19 December 2014

Soe Hok Gie, Semangat Pembaharu Sejati

gambar diambil dari sini

Tak ada yang bisa menggambarkan Gie selain kritis, berani dan jujur. Begitulah sosok seorang pemuda Indonesia keturunan Cina yang aktif menetang kesewang-wenangan penguasa melalui tulisan-tulisannya di awal tahun 1960-an, Soe Hok Gie. 

Diangkat dari buku 'Soe Hok Gie: catatan seorang demonstran', Mira Lesmana dan Riri Riza menuangkan dalam versi layar lebar dengan interpretasi sendiri. Tak menyeluruh mengikuti naskah bukunya, mereka mengambil garis besar buah pikir dan kehidupan Gie yang cukup kompleks dan diproses untuk sebuah tontonan komersil.

Mengintip Sosok Gie Dalam Film

Sejak kecil, Gie memiliki kepekaan sosial dan budaya yang melampui teman sebayanya. Ketertarikannya pada sastra dan bacaan membuatnya secara alamiah untuk terus menulis, mencatat apa yang terjadi di sekelilingnya dan Gie melihat segala yang terjadi secara kritis dan berpihak kepada rakyat-rakyat yang tertindas. Dalam pandangannya, Presiden Soekarno adalah lanjutan dari pada raja-raja Jawa. Beristri banyak dan mendirikan keraton-keraton dan lain-lain. Tajam!

Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira-kira pada umur lima tahun saya masuk sekolah Sin Hwa dan seterusnya.

Gambar dimulai dengan keresahan masyarakat akan revolusi di tahun 1957. Tembok-tembok menjadi sasaran inspirasi mereka atas keinginan akan perubahan yang cepat menuju perbaikan hidup yang layak. Sosok Gie, yanga bercelana pendek dan berkaos oblong, menjadi saksi mata akan ketidakpuasan sebagian bangsa Indonesia kala itu.

Walau terbilang masih cukup muda, Gie sudah memiliki pemikiran-pemikiran yang tak terbendung. Jika ada yang tak berkenan dan salah menurut pandangannya, ia tak segan-segan membantah. Ia berani mengoreksi gurunya yang mengatakan Chairil Anwar adalah pengarang prosa Pulanglah dia si anak hilang. Gie yakin pengarangnya adalah Andre Gide, seorang sastrawan yang bukunya sudah dilahapnya dan Chairil hanyalah penerjemah. Sang guru tadi tetap ngotot akan pendapatnya. Tak ada yang mengalah, Gie dipaksa mengulang kelas. Dan itu kembali diprotesnya.

Sejak SMP, Gie memang sudah haus dengan dunia sastra. Buku karya Spengles, Amir Hamzah, Chairil Anwar dan Shakepeare sudah dicernanya dalam otak. Namun itu juga dikritisinya habis-habisan. Misalnya saja kisah legendaris 'Romeo and Juliet'. Romantisme yang tertuang di dalamnya dianggap tak masuk akal dan menjemukan.

Pada saat itu semangat revolusi yang didengung-dengungkan justru membuat situasi memanas. Dalam lingkup UI saja, bermunculan organisasi-organisasi yang terbentuk karena kepentingan agama dan golongan, seperti PMKRI dan HMI. Gie yang seorang Katolik, diajak bergabung ke PMKRI oleh temannya, Jaka. Namun, Gie menolak. Dia merasa bahwa politik yang membawa kepentingan agama dan golongan bukanlah jalan untuk membawa perubahan hidup bangsa Indonesia.

Alih-alih terlibat organisasi, Gie lebih memilih untuk diskusi dan menulis dalam melawan kelaliman penguasa. Kekritisan Gie dalam mengkritik pemerintah, disadari oleh seorang aktivis gerakan yang bernama Ben. Gerakan yang diikuti Ben tersebut dipimpin oleh Sumitro yang memiliki ide-ide yang sama dengan Gie. Ben pun mengajak Gie untuk bergabung dalam gerakan ini dan menulis utnuk pamflet gerakan tersebut yang disebarkan secara underground.

Pada 30 September 1965, terjadilah penculikan para jendral Angkatan Darat. Sejak saat itu ketegangan semakin meningkat. Hingga akhirnya harga-harga melambung tinggi. Dalam pandangan Gie, ini sesungguhnya adalah taktik pemerintah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari penumpasan komunis.

gambar diambil dari sini

Mahasiswa UI saat itu bersatu, mereka berusaha meminta hak-hak rakyat dengan cara berdemo secara besara-besaran. Mahasiswa ini mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah yang dikenal sebai tritura. Tuntutan mahasiswa ini hingga Februari 1966 belum terpenuhi, bahkaan Presiden sendiri menegaskan bahwa tidak akan membubarkan PKI.

Mahasiswa berdemo lagi. Keadaan di masyarakat semakin kacau. Baru pada tanggal 11 Maret 1966, Supersemar seolah menjadi jawaban atas keadaan saat itu. Soekarno menyerahakan mandatnya kepada panglima angkatan darat Soeharto. Saat itulah sesungguhnya militer yang sebelumnya bersitegang dengan PKI mendapat kekuasaan.

Para anggota PKI pun diburu, ditangkap, disiksa dan dibantai. Gie yang bukan ‘kiri’ atau ‘kanan’ tersentil rasa sosialnya untuk menulis kesewenang-wenangan dan kebiadaban orde baru.

Jalan film ini selanjutnya memaparkan keberanian untuk terus mengkritik hingga sampai pada satu titik Gie merasa ‘lelah’ dan terus mendapat reaksi keras dari orang-orang yang merasa terusik atas ulah Gie. Film ini pun diakhiri dengan ending yang abu-abu. Tidak bahagia, tidak juga sedih. Tidak bahagia sebab tentu karena Gie mati muda pada bulan Desember 1969. Tidak sedih sebab pada dasarnya Gie merasa beruntung. Gie meninggal dalam usia 27 tahun di Gunung Semeru dalam pangkuan sahabatnya, Herman Latang.

Rekam sejarah


Gie adalah tokoh yang sangat kritis menilai politik dan keadaan sosial masyarakat. Film Gie ini sendiri menjadi film yang memutar ulang sejarah dengan sudut yang berbeda. Bagaimana sesungguhnya pergolakan politik yang terjadi disampaikan melalui pemikiran-pemikiran Gie, siaran radio, berita dan lainnya. Sutradara dan penulis naskah Gie berhasil membawa dimensi pikiran Gie kepada para penontonnya tanpa terkesan menggurui, meskipun sedikit berat. Narasi-narasi Gie maupun dialognya memang bukan dialog ringan melainkan dialaog yang sarat makna.

Cara Gie memaknai revolusi, kebenciannya kepada para penguasa yang memasung demokrasi, kepekaannya dan rasa sosialnya yang tinggi, kegeramannya terhadap orde lama yang korup dan berkuasa secara absolute juga orde baru yang bertindak sewenang-wenang, sedikit banyak akan berpengaruh kepada para penonton yang masih mau berpikir dan peduli terhadap bangsa. Pandangan kita mengenai sejarah yang semula hanya benar di satu sisi dan salah besar di sisi lain (sesuai penjelasan teks-teks buku pelajaran kuno) menjadi terbagi adil disini. Dalam sejarah, tak pernah ada pihak yang sepenuhnya salah tak ada yang sepenuhnya benar. Oleh karena itu, pembantaian manusia tidak pernah bernilai benar.

Sebagai sebuah film, Gie berhasil menjadi film mengagumkan dalam segi artistic dan moral. Film ini meyuguhkan gambar-gambar kota Jakarta yang masih ‘segar’ dan pemandangan gunung. Dari segi tata music, film ini sangat hidup dengan lagu-lagu yang sangat mendukung. Seperti back song saat Gie berdemo mampu membawa atmosfer dan semangat pemuda ke dalam benak dan membuat merinding. Juga lagu-lagu dan music yang tergolong ‘cerdas’.

Film ini juga sarat pesan. Kita bisa mengambil pesan dari buah pikiran Gie sepanjang film ini, melalui sikap dan keteguhan hatinya. Film ini memang tergolong film yang berhasil bercerita kepada para penontonnya dan sangat layak untuk ditonton juag mungkin menjadi salah satu film Indonesia yang sangat membanggakan dan akan terus dikenang.

Catatan Harian Soe Hok Gie: Senin, 22 Januari 1962

'Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasanya memang begitu, bahagialah mereka yang mati muda.'







18 December 2014

Paradoks

picture source: here

di bawah kemengertian menyala-nyala
yang bersinar senantiasa apa adanya
di antara kata-kata dan hanya kamu yang mengerti
karena bagiku hanya gumam tanpa arti
engkau berdiri pasti, genggam tanganku
kau larang aku tertunduk lesu
kau memaksa aku bersuara
engkau paksa aku dongak kepala
engkau paksa aku lihat dunia
ini
walau apa terjadi
namun nyalimu pasti
di bawah hujan basahi kita,
di mana katak saja masuk rumahnya,
kau paksa aku melangkah maju
tak bosan kau berkata, "Pasti kamu
lebih dari sekedar basa-basi itu.
dan aku tahu dari kilau berlian di luar sana,
kau satu kilau menyala-nyala
bagiku"

23 September 2014

Pasca Sarjana

Source: http://www.browse.sg/wp-content/uploads/2014/07/graduation-hats1.jpg

Ini tulisan proper saya yang pertama selepas saja menjadi Sarjana. Iya, Sarjana Sosiologi. Hampir empat setengah tahun saya menghabiskan waktu di kampus tercinta Universitas Gadjah Mada untuk menyelesaikan studi saya di Jurusan Sosiologi. Saya ingat ketika OSPEK Jurusan beberapa tahun lalu. Beberapa kakak angkatan bertanya, apakah saya benar-benar meminati jurusan ini? Apakah Sosiologi pilihan pertama saya? Jawabannya bukan. Sampai sekarang pun jawaban saya belum berubah.

Lho?

Bisa dibayangkan, selama empat tahun lebih saya melewatkan hari-hari saya untuk mempelajari sesuatu yang bukan menjadi pilihan pertama saya. Kalau boleh dibilang, saya lebih menyukai hal-hal yang berbau design, seni, atau berhubungan dengan teknologi. Saya lebih menguasai Corel Draw dibandingkan dengan teori-teori Max Weber atau Karl Marx. Saya lebih bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat sebuah design poster dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama tumpukan buku-buku teori. Ketika kuliah pun saya tidak sepenuhnya fokus. Lebih banyak bolosnya daripada masuknya. Lebih banyak titip absen daripada ikut kelasnya. Kalo nggak percaya, tanya aja teman titip absen saya, Ana. Walaupun saya nggak suka, walaupun sebenarnya saya nggak tertarik, tapi itu pilihan yang sudah saya ambil. Lha wong saya sendiri yang daftar, saya sendiri yang ujian, saya sendiri yang diterima. Kalau mau mundur kok rasanya nanggung. Lagian juga nggak ada jeleknya untuk belajar hal yang baru. Nyatanya, dengan penuh perjuangan setahun lebih ngerjain skripsi, saya bisa lulus juga. Thank God!

Empat tahun bukan hal yang singkat. Masa pacaran saya sama pacar yang ini aja belum menginjak angka empat. Tapi saya sudah belajar banyak. Serius, saya belajar banyak. Dan Sosiologi banyak mengubah persepsi saya. Tentang bagaimana melihat sesuatu, bagaimana memaknai sesuatu, bagaimana mengomentari sesuatu, yah begitulah. Seengaknya empat tahun nggak sia-sia. Huahahaha.

Saya masih punya mimpi yang sama: jadi enterpreneur, jadi jurnalis, jadi designer, jadi fashion-stylist, jadi detektif swasta. Tapi serius deh sekarang susah banget nyari kerjaan yang bisa sesuai passion gitu. Tantangan banget buat jobseeker macam saya ini. But I will work hard, no, extremely hard to get what I want. Wish me luck!

23 July 2014

Rerasan Tetangga

Bonjour! Selamat ya Indonesia punya presiden dan wakil presiden baru. Saya senang karena capres dan cawapres jagoan saya menang, dan senang juga karena bisa menjadi bagian dari pesta demokrasi tahun ini. Rupanya sudah lama saya nggak nulis, sampe blog ini rasanya banyak dihuni laba-laba liar. Sambil berbenah, saya mau cerita sedikit ya sambil latihan nulis. Jari-jari dan otak ini sudah kaku karena sudah lama nggak dilumasi. Kebetulan pas banget sama hari anak nasional, saya mau cerita sedikit soal anak.

Sudah beberapa hari ini saya tidur di rumah eyang. Ngga ada apa-apa sih, pengen aja. Kebetulan banget rumah eyang ada di tengah kota, jadi akses buat ngapa-ngapain dan kemana-mana lebih gampang. Ya maklum lah, rumah saya memang ada di pedalaman Sleman. Sinyal internet aja kadang ada kadang ilang. Sedih banget ya.

Di depan rumah eyang ini tinggal sebuah keluarga kecil yang punya dua orang anak. Mereka tinggal bersama nenek mereka. Sang Ayah bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah hotel di Jogja. Sedangkan sang ibu membuka sebuah warung makan ramesan di samping rumah. Anak yang pertama baru saja masuk SMP, barengan sama adik saya yang paling kecil. Dan adiknya baru berumur sekitar 3 atau 4 tahun. Adiknya yang satu lagi masih di dalam perut, karena ibunya memang sedang hamil tua. Dengan adanya anak kecil kaya gitu, suara tangisan dan rengekan lama-lama menjadi hal yang biasa bagi saya. Gimana enggak, tiap hari dia minta dibeliin atau dibikinin sesuatu. Dan harus pake acara menangis, merengek, merajuk, banting-banting barang, duh ngeliatnya aja nggak tahan banget. Ini anak baru umur 3 tahun tapi udah banting-banting barang gitu. Gimana kalo udah dewasa. Kayak siang kemarin nih. Saya lagi laptopan di samping jendela. Ibu si anak sedang menyapu. Lalu lewatlah pedagang es krim bergerobak..

Si anak: Ibuukkk..es krim
Namun si Ibu tetap cuek dan melanjutkan pekerjaannya.
Merasa permintaannya tidak diacuhkan, si anak mulai menangis dengan keras. Lebih tepatnya merengek, merajuk. Dan berlari mendatangi ibunya yang sedang menyapu.
Si anak: buuukk..es krim
Si ibu tersenyum, lalu berkata “Nggak..”

Merasa ditolak, si anak menjadi berang. Lalu dengan sengaja ia meninju perut ibunya yang sedang hamil tua. Si ibu terdiam sesaat, memegangi perutnya, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Rupanya ia kesakitan karena perutnya ditinju anaknya. Si anak juga berlari mengikuti sambil terus meninju ibunya, sambil merengek, merajuk, menangis dengan keras. Mungkin karena tidak tahan dengan suara tangisan, akhirnya si anak itu dibelikan es krim juga. Tangis berganti menjadi senyum girang. Apa yang diinginkan sudah didapatkan.

Saya terperangah. Tapi hanya bisa diam. Pemandangan yang aneh sekali menurut saya. Menurut saya, apa yang dilakukan si anak terhadap ibunya sudah kelewatan. Memukul ibu bagi saya adalah tindakan yang kurang baik. Bukan kurang, tapi sangat tidak baik. Menyakiti seseorang secara fisik, meskipun dilakukan oleh seorang anak kecil, meskipun juga dilakukan oleh atau kepada ibunya sendiri, bukanlah sebuah hal yang baik. Saya paling nggak suka kalau ada anak kecil yang menangis, merengek, merajuk, lalu memukul-mukul ibu atau ayahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Iyuh banget. Dan memukul ibu yang sedang hamil sampai ia kesakitan juga sungguuuhhh bukan tindakan yang baik. Herannya sih, ibunya cuma diem aja. Cuma bilang ‘jangan gitu yaa’ trus anaknya dibelai-belai gitu deh. Tetangga saya, yang juga ngeliat hal itu cuma bilang “Nek aku nduwe anak koyo ngono wis tak tapuki kuwi, wis tak seneni entek-entekan. Ngawur e, bahaya tenan.”

Kedengarannya jahat ya, tapi saya setuju. Tindakan seperti itu sudah membahayakan keselamatan si ibu dan bayi di kandungannya. Kalo tiba-tiba ketubannya pecah gimana? Kalo terjadi sesuatu sama bayinya gimana? Kalo pendarahan gimana? Kalo bayinya cacat gimana? Kalo meninggal gimana? Aduuhh amit-amit deh jangan sampe kejadian. Tapi memang ibunya nggak boleh diem aja kan. Kelihatannya jahat kalo orang tua marahin anaknya, bahkan mungkin sampe bentak-bentak. Tapi kalo ngga gitu, si anak nggak bakal sadar kalo dia udah ngelakuin hal yang bisa menyakiti bahkan membahayakan orang lain. Kalo nggak dimarahin, mungkin dia nggak bakalan tau kalo dia sudah melakukan suatu kesalahan. Kalo nggak dimarahin, dia nggak bakalan berubah.


Karena mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti setelah dia dewasa. Mungkin nanti setelah dia punya istri. Dan mungkin juga melakukannya tanpa rasa bersalah, karena dulu dia pernah melakukan hal yang sama dan didiamkan saja. Terus kalo kayak gitu harus nyalahin siapa?

Karena si ibu diam saja, dan saya juga nggak bisa berbuat apa-apa (iyalah siapa gueeee), yaudah akhirnya saya lanjut laptopan aja. Sambil berdoa semoga nggak ada orang tua lain yang kayak gini. *fiuh*

05 June 2014

Selfie: I Share, Therefore I Am


Photo by: Alfonsus Darmawan, model: Antonius Novan
Pernahkah kamu melihat seseorang yang memotret dirinya sendiri menggunakan ponsel atau kamera digital? Atau kamu sendiri pernah melakukan hal itu? Itulah seni berfoto narsis yang dikenal dengan sebutan 'selfie' atau 'self-potrait.' Selfie merupakan gaya foto yang menampilkan diri sendiri entah itu wajah, seluruh tubuh atau hanya bagian tubuh tertentu. Foto selfie dilakukan oleh diri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret. Saat melakukannya, si pelaku selfie akan memegang ponsel berkamera atau kamera dengan salah satu tangannya dan mengarahkan lensa ke bagian yang ingin difoto. Selfie memang sedang populer. Sampai-sampai kata ‘selfie’ dinobatkan sebagai Oxford English Dictionary's 2013 Word Of The Year. Seperti dikutip dari web BBC, kamus Oxford mendefinisikan kata selfie sebagai sebuah aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, yang umumnya menggunakan ponsel atau webcam, kemudian mengunggahnya ke situs media sosial. 

Perilaku 'narsis' di media sosial ini berlaku universal. Bukan cuma masyarakat biasa, kalangan elit seperti presiden, pejabat, dan selebritis pun sudah ketularan perilaku ini. Survey dari Pew Internet & American Life Project menyatakan, 54 persen pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke Facebook, Twitter atau jejaring sosial lainnya. Tujuannya tidak lain sekadar mengekspresikan diri atau ingin menginformasikan keberadaannya pada saat itu. Misalnya selfie dengan background tempat liburan, selfie bareng artis idola, bersama tokoh populer, di lokasi bencana, dan lain sebagainya.

Selfie sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa kata ‘Selfie’ atau ‘self-potrait’ pertama kali dipakai pada tahun 1839. Kala itu Robert Cornelius adalah orang pertama di dunia yang melakukan selfie. Ketika zaman kamera polaroid ngetren di tahun 70-an, Andy Warhol juga melakukan hal serupa. Ia kemudian dikenal sebagai orang ke-2 di dunia yang melakukan selfie. Putri Kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna, adalah remaja yang diketahui pertama kali mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya pada tahun 1914.



Kenapa orang suka melakukan selfie?

Dr Pamela Rutledge, Psikolog asal Boston mengungkapkan bahwa dalam Selfie “we see ourselves alive and dynamic, a person in progress” (bbc.co.uk). Dr Rutledge juga menjelaskan, manusia pada dasarnya suka mencoba identitas-identitas baru, dan selfie mengakomodasi kesenangan tersebut. Selfie tells other people how we want to be seen. Seseorang yang gemar berfoto selfie bisa memotret dirinya dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Namun tidak semua foto tersebut dipublish, hanya beberapa foto yang ia sukai saja. Sehingga tak jarang banyak pula yang menganggap kaum selfie sebagai kaum yang ‘haus perhatian’.


Selfie memang dekat dengan remaja atau orang-orang yang berjiwa muda. Karena keterbatasan teknologi, pada awalnya selfie hanya dilakukan sendirian. Biasanya, TKP (Tempat Kejadian Pemotretan) favorit adalah di depan cermin besar (seperti di toilet mall) atau di kursi penumpang mobil. Pose favorit para remaja (terutama perempuan) adalah dengan memajukan bibir (manyun/monyong) yang sering disebut pose duckface. Tentu tidak ada yang salah dengan ‘memotret diri sendiri’, tapi memposting selfie ke ranah digital bisa jadi indikasi bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.

Memotret diri sendiri kemudian dipajang di internet adalah salah satu aktivitas jagad maya yang masuk kategori narsisme. Pengguna selain ‘pamer’ diri juga ingin mendapat perhatian dari siapa saja yang melihat foto itu. Namun, jika kita bukan Ellen DeGeneres, bukan artis papan atas yang memiliki jutaan penggemar, berhematlah dalam hal selfie ini. Studi yang dilakukan oleh Birmingham Business School menunjukkan, semakin sering kita menyebar foto selfie via media sosial, semakin menyebalkanlah kita di mata banyak orang. Inilah perilaku yang paling menyebalkan di media sosial, dan membuat pelakunya dikucilkan. 

Hasil penelitian Asosiasi Psikiater Amerika mengungkap bahwa kebiasaan selfie adalah sebuah bentuk dari gangguan kejiwaan yang serius. Para psikiater AS tersebut menggolongkan kelainan jiwa selfitis ini dalam 3 kelompok, yaitu Selfitis Pinggiran, Selfitis Akut, dan Selfitis Kronis. Selfitis Pinggiran adalah kecenderungan seseorang mengambil foto diri, sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari, tapi tidak mengunggah hasil fotonya ke jejaring sosial miliknya. Sementara itu Selfitis Akut dikategorikan bagi seseorang yang memotret diri sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari dan mengunggah tiap hasil foto diri tersebut ke media sosial. Dan yang terakhir, Selfitis Kronis adalah dorongan tak terkendali untuk mengambil gambar diri sendiri sepanjang waktu, dan mengunggah foto-foto tersebut ke media sosial lebih dari enam kali sehari.

Dr Pamela Rutledge menyebut “Kegiatan memposting foto selfie menunjukkan orang tersebut kesepian, butuh pengakuan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.” Bahkan Dr Pamela menambahkan orang yang memposting foto selfie dengan pose duckface biasanya tidak terlalu pintar, “Pose dengan ekspresi wajah bebek ini menunjukkan rendahnya kepercayaan diri dengan wajah natural dan takut tidak terlihat menarik.” Karena merasa tidak cantik, beberapa orang menggunakan filter foto secara berlebihan sehingga hasilnya berbeda jauh dengan kenyataan. Ini adalah efek negatif dari selfie: gaya hidup pencitraan; di mana orang mulai menciptakan tuntutan pada diri sendiri untuk mendapatkan penilaian terbaik dari publik terhadap mereka.

Selfie adalah bentuk aktualisasi diri, sebuah kebutuhan sebagai mahluk sosial yang harus dipenuhi ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi. Selfie sah-sah saja dilakukan asalkan pelaku selfie juga melihat situasi dan kondisi. Selfie manner juga harus dipertimbangkan ketika melakukan selfie. Apalagi kini dengan hadirnya beberapa inovasi seperti monopod alias tongsis (tongkat narsis) dan kamera depan pada ponsel, kegiatan selfie pun semakin mudah dilakukan. Selfie bersama banyak orang pun jadi tidak ribet lagi. Kegiatan ini pun bergeser maknanya dari sekedar bentuk eksistensi di media sosial menjadi sarana (media) untuk benar-benar bersosialisasi. 

Selfie, yuk!

(dimuat di Bulletin Lilin edisi Mei 2014)

03 May 2014

Quote: People In Our Life



"There are people we meet in life who miss being important to us by inches, days, or heartbeats. Another place or time or a different emotional frame of mind and we would willingly fall into their arms; gladly take up their challenge or invitation. But as it is, we encounter them when we are discontent or content and they are not. Whatever they are, we are not and vice versa. Two trains going in different directions that pass for a few powerful moments at full speed, blasting noise and wind but then they are gone. Whatever serious chemistry might have been possible if, isn't."
- Jonathan Carroll

18 March 2014

Hi, Hey, Hello!



"Oscar Wilde said that if you know what you want to be, then you inevitably become it - that is your punishment, but if you never know, then you can be anything. There is a truth to that. We are not nouns, we are verbs. I am not a thing - an actor, a writer - I am a person who does things - I write, I act - and I never know what I am going to do next. I think you can be imprisoned if you think of yourself as a noun."



26 February 2014

Si Shit Yang Menjadi Sweet

19 Februari 2014 kemarin menjadi hari yang tidak terlupakan bagi saya. Pertama, hari itu adalah peringatan meninggalnya eyang kakung. Sudah tujuh belas hari tepatnya eyang menghadap Sang Maha Kuasa. Saya masih ingat dengan jelas, eyang meninggal waktu saya TK karena memang sudah tua. Selain itu, eyang juga tidak bisa melihat karena terkena penyakit glaukoma. Saya tidak ingat bagaimana rasanya pada waktu itu karena saya baru berumur 5 tahun. Tapi kejadian pada waktu itu masih tergambar jelas di kepala saya, terlebih dulu setiap hari sabtu setelah pulang sekolah saya selalu diantar Bapak untuk menginap di rumah eyang, dan dijemput pada Minggu sorenya. Setelah eyang kakung meninggal, kebiasaan itu perlahan sirna.

Ah, sudahlah. Saya yakin sekarang Eyang bahagia di surga. Dan saya selalu berdoa untuknya.

Nah, alasan kedua mengapa 19 Februari menjadi hari yang tidak terlupakan bagi saya adalah: hari ini dua teman baik saya wisuda. Yang satu adalah Ana ‘Yayuk’ Martiana, dan yang satunya adalah Anastasia Herlina alias ‘kembaran’ saya. Sejak masuk kuliah, saya dengan Ana cukup dekat. Kami sering dolan bareng, wisata kuliner, foto-foto, titip-titipan absen, pinjam-pinjaman catatan, dan tak lupa adalah berkaraoke bersama. Dan sekarang dia wisuda duluan mendahului saya. I’m so happy and proud of you bos bro!! (Cumlaude meen.. Standing applause!!)


Saya juga berbahagia dengan wisuda ‘kembaran’ saya, Lina. Yah, meskipun hampir semuanya sama (this is so weird,  meskipun bukan kembar beneran tapi banyak hal yang mirip,  bahkan model hp dan tv pun sama), sepertinya wisuda kita tak sama. Bagi saya tak mengapa, saya turut berbahagia. Dan semoga saya segera menyusul besok Mei yaa..


Di balik hiruk pikuk wisuda, tidak sengaja saya bertemu dengan teman lama.

“Woooyy mbak.. ngapain ke kampus?”
“Ya apa lagi. Ketemu dosen dong. Mumpung wisuda gini pasti dosen-dosen pada dateng.”
“Emang skripsinya belom selesai?”
“Ngece! Ya belom lah. Kalo udah juga ngapain ke kampus nyariin dosen.”
“Kirain.. Kamu sih mbak, angkatan tua tapi gak lulus-lulus. Adik angkatanmu aja udah banyak yang wisuda. Masa kalah sama angkatan bawah.”
“Asemik!!”

Awal perbincangan kami di dalam lift tersebut membawa kami pada obrolan panjang. Dia memang kakak angkatan saya, beberapa kali kami mengambil mata kuliah ulangan yang sama. Setelah itu dia menghilang selama hampir dua tahun. Dengar-dengar ia sekarang bekerja pada sebuah instansi yang cukup besar. Sambil duduk di ruang tunggu dosen, ia mulai bercerita soal uneg-unegnya, keluh kesahnya yang tidak pernah diceritakannya pada saya. Tentang dunia kerjanya yang menjadi fokus perhatiannya sekarang, tentang bagaimana ia berjuang sedemikian keras sehingga mencapai posisi atas, tentang kegiatan-kegiatan organisasi yang dijalaninya dan dilakukannya dengan sepenuh hati, dan juga tentang skripsinya yang tak kunjung selesai padahal sudah lebih dari dua tahun berlalu sejak ia mulai mengerjakan proposal.

Mendengar cerita itu, rasanya seperti mendengarkan cerita tentang diri saya sendiri.

Saya membutuhkan hampir dua tahun untuk menyelesaikan skripsi. Setengah tahun pertama, saya mulai mempersiapkan penelitian yang akan saya lakukan. Hasil obrolan dengan ibu membuat saya mendapat ide penelitian. Tidak sulit, berawal dari obrolan di sebuah warung makan, topik itu bermula. Kebetulan saya juga sudah mengambil mata kuliah yang membahas mengenai topik tersebut. Lengkaplah sudah.

Tapi itu baru awal.

Saya mencoba menemui beberapa teman yang saya rasa memahami permasalahan yang saya maksudkan tersebut. Tapi semakin banyak berdiskusi, saya semakin bingung. Akibat kebingungan saya, akhirnya saya menghadap dosen dan menceritakan fenomena yang ingin saya teliti tersebut. Tampaknya Bapak dosen juga tidak begitu paham dengan apa yang saya kemukakan, jadi beliau menyuruh saya untuk langsung membuat proposal penelitian.

Mati!!

Saya kembali ke rumah dan menceritakan permasalahan saya pada Ibu. Tentu saja, ibu saya langsung menyuruh saya untuk segera membuat proposal agar saya bisa segera menghadap dosen dan mulai bimbingan. Hampir semalaman saya berdiskusi dengan ibu, yang ada saya justru semakin bingung.

Saya datang ke perpus dan membaca buku A. Saya menemukan bahwa teori A tidak relevan dengan fenomena yang saya teliti. Lalu saya berganti buku B, ternyata teori C lebih tepat digunakan untuk penelitian saya. Hal tersebut berulang-ulang dan pada akhirnya saya tidak mendapatkan apa-apa. Buku-buku yang saya baca tidak lagi berguna.

Satu bulan...

Dua bulan...

Tiga bulan...

Empat bulan...

Beberapa bulan kemudian..

Saya mulai merasa lelah karena apa yang saya kerjakan tidak kunjung selesai. Saya juga merasa jenuh karena saya tidak beranjak kemana-mana dan pembahasan saya masih stuck di hal yang sama. Setiap kali memandang tumpukan draft proposal, rasanya ingin menghela nafas berat dan berharap tumpukan kertas tersebut dapat menghilang seketika.

Kemudian, seakan Tuhan menjawab doa saya, tiba-tiba ada tawaran untuk bergabung pada beberapa organisasi. Saya tanpa pikir panjang langsung mendaftar dan menjadi bagian dari organisasi tersebut. Harapan saya tidak muluk-muluk, supaya rasa stuck saya pada skripsi dapat teralihkan dengan kegiatan-kegiatan organisasi. Kebetulan sekali, program organisasi tersebut sangat saya sukai dan saya benar-benar ingin terjun total dalam organisasi tersebut.

Benar saja.

Hal tersebut menyita waktu saya. Pagi hari saya ke perpustakaan dengan membawa laptop, meminjam setumpukan buku dan meletakkannya di samping laptop saya. Tapi yang saya lakukan selama di perpus bukanlah mengerjakan skripsi, melainkan browsing dan chatting dengan teman-teman saya. Hal itu saya lakukan hampir setiap hari, dari pukul 9 pagi sampai pukul 12 siang. Jam 1 saya akan pulang atau makan siang bersama teman atau pacar. Setelah itu pulang dan beristirahat sebentar. Mulai pukul 7 malam, dengan bersemangat saya akan keluar dari rumah untuk beraktifitas di organisasi yang saya ikuti. Kadang kegiatan tersebut baru berakhir pukul 11 atau 12 malam. Hampir setiap hari.

Bagaimana rasanya? Tentu saja senang dong! Selama beberapa bulan saya menikmati senangnya berorganisasi dan berkegiatan sana sini, tanpa menghiraukan skripsi saya lagi. Saya yakin pacar dan orangtua saya pasti sudah geleng-geleng kepala melihat kelakuan (dan keras kepalanya) saya waktu itu. 

Lalu bencana itu datang...

Dosen Pembimbing Skripsi tiba-tiba menghubungi saya dan menyuruh saya untuk segera menghadap beliau. Duh, mati iki rek. Skripsiku nanggrok berbulan-bulan. Mana stuck begitu. Demi kelancaran bimbingan, akhirnya saya berkonsultasi pada ibu. Yang ada malah saya dimarahi habis-habisan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Tapi untunglah akhirnya saya menemukan jalan keluar. Karena saya tidak juga menemukan titik temu dari permasalahan yang ingin saya teliti, akhirnya saya memutuskan untuk merubah semuanya dan memulai dari awal. Toh sama saja, daripada saya stuck dan akhirnya tidak mendapatkan hasil apa-apa.

Jadilah saya harus berjuang setengah mati untuk menemukan topik baru yang sesuai dengan keinginan saya. Juga harus berjuang setengah mati untuk tune-in lagi pada sesuatu yang sudah lama saya tinggalkan. Sulit memang, apalagi untuk mengembalikan mood saya yang lama hilang.

Demi melancarkan skripsi saya, akhirnya saya memutuskan untuk kerja rodi. Melepas semua kegiatan organisasi dan tetek bengeknya, termasuk ketika godaan untuk mulai crafting muncul lagi.

Demi skripsi, saya rela memangkas habis aktifitas-aktifitas saya di luar kegiatan skripsi. Setiap hari saya ke perpus dari jam 9 dan benar-benar mengerjakan skripsi. Tak jarang saya harus jadi orang pertama yang datang dan menjadi orang terakhir yang pergi. Setelah itu saya pulang ke rumah dan melanjutkan aktifitas saya tersebut hingga larut malam. Saya hanya akan keluar rumah jika tujuannya adalah ke perpustakaan untuk mencari bahan-bahan skripsi atau ke kampus menemui dosen pembimbing atau ke tempat-tempat yang dapat membantu saya lebih cepat menyelesaikan skripsi. Bahkan seringkali saat kencan dengan pacar pun masih juga mengobrolkan topik skripsi. Buku-buku literatur tebal yang tadinya jadi 'bantal' pun menemani saya setiap hari. Juga bergelas-gelas kopi agar saya tetap terjaga.

Sulitnya bukan main. Apalagi jika godaan datang silih berganti. Organisasi memanggil saya dengan sebuah tugas baru. Lalu ada kursus ini itu yang ingin saya lakukan. Lalu godaan untuk berkaraoke atau bermain-main dengan teman-teman. Semua itu saya tahan agar kebodohan saya di masa lampau tidak terulang. Lebih mudah bagi saya untuk meninggalkan saja skripsi itu. Tapi saya tetap harus mengerjakan skripsi itu kan? Mau tidak mau saya harus menyelesaikannya kalau saya masih berniat untuk lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Saya percaya pengorbanan saya akan berbuah manis.
Lihat besok deh, kalau sudah pendadaran.
Hehehe.

#WishMeLuck

01 February 2014

Feeling Twenty-Two


Source: here


I am officially twenty two today!!

Sangat berterimakasih pada Tuhan atas delapan ribu tiga puluh hari alias dua puluh tahun yang telah diberikan. 
Yang pada setiap harinya tentu saja saya tidak selalu bisa memahami hidup dengan baik.
Hari ini adalah akhir dan juga awal, I am closing twenty one and starting twenty two. Pada setiap episode kehidupan yang telah diputar dan para pemeran, saya sangat sangat bererimakasih. Kalian membuat saya menjadi seperti sekarang.

I am grateful I have people (family, friends, and boyfriend) to share all that I am with. 
I enjoy life, and I delight in learning from it, and siphoning from it everything it has to offer.
And a lot of things I do today have been 22 years in the making.
And still, I don’t think I’m there just yet…but there is no doubt that I’m very close. This Close!

Thanks again to everyone who wished me a happy birthday.  It was just another reminder of the overwhelming support that I have enjoyed even from over thousands of miles away.  I had no idea that so many people would go ahead and send me a message, it meant a lot to me so thank you very much!


*Maaf lagi nggak bisa nulis proper hehe. Will be back very soon with another post. Cheers ;)*



21 January 2014

To Be A Mother




Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Bahkan ketika sekarang saya sudah memasuki masa dimana saya sudah harus mulai nyicil mempersiapkan pernikahan, saya tetap tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Bagaimana nanti jika sudah berkeluarga, bagaimana jika nanti hamil dan punya anak, bagaimana nantinya saya dengan keluarga suami saya, bagaimana saya dengan masyarakat, apakah saya harus menjadi ibu rumah tangga full time atau saya harus mengejar karir. Membayangkannya saja sudah membuat saya mengernyitkan alis. Getting married sounds so scary, for me.

Mungkin saya yang terlalu berlebihan. Atau mungkin saya terlalu banyak menonton acara gosip atau sinetron di televisi. Tapi rasanya menjadi seorang ibu itu mengerikan.  Yes, mungkin saya yang terlalu berlebihan.

Ibu saya adalah seorang ibu yang nggak mau ribet. Bukan tipe ibu-ibu yang seneng belanja, baik ke mall atau ke pasar. Bukan tipe ibu-ibu yang rajin dan pintar memasak dan suka bereksperimen dengan berbagai resep masakan (harus saya akui, masakan bapak lebih enak daripada masakan ibu :D). Bukan ibu-ibu yang suka dandan. Dan tentu saja bukan ibu-ibu yang suka nonton acara gosip dan suka nangis kalo nonton sinetron. Ibu saya jauh dari gambaran ibu-ibu ideal masa kini. She said 'Aku bukan ibu-ibu mainstream'.

Ibu saya adalah seorang dosen di sebuah universitas swasta di Kota Yogyakarta. Sehari-hari beliau bekerja dari pagi hingga sore (tapi untungnya masih punya banyak waktu untuk keluarganya). Ibu saya lebih suka pakai kaos oblong, celana jeans, dan sepatu boot daripada memakai rok span dan blazer yang kinyis-kinyis. Urusan make up, ibu saya nggak mengenal yang namanya eyeshadow dan mascara. Cukup bedak dan lipstick berwarna merah terang. 

Ibu sendiri mengakui bahwa dirinya bukan ibu-ibu kebanyakan, bukan ibu-ibu idaman, dan dalam urusan mengurus rumah tangga, beliau bukan panutan yang baik :p.

Duh.. jadi besok aku harus berguru pada siapa?

Terbiasa hidup dengan ibu yang nyentrik membuat pikiran saya menjadi nyentrik juga hahaha. Lewat perbincangan dengan ibu, saya mendapat banyak gambaran mengenai hidup berkeluarga; bagaimana kita tetap harus menjadi diri kita sendiri, bagaimana kita tetap harus melakukan hal-hal yang kita sukai, bagaimana kita harus tetap berkarier, untuk mengejar cita-cita, untuk berkarya, dan yang paling penting adalah bagaimana mendapatkan karier yang bagus sekaligus juga dekat dengan keluarga.

It's not easy, though.

Kalau saya pribadi sih pengennya tetap berkarir. Percuma dong kuliah sampai S1 tapi nggak memanfaatkan ilmu yang didapat. Saya pengen berkarya dan bisa menginspirasi banyak orang. Tapi saya juga pengen berkeluarga - pengen punya anak(-anak) dan pengen ngerasain gimana ribetnya jadi ibu rumah tangga. Tapi tapi tapi..eh..kayaknya belum siap juga sih.

Makanya saya selalu kagum sama ibu rumah tangga full time. Bangun tidur sampai tidur lagi ngurusin keluarga. Rutinitas yang selalu sama, gitu-gitu doang, dan dilakukan sejak menikah sampai tua. Apa nggak bosen ya? Kalau saya sih sudah pasti bakalan bosen abis. Hahahaha. 

Menjadi ibu kok kayaknya berat ya. Berbagai macam pikiran dan ketakutan datang silih berganti di benak saya. Bisakah saya melewati ini semua? Bisakah saya nantinya menjadi ibu yang baik, istri yang baik, dan wanita karir yang baik pula? Mungkin jawabannya baru bisa saya temukan tiga atau empat tahun lagi. Ketika saya (akhirnya) berani memutuskan untuk berkeluarga.

Sekarang ngurusin skripsi dulu aja deh, biar cepet pendadaran.

18 January 2014

Hello, Hello F-KTV!

Waktu kecil, saya punya cita-cita jadi penyanyi terkenal. Semacam Sherina Munaf. Gara-garanya setiap sore saya selalu dengerin radio yang muterin lagu anak-anak, dan waktu itu yang paling sering direquest adalah lagunya Sherina. Saya langsung jatuh cinta sama dia. Suaranya ding maksudnya. Saya mulai koleksi posternya, kasetnya, VCDnya, apapun yang berhubungan dengan Sherina. Termasuk ketika dia main film, saya juga dengan senang nonton berkali-kali dan menirukan adegan-adegannya bersama teman-teman SD saya dulu.

*Duh jadi geli sendiri kalo inget*

Kekaguman saya pada Sherina nggak cuma sampai disitu. Saya mulai pengen jadi seperti dia. Jadi penyanyi cilik yang tenar kayak dia. Waktu itu di pikiran saya terlintas anggapan bahwa 'kalo aku mau jadi penyanyi kayak Sherina, aku harus sering-sering latihan nyanyi." Suara saya sebenernya nggak jelek-jelek amat sih, tapi ya masih bagusan Sherina *yaeyalah*. Jadi saya berpikir untuk terus latihan demi bisa jadi penyanyi kayak Sherina.

Demi bisa mewujudkan cita-cita saya, setiap pagi saya konser - eh latihan nyanyi - di kamar mandi. Saya menggunakan gayung atau pasta gigi sebagai mic untuk saya bernyanyi. Hahahaha kalo inget-inget jadi geli sendiri. Tapi emang waktu itu saya niat banget sih pengen jadi penyanyi, jadi berbagai cara saya lakukan. Sorenya juga sama. Konser di kamar mandi, lanjut mendengarkan siaran radio anak-anak *tentunya saya akan menyanyi di setiap lagu yang saya kenal*, dan malamnya pun demikian - masuk kamar, pintu ditutup, radio dinyalakan, lalu saya akan berkaraoke menggunakan mic botol minuman. Aduh duuhhh..

Sampai sekarang sih sebenernya masih pengen jadi penyanyi.
Tapi saya sadar kalau suara saya nggak bagus-bagus amat. Jadi saya cuma berani nyanyi di karaokean. 

Karaoke jadi hobi saya yang baru bersama teman-teman. Kalau pas lagi suntuk atau bete, atau pengen refreshing, pasti larinya ke karaokean. Bisa nyanyi lagu yang disuka, bisa teriak-teriak sambil joget sepuasnya tanpa ada yang ngetawain, dan pastinya karaoke bikin hati senang dan gembira. Kalau lagi galau, nyanyi di karaokean juga bikin tambah galau. Hahaha.

Waktu jaman kuliah, saya punya jadwal karaokean bareng temen-temen. Setiap hari Selasa kami akan berkeliling Jogja untuk mencoba tempat karaoke yang oke dan harganya terjangkau buat mahasiswa seperti kami. Sampai akhirnya, ada sebuah tempat karaoke baru yang dibangun di Jogja: Hello F-Ktv yang ada di lobby Hotel Merapi Merbabu, Seturan.

Hello F-Ktv jadi semacam angin surga bagi kami para aktivis karaoke (sebutan para penggila karaoke seperti saya dan teman-teman). Pertama, Hello F-Ktv ini tempat paling kece buat karaokean. Roomnya banyak, luas, dan designnya mewah banget. Kece abis pokoknya. Nih saya kasih teasernya:

Small Room yang designnya kece abis. Muat 6 orang loh
Medium Room yang designnya mewah banget. Muat 8 orang
VVIP Room! Gosh this is awesome

Keren-keren kan? Pastinya oke banget kalau dijadiin background foto, karena hasilnya pasti kece badai. 

Alasan kedua kenapa Hello F-Ktv jadi tempat karaoke yang wajib didatangi adalah HARGANYA MURAH BANGET BRO! Buat karaokean dengan design room mewah dan sound yang mantab, harga segitu tuh murah banget. Nggak nyesel deh pastinya kalau karaokean disana. Saya aja baru nyoba sekali dan ketagihan buat kesana lagi bareng temen-temen. Apalagi Hello F-Ktv sering ngadain promo-promo dan diskon. Makin cinta deh saya sama tempat karaoke yang satu ini.

Pricelist Hello f-ktv
Pernah punya pengalaman mengecewakan  membuat saya hati-hati dan aware banget buat memilih tempat karaoke. Kadang suka kesel sama tempat karaoke yang soundnya bagus tapi pelayananya jelek banget. Bikin males kesana lagi. Apalagi kalau harganya mahal. Duuhh say NO deh buat tempat karaoke kayak gitu. Untungnya, Hello F-Ktv beda dari yang lain. Pekerja disini ramah-ramah banget dan menyenangkan. Servicenya cepet dan memuaskan. Mereka juga selalu senyum tiap kali papasan atau ketemu di lobby. Suka deh sama yang beginian, bikin nggak bosen dan betah buat lama-lama di Hello F-Ktv. Mbak-mbak dan mas-masnya juga dengan senang hati motoin saya dan teman-teman yang narsis dan pengen foto dimana-mana hihihi.

Buat saya, nggak ada alasan untuk nggak kembali lagi ke Hello F-Ktv. Selain pelayanannya memuaskan, harganya murah, dan tempatnya mewah banget. Bikin siapapun terkesima dan seneng kalo pas karaokean disini. Duh jadi pengen karaokean deh. Yuk, siapa mau ikut ke Hello F-Ktv?