggar demokrasi. Dalam artian, sebagian besar masyarakat justru menginginkan hal itu, tidak merasa dirampas hak pilihnya.

(Per)jalan(an)


Mengapa engkau berdiri angkuh di atas sana?
Hingga aku harus menengadahkan kepalaku
Hanya untuk sekedar menampar tipis
Yang seperti beberapa mili di depanku

Tapi aneh,
Aku tak mampu menjangkaumu.

Di lain hari aku mencoba
Memanjat tebing ini, dimana kakimu berpijak

Dan setiap selangkah aku berhasil menapak
Terlihat engkau seperti ke atas pula

Entahlah,
Kepalamu hampir menyentuh biru yang terluka.

Disana engkau terlihat semakin angkuh
Tawamu mengisyaratkan ejekan

Detik berikutnya, langkahku melemah
Tersadar aku pada transparansi dunia
Semua begitu jelas, tapi aku menendangnya
Melompat dan mencoba tak melihat
Kembali menapak pelan _ jatuh

Selang waktu aku lupa dengan kokohnya dirimu
Jauh di atas sana, tak tersentuh...
Menyempurnakan nafasku untuk tergugah
Melihat ke bawah, dan heiii
Aku menemukannya!

Sendangsono, 26 Agustus 2011, sebuah refleksi.

Gadis Pantai: Gambaran Posisi Perempuan Dalam Dunia Kepriyayian Jawa

Sebuah resensi novel karya Pramoedya Ananta Toer



Pramoedya Ananta Toer selalu berhasil mengubah persepsi seseorang akan suatu cerita. Yang beliau ceritakan bukanlah cerita dengan banyak istilah ilmiah, atau cerita dengan bahasa tingkat tinggi yang sulit dicerna. Hanya roman, cerita yang ditulis dengan sudut pandang berbeda. Tentang Gadis Pantai, gambaran kehidupan masyarakat pesisir kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Gadis Pantai hanyalah gadis berumur empat belas tahun. Tidak bernama. Kulitnya langsat, tubuhnya kecil mungil dengan hidung kecil dan mata setengah sipit, yang dengan mudah membuat para pembesar jatuh hati. Ia adalah gambaran kembang desa nelayan di seluruh pantai keresidenan Jepara. Kehidupannya sehari-hari sama dengan para gadis pantai lainnya. Ia bermain di pantai bersama teman-temannya, menunggu para nelayan berangkat dan pulang melaut, membawa ikan hasil tangkapan, dan mengolahnya untuk dijual kembali. 

Suatu hari datanglah utusan dari kota. Utusan itu tinggal beberapa hari di kampung, dan pada hari ketiga dibawalah Gadis Pantai beserta Lurah Desa dan sanak keluarganya ke kota. Gadis Pantai telah dinikahkan dengan sebilah keris, yang merupakan wakil suaminya - seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Seorang pembesar yang disebut Bendoro.

Gadis Pantai dan keluarganya dibawa ke rumah besar tempat Bendoro tinggal. Tubuhnya diselimuti kain sutra halus dan perhiasan-perhiasan yang tak pernah ia kenakan sebelumnya. Wajahnya dipoles dengan bedak dan make up. Ia memakai alas kaki yang terbuat dari bahan berkualitas bagus. Tetapi ia sendirian. Keluarganya harus meninggalkannya untuk tinggal disana, karena sekarang ia adalah istri Bendoro.

Kehidupan di rumahnya yang sekarang sama sekali berbeda dengan kehidupannya di kampung nelayan dulu. Ada banyak aturan untuk setiap gerak-gerik. Harus begini, harus begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, kehidupan Gadis Pantai (atau yang sekarang disebut Mas Nganten) terkurung dalam rumah yang penuh dengan aturan. Seperti tikus dalam perangkap. Ia sendirian, tak berkawan, hanya ada bujang yang siap menemani dan melayaninya dua puluh empat jam penuh.

Kedudukan Gadis Pantai memang terangkat, begitu pula keluarganya di kampung nelayan. Kini ia adalah istri seorang pembesar santri setempat, dan istri seorang pejabat Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tapi kedudukannya yang sebenarnya hanyalah sebagai Bendoro Putri, perempuan yang melayani “kebutuhan” seks laki-laki sebelum laki-laki tersebut memutuskan untuk menikah resmi dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.

Gadis Pantai tidur dengan pembesar itu, melayani semua kebutuhannya, membantu mengurus rumah dan memerintah di Komplek Keresidenan, paviliun, kandang-kandang, bahkan sebuah masjid. Ia memegang kendali di seluruh keresidenan tersebut. Termasuk ketika terjadi pencurian uang, ia harus merelakan bujangnya dikeluarkan dari residen dan digantikan oleh pelayan lain. Mardinah namanya. Umurnya sama-sama empat belas tahun, parasnya cantik, kulitnya mulus, dan ia janda. Hanya saja keberadaan Mardinah mengancam eksistensinya dalam rumah itu. Mardinah secara hierarkis memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Gadis Pantai. Ia adalah seorang anak juru tulis dan berasal dari kota. Berbeda dengan Gadis Pantai yang hanyalah anak seorang nelayan kampung. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gadis Pantai belajar untuk mencurigai seseorang. Ia tak lagi lugu dan mempercayai semua kata-kata yang masuk ke telinganya. Ia mulai berhati-hati, terutama pada Mardinah.

Pada suatu waktu, Gadis Pantai pulang ke kampungnya di kampung nelayan sana. Dibawanya serta Mardinah atas perintah Bendoro. Namun keadaan di kampung sama sekali berbeda ketika Gadis Pantai datang. Ia kini dianggap sebagai “Ndoro”. Kebebasannya dirampas, dan ia sadar betul akan hal itu. Tidak boleh ikut melaut, tidak boleh memasak dan turun ke dapur. Hanya boleh duduk dan tiduran di dipan. Segala kebutuhannya dilayani dan dipenuhi. Bahkan oleh orangtuanya sendiri, yang tertunduk hormat pada anak gadisnya yang sekarang bukan milik mereka lagi.

Dan ia hamil! Ia mengandung anak Bendoro, anak yang kelak akan melanjutkan perjuangan Bendoro. Pernikahan itu memang membangkitkan prestise Gadis Pantai. Derajatnya naik dan ia “dipandang”. 

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ketika Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan, ia diusir. Anaknya ditahan dan tidak boleh dibawa bersamanya. Orang yang selama ini memilikinya, tega membuangnya begitu ia melahirkan anak perempuan.

Dalam usia yang begitu mulia, Gadis Pantai sudah kehilangan segalanya. Tidak punya suami, tidak punya rumah, tidak punya anak (karena anaknya diambil dari tangannya), tidak punya pekerjaan, bahkan ia kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Roman ini diceritakan dengan indah dan mempesona. Lewat roman ini, Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi berhasil menunjukkan adanya praktek feodalisme Jawa yang tidak berperikemanusiaan. Melalui novel ini Pramoedya juga menuturkan realita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa pada era itu, bahwa kedudukan wanita dalam sebuah keresidenan yang megah dan terpandang, dengan embel-embel panggilan “Bendoro”, ternyata hanyalah sebuah ironi. Wanita hanya dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki yang dengan mudah didepak bila sudah tidak berguna lagi.

Sungguh ironis.

Independent-kah Kita ?

Dewasa ini peran perempuan sebagai salah satu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat sudah mulai diperhitungkan. Banyaknya organisasi yang menjunjung tinggi martabat perempuan sudah mulai marak di Indonesia. Munculnya aktivis-aktivis perempuan juga sudah mulai mencerahkan paham emansipasi wanita yang selama ini hanya kita anggap sebagai sebuah formalitas semata. Tak bisa dipungkiri bahwa gender kini bukan lagi sebagai penghalang kita, kaum perempuan, untuk bisa tampil di garis depan.

Namun pada kenyataannya, presentasi perempuan Indonesia yang menganggap diri mereka sebagai “perempuan independent” masih sangat minim bila dibandingkan dengan perempuan non independent yang jumlahnya sangat mengejutkan. Memang sangat ironis bila mengingat jumlah penduduk Indonesia yang majemuk. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah setiap perempuan mampu memaknai arti emansipasi yang telah diperjuangkan R.A Kartini sejak puluhan tahun yang lalu? Apakah genderisasi sudah benar-benar terhapus dari pikiran masyarakat kita?

Seorang perempuan bisa disebut independent bukan hanya didasari pada beberapa faktor keibuan saja atau jika dia bisa hidup berjuang sendirian tanpa tameng sesosok laki-laki. Namun yang paling penting jika perempuan itu berani menghadapi hidup dengan segala resiko yang akan ditanggungnya atas segala  keputusan yang telah ia ambil dalam menjalani garis hidupnya serta mampu mengubah pandangan negatif orang terhadap dirinya.

Contoh konkret dari seorang perempuan adalah seorang single mom, baik yang terjadi karena hasil dari ‘kecelakaan’ maupun bagi keluarga yang terpaksa harus kandas di tengah jalan. Secara kasat mata, yang pertama kali kita lihat biasanya dari aspek status sosial yang menggambarkan bahwa mereka-mereka ini adalah sosok yang kuat tanpa sosok laki-laki. Namun dibalik itu, ada hal yang lebih mendasar sehingga mampu menentukan sikap dan mengambil keputusan sendiri. Keberanian inilah yang menjadikan mereka menjadi sosok perempuan independent.

Lain halnya dengan kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka masih belum bisa mendapatkan hak-hak mereka, bahkan hak yang paling dasar sekalipun, salah satunya hak  untuk hidup. Mereka mengalami kekerasan fisik dan yang paling parah harus menghembuskan nafas   terakhir di tangan orang terdekat mereka. Ironis sekali. Di sisi lain, aktivis muda menyerukan emansipasi, namun di belahan dunia lain masih banyak perempuan yang belum mencicipi emansipasi itu sendiri.

Tak salah apabila ada anggapan bahwa di tangan wanita semua akan berjalan dengan baik. Namun yang patut diingat, untuk mewujudkan itu semua, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berpartisipasi. Tak peduli apa jenis kelaminnya. Jadi secara tidak langsung laki-laki juga harus ikut andil.

Sudahkah kita menjadi perempuan independent?

Mendekatkan yang Jauh, Menjauhkan yang Dekat

Seperti yang kita tahu, dewasa ini teknologi berkembang amat pesat. Bisa dihitung berapa banyak produk baru yang launching setiap minggunya. Berbagai macam merk, jenis, design, beserta fasilitas yang disediakan pun sudah tak terhitung banyaknya. Di satu sisi hal ini merupakan indikasi dari kemajuan jaman. Masyarakat (dalam hal ini adalah penemu, pencipta, penggubah alat-alat elektronik tersebut) sudah mulai ‘melek’ dan mulai meninggalkan nilai-nilai tradisional yang (memang) kuno dan tidak relevan dengan era globalisasi. Tetapi di sisi lain, hal-hal seperti ini justru memberikan dampak negatif.

Ada semacam fenomena menarik yang terjadi di masyarakat. Orang lebih suka berkomunikasi via dunia maya (facebook, twitter, sms) daripada bertemu muka secara langsung. Well, saya sendiri termasuk salah satu pelakunya. Untuk berkomunikasi dengan tetangga-sebelah-rumah-yang-jaraknya-tak-sampai-satu-kilo saya memilih menggunakan sms daripada datang ke rumahnya dan bertemu langsung. Malas, repot, dan berbagai alasan dikemukakan. Dan sms seakan-akan menjadi ‘jembatan komunikasi’ yang dapat mewakili kehadiran seseorang. Padahal kenyataannya tidak sama sekali.

Sebaliknya, ketika kita membahas tentang jejaring sosial (facebook, twitter, plurk, myspace, hi5, dan sebagainya), semua orang yang sebenarnya tidak kita kenal justru menjadi penting dan diprioritaskan (underline it please). Beribu cara dilakukan untuk bisa menggali info sebanyak-banyaknya tentang orang itu. Bahkan kita rela meluangkan waktu berjam-jam hanya untuk membalas wall yang sebenarnya tidak begitu penting. Woow, yang jauh didekati sementara yang dekat dijauhi.  

Kelihatannya memang sepele dan ‘Ah cuma gitu doang. Apa salahnya sih?’. Tapi sebenarnya masalah ini cukup serius dan perlu mendapat penanganan lebih lanjut. Bagaimana nasib generasi muda kita kalau mereka tidak memiliki sikap sosial yang baik? Apakah selamanya mereka akan terkurung dalam dunia maya dan tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat?

Sebenarnya menggunakan teknologi (dalam hal ini adalah HP (SMS) dan Facebook) tidaklah salah. Dalam beberapa hal, kegiatan tersebut justru membuahkan hasil yang baik. Komunikasi menjadi lebih lancar dan tidak perlu repot. Tetapi hal itu kembali lagi kepada masyarakat luas (penggunanya), seberapa jauh mereka menggunakannya dengan wajar dan sesuai kaidah. Apakah mereka masih bisa mendekatkan yang jauh dan masih dekat dengan yang dekat.

Sosiologi dan Mengapa Saya Berada di Dalamnya

Sejujurnya saya tidak bisa menulis apa-apa karena saya tidak tahu apapun yang berkaitan dengan sosiologi, specifically. Sosiologi selalu jadi pelajaran paling membosankan selama saya bersekolah. Entah karena gurunya yang tidak kreatif (Peace Bu :P) ataukah memang subjek pembelajarannya yang itu-itu saja sehingga saya tidak memiliki interest untuk ikut ambil bagian di dalamnya. Orang selalu berkata “Ngapain kamu masuk sosiologi? Mau jadi guru ya?” atau “Apa sih yang menarik dari sosiologi, sampe kamu bela-belain masuk sana?” atau “Kamu masuk sosiologi gara-gara nggak diterima di jurusan lain atau emang pengen disitu?” Parahnya, tetangga saya bilang, “Kata guruku, kalo di sosiologi itu ntar susah nyari kerja lho. Paling gampang ya cuma jadi guru.” Honestly, it makes me scared. Bener nggak ya yang dibilang orang-orang? Jangan-jangan sosiologi cuma buangan orang-orang yang nggak lolos jurusan Hubungan Internasional (HI) atau Ilmu Pemerintahan (IP). Jangan-jangan sosiologi memang khusus untuk mereka yang mau jadi guru. Waaa :((

Hal itu menjadi masalah ketika saya diterima di jurusan sosiologi. Blank pada awalnya. Dan sebenarnya saya masih dibayangi rasa was-was akan persepsi orang-orang pada jurusan ini. Jujur saja, sampai sekarang pun saya masih merasa demikian. Apalagi melihat jurusan lain yang begitu meyakinkan. Saya minder dan merasa tidak pede dengan jurusan yang saya masuki. Rasanya tidak sebangga itu ketika orang bertanya “Jurusan mana?” dan saya harus menjawab “Sosiologi.” Saya lebih memilih menjawab “Fisipol” ketimbang “Sosiologi”. Orang tidak akan bertanya kenapa. Yeah, it’s so silly but it’s true.

Sayangnya orangtua saya justru bangga melihat saya masuk jurusan sosiologi. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Yang jelas saya tidak bisa berpikir seperti itu. Bapak saya mulai membelikan buku-buku yang sekiranya dapat saya gunakan nanti. Setiap ke toko buku, yang dicarinya selalu buku-buku sosiologi. Ibu saya juga tak kalah heboh. Setiap hari beliau menyediakan waktu minimal setengah jam hanya untuk berdiskusi masalah-masalah aktual ditinjau dari aspek sosiologis. Seakan-akan semua informasi itu penting dan akan keluar di soal ujian. Hash, sedikit hiperbol sepertinya.

Surprisingly, apa yang mereka lakukan membuat saya sedikit “melek” akan sosiologi dan apa saja yang ada di dalamnya. Ternyata sosiologi bukanlah ilmu yang kaku dan membosankan (seperti ketika saya berada di SMA, dengan guru yang sangat ehm, tidak kreatif). Bukan pula ilmu kemasyarakatan yang teoritis. Sosiologi justru ilmu yang paling ‘sosial’ karena memandang segala aspek dari segi manusia, bukan dari segi disiplin ilmunya. Dan ternyata, di luar negri, sosiologi justru jurusan yang dianggap paling bergengsi (wow). And the most important thing is lulusan sosiologi tidak hanya menjadi guru. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk menjadi bagian dari masyarakat. Sociology’s not that bad dan saya merasa beruntung bisa masuk ke jurusan ini, finally. Viva la sosiologi!

07 September 2011

Eight Things You Should Know About Me

I'm about to tell you several facts about myself. This is fun because I don't normally tell people about all these things, but I was so excited when I thought about writing this post for everyone. So here they are, some facts you need to know about... 

My Identities


 I'm half Indonesian (Javanese), quarter Chinese, and quarter Dutch. I don't really look like my parent, and people can't tell whether I'm more Javanese or Chinese or Dutch - I don't have strong ethnical characteristics. And it makes me feel quite awkward sometimes (but I get used to it). 

My Biggest Fear


I'm afraid of snake. Running away from them everytime and get panic easily when there are lots of snake showing on television or books. Even if I think of them. It’s like a phobia, yeah. But, snakes are dangerous, are they?

My Daily Writings 


I regularly write my daily journals. Sometimes when I forgot to bring any notebooks, I wrote down the words in any papers I could find - abandoned newspaper, the back part of  posters... anything. I have a special book contains of my writings about the conversation between coffee and tea (in a series of letters) - mainly talks about life and the philosophies. I was planning to make a regular post from the series but never sure whether it's necessary or not to share them.

My Playlist 


  

Many of you may got surprised if you get to know my playlist. 'You? A song like this? I don't believe it', that's what they say. Mom called them the "noisy, boy-thing groups" and my dad said I don't suit their groupies styles. Well, besides jazz and britpop, I enjoy their songs and always put them on my playlist... Hey, what's wrong with that? I may dress girly and trendy, but it doesn't mean that I can't enjoy this kind of music genre.  

My Personal Style


I will feel beautiful, or most beautiful, when I’m comfortable with my outfits and still able to do anything I like – and just being my own self, my whole self without any pretending. For me, beauty needs honesty, so I’m always trying not to be fake. And I believe it works! The first thing in my mind everytime I open my closet is that I should feel comfy enough with anything I wear – then automatically the sense of beauty will come along. I think my favorite outfit so far are dress, flats, and wedges. They’re just like my to-go items. I prefer to be simple and often need to be dressed up quickly (since I always in hurry – miss clumsy clumsy), so dresses and flats are my favorite one. They’re light and easy to wear, not hard to be paired with, and allow me to move freely (and yes, the flats help a lot for such hyperactive manner).

 My Current Obsession


Fashion journalism is like a dream to me, since I was child. It includes fashion writers, fashion critics or fashion reporters. The most obvious examples of fashion journalism are the fashion features in magazines and newspapers, but the term also includes books about fashion, fashion related reports on television as well as online fashion magazines, websites and blogs. 

The work of a fashion journalist can be quite varied. Typical work includes writing or editing articles, or helping to formulate and style a fashion shoot. A fashion journalist typically spends a lot of time researching and/or conducting interviews and it is essential that he or she has good contacts with people in the fashion industry, including photographers, designers, and public relations specialists. See, that’s a dream for me. How about you?

I am a lunatic dreamer

If you could experience being  anything in the world for a day, I will be a fairy – wearing my white luminous tube dress with blue, pink, yellow and green pastel shades all over my body and luster-y transparent wings on my backbone. I could fly anywhere – and choose whether I want to be seen or keep invisible from the human beings and other creatures. I wake up in the morning from my soft ovary bed in my sunflower house, bring my loony colorful bucket and spread the magical stardust over the flower and plants – it is the powerful spirit and energy that was abstracted from the universe that will keep them alive. I will sing along by the noon with the other fairies in the heart of our thick, humid forest, accompanied by the mighty unicorns and mermaids by the side of their illuminated crystal pond. In the evening I will fly away to greet other magical creatures - from the kind witches and their black cats to the wise old trees in the southern land. I probably will blow the happiness wind for any deserved humans that I meet on the way, to make sure that they will have a beautiful day. And last, after having a enormous dinner with all the fairy village members, I would fly alone again to kiss the grasses who has enliven the party with their wonderful whisperer choirs and hugs the animals who always welcoming the fairies to sleep in their land-pit to get some warmth when the frosty night coming. Everyone will say a sweet farewell for me, and I will go back to my fluffy bed... to be vanished as the sprinkles of rain and incarnated as a mediocre human again.

I love Batik, especially the classic one

  
Well, being brought to the international runway make the pattern application is a bit and lot different from the basic or genuine one (that originally made by hands - it's a wax-resistant dyeing technique used to create the pattern... but due to the modern advances of textile industry, we also have 'printed-batik' made by the fabric machines, like those on the picture above, I believe)... If I should choose, I like the handmade cloth better since it has the old, classic and more traditional sense. But still a good news to hear! Even these kind of outfit on the photos are not vintage, not so my-signature-style taste, and I wouldn't be dare enough to wear such colors, but these are another side of beauty. And it brought my national heritage to the world! <3

18 August 2011

Merdeka!


Merdeka, adalah bebas belajar, beraktualisasi, berekspresi, dan bebas menjadi diri sendiri.
Apa merdeka versimu?

picture taken from here