07 September 2010

Love Comes and Go

Seven days pass, and I’m surprisingly over my school. I’ve had a few leads already, and though my heart longs to follow up on it, I nix the idea as a pathetic attempt to escape rather create my new life. Normally, I just forget about it, but with Koala’s creepy appearance, I ecounter vivid red confusions everywhere. Must I remind myself that this is my life, not a romantic lead’s on the silver screen? 

Oh, by the way, I am a broken-hearted girl. The man I love is in a relationship with other girl. After all the things we’ve been through.. after all the midnight chats.. after all the silly things I’ve done.. after all the loving actions.. after all damn things.. aaah, I should say that this is the ending of our story. Oh shiiiiiiit!!! Sorry, but I can’t help it. But my friends (Depoy, Om Ublux, Dewi, Mba Dewi, Dyah, Ivan, Yayuk, Simbok,Rinso,  ah it’s too much. I can’t mention them all) help me face this situation. They support me. They made me believe what it’s not the end of the world. It’s not over yet. The sun’s still bright. The rainbow’s still come out. 

And the world still waits. And so do I. There’s single for a season, and single for a reason. Romo Joyo used to say that and laugh like staccato Spongebob. I remember thinking it was hilarious until the day I turned eighteen. Then my thoughts turned much darker, like hey, maybe I am single for a reason. That’s a depressing day, when you realize Prince Charming isn’t riding in on a white horse, and Justin Bieber is starting to sound awfully handsome on the radio. LOL 

I keep waiting to wake up from one of my fantasies. Now he feels free to tell me what he feels – now that he’s turning and walking away from me, now that his heart’s moving to another heart. But does it really mean anything? I can’t make him stay with me here, and I wouldn’t want to. Life is a series of choices. I’ve made mine. He’s made his. 

For better or worse, they don’t coincide. 


19 August 2010

A Man Behind The Lover

Malam mengizinkan gelap mendisfungsikan lensa mata, memaksa retina melihat dalam gelap dan hanya menangkap bayang-bayang. Tapi aku tak peduli. Bukan birunya langit yang ingin kulihat, bukan pula mencari benda yang hilang. Bukan karena hal-hal tersebut aku membuka mata. Aku hanya kehilangan kemampuan untuk memblokade fungsi saraf motorik dan sensorik agar dapat tertidur. Aku lelah dengan semua ini.

Aku tidak pernah memilih untuk mengenalnya. Permainan ruang dan waktu yang sanggup mempermainkan garis cakrawala, pada akhirnya mampu mempertemukan aku dan dia pada suatu ujung waktu; dalam sebuah konsep abstrak yang sulit ditemukan korelasinya. Bola kristal tak mampu membaca pertanda, begitu pula interpretasi daun teh atau berjalannya logika. Realitanya, dia sudah tercapture (dengan pose dan pencahayaan yang tepat).

Sungguh, ini sungguh mengganggu. Bukan karena permainan jepretan karet yang terlontar dari belakang. Bukan pula permainan kata-kata rayuan dalam pesan-pesan singkat. Bukan pula bayangan tersembunyi yang menguntit diam-diam. Bukan. Ia hanya diam. Tapi diam itu menggangguku, dengan cara yang sangat tidak general.

Dan spontan! Tanpa aba-aba. Saat itulah pertama kali aku percaya akan kepastian sesuatu yang kasatmata selain ilmu pasti. Dalam perasaan ini tidak ada jaminan kemutlakan, karena tidak ada rumus berangka untuk memecahkan problemnya. Namun entah mengapa, aku begitu yakin, perasaan ini benar-benar ada.

'Apa yang begitu special dari dia, sampai-sampai kau begitu terbius?'
Aku tak bisa menjawabnya, karena menurutku, ia adalah kesempurnaan itu sendiri. Aku tidak bisa menyebutkan partikel-partikel kecil yang membentuk kesatuan kesempurnaan itu. Smart, yes. Mature, of course. Hillarious, yeah. Good figure, absolutely. Art-ist, yeaah. Kalau kisah ini adalah sebuah lakon teater, maka dari awal mula pencitraan, dia adalah sang tokoh utama. Pangeran berkuda putih yang akan memerangi penyihir jahat demi mendapatkan sang putri (dan nantinya akan hidup bahagia selamanya).

Kami merajut pelangi bersama. Menyatukan spektrum-spektrum warna dan menjadikannya satu kesatuan. Aku membiarkan pena memulai kisahnya, memaparkan lembaran yang kusut, dan membagi cerita yang kita dekap erat. Membiarkan sejenak untuk kita menelaah. Mengurai alfa hingga zero. Kita memang amatir, tapi kita bebas membentuk. Memadukan sejuta spektrum warna. Dan menjadikanmu candu bagiku.

Kata orang, candu itu merupakan zat adiktif yang berbahaya. Kenikmatannya begitu riil, namun sifatnya sementara. Setelahnya, timbul siksaan-siksaan yang tak memiliki ampun. Meluluh lantakkan sistem syaraf otak dan menciptakan ilusi-delusi yang tidak masuk akal.
Tetapi candu masih kalah bahaya bila dibandingkan denganmu, #koala. Zat adiktif yang ada di dalam dirimu terus menyerang tanpa memberikan satu detikpun waktu untuk beristirahat dari bayangmu. Menimbulkan rasa sakit yang luar biasa mengoyak-oyak; kondisi siksaan terparah yang bisa dirasakan manusia.

Dia adalah esensi nyata dari keindahan. Segala nikmat surga dunia ada pada senyumnya. Matanya tajam sarat akan kecerdasan. Wajahnya tegas, dengan stuktur kulit yang halus dan putih. Setiap melihatnya, aku merasa seluruh kata lenyap dari otakku. Lidahku kelu. Kutundukkan kepalaku dan berharap menjadi invisible. Semua tulangku terasa lemas, tak sanggup untuk bergerak. Aku merasa kehilangan kendali akan seluruh badanku. Otakku tidak dapat bersinkronisasi dengan seluruh sendi tulangku.

Masalahnya adalah, kami terjebak dalam suatu titik bumi, dimana dorongan gravitasi magnetis yang kuat menyebabkan spektrum warna yang selama ini kita rangkai harus berhenti. Berakhir atau tidak, entahlah. Hanya saja kutub-kutub itu memaksa kita untuk bertolak. Kita berbeda. Keyakinan itu meyakinkanku pada resolusi tentang hujan badai sore hari, yang membagi antara langit dengan pelangi. Menggelegar, dan pada akhirnya menutup lembaran yang basah yang belum sempat terjamah.

Kita berada dalam dua ruang berbeda, yang tidak mungkin dipersatukan kecuali oleh jembatan magis. Meskipun (mungkin) pada suatu hari nanti, aku berjanji akan menemukanmu. Merangkul mimpi-mimpi, menyambut satu-satu sang mentari, melebur batas-batas biru dan abu-abu langit menjadi pelangi.

I think I'm madly in love with you, #koala. And I hate this

(Hey, ini rahasia!)

21 February 2010

01 February 2010

Those 18 Cups of Coffee

Semua orang yang mengenal saya tahu betul bahwa saya adalah seorang coffee addict – penggemar berat kopi. Bisa dibilang saya sudah mencoba berbagai macam rasa dan jenis kopi, mulai dari klasik yang kental dan pekat, kopi instan dengan aroma-aroma yang (katanya) asli vanilla atau mocca, bahkan kopi olahan dengan topping ice cream atau whipped cream di atasnya. Saya menikmati semua jenis kopi itu, dan bisa menghabiskannya tanpa protes. Bahkan ketika cangkir yang digunakan bukanlah cangkir porselin, tetapi hanya gelas belimbing biasa. Tetap tidak mengubah persepsi saya terhadap kopi dan larutan-larutan yang sehari-hari menjadi teman insomnia saya itu.

Seperti saat ini, saya ditemani secangkir kopi panas. Kapal api hitam. Klasik. Kental. Pekat. Dan tentu saja rasanya pahit. Sebanyak apapun gula yang ditambahkan tetap tidak bisa mengubah kekentalan kopi jenis yang satu ini. Malah gula yang terlalu banyak itu akan membuat kopi klasik kehilangan keklasikannya. Aneh sekali ya.

By the way, hari ini (barusan) saya ulang tahun. Delapan belas. My favorite number. Biasanya pada detik-detik pergantian umur saya, saya selalu menanti-nantikan hadiah-hadiah dan moment meniup lilin dengan jumlah umur saya. Tapi sekarang tidak. Saya justru ditemani secangkir kopi kapal api klasik dan facebook (yang mulai penuh dengan ucapan selamat). Saya terlihat begitu dewasa dengan ketidaktertarikan saya akan balon, kue, dan hadiah. Tetapi sebenarnya (dalam lubuk hati saya yang paling dalam), saya enggan menjadi tua.

Menjadi tua berarti banyak hal. Semakin berat tanggungjawab yang harus saya pikul, semakin berat hidup saya dengan tuntutan ini-itu, semakin sedikit waktu yang saya punya, semakin berkurang waktu untuk bermain-main, sudah saatnya memikirkan masa depan, dan sebagainya. Jujur saya takut dengan masa depan saya. Saya takut tidak bisa menjadi apa yang saya mau, apa yang saya impikan. Saya takut untuk jatuh terpuruk dengan luka-luka di sekujur tubuh saya. Saya takut tidak bisa bangkit kembali dari keterpurukan dan menyembuhkan luka-luka itu. Pokoknya saya takut. Saya takut menjadi tua.

Saya ingin terus menjadi anak-anak. Bebas bermain, bebas melakukan apapun yang saya mau, bebas berekspresi, bebas menangis, bebas tertawa, dan bebas berteriak tanpa beban. Bukan berarti sekarang saya tidak bisa melakukannya, tapi rasanya janggal bila saya (dengan umur yang sudah segini tua) mencoba menjadi anak-anak (atau kekanak-kanakan). Jelas semua orang akan menertawakan dan menganggap saya aneh. But yeah, I love to be a kid. Sampai sekarang saya masih menyukai film kartun – spongebob squarepants, hey arnold, fairly odd parents; saya masih mencintai ice cream coklat dengan wafer dan choco chips; saya masih suka bermain gelembung sabun dan petak umpet; saya masih menyukai baju-baju dengan warna cerah dan motif lucu-lucu. Just like when I was 8.

Sama seperti 10 tahun lalu, saya akan menambahkan gula banyak-banyak dalam kopi klasik saya (yang dulu saya buat karena saya juga ingin minum kopi seperti ayah). Tidak hanya tiga sendok teh gula, tetapi lima. Saya akan menambahkannya lagi dengan creamer atau susu atau bahkan oreo, supaya kopi yang saya minum akan menjadi manis – bahkan sangat manis – atau terlalu manis. Yang penting saya tidak merasakan rasa pahit dari kopi itu. Atau saya akan membuatnya di mug bergambar mickey mouse kesukaan saya, supaya kopi itu terlihat menarik dan saya memiliki keinginan untuk menyeruputnya. Sungguh usaha yang bagus bukan? Tetapi pada akhirnya saya tidak pernah bisa menghabiskan kopi yang saya buat. Pada awalnya memang menarik – sesuatu yang berwarna hitam (kadang hitam-putih dengan berbagai campuran produk) di dalam mug saya yang bening dengan gambar mickey mouse dan minnie mouse bermain-main – jelas sangat menggiurkan. Pada tegukan pertama saya berhasil menghabiskan sepertiga kopi. Pada tegukan kedua saya sudah menghabiskan seperempatnya. Lalu pada tegukan ketiga, kopi itu terasa sangat manis, sangat sangat sangat manis, dan tenggorokan saya mulai bereaksi. Pada menit selanjutnya, mug itu sudah berada dalam bak cuci piring. Dengan kopi yang masih tersisa setengah. Saya membuang-buang kopi, gula, dan oreo bukan? Semuanya berakhir sia-sia.

Lalu saya mulai berpikir, alasan saya ingin minum kopi pada waktu itu bukanlah karena kesukaan saya terhadap kopi, bukan pula karena saya ingin minum kopi, bukan pula coba-coba. Tetapi karena saya ingin seperti ayah – yang minum kopi klasik dengan 3 sendok teh gula, tetapi bisa menikmati kopi itu dan menghabiskannya tanpa sedikitpun mengeluh. Jelas rasanya pahit, lebih pahit dari kopi yang saya buat tadi (dengan 5 sendok teh gula, creamer, dan oreo). Jelas lebih kental dan pekat daripada punya saya (karena ayah menggunakan tiga sendok teh kopi, bukannya satu seperti punya saya). Tetapi kenapa beliau masih bisa menikmatinya dengan santai, menghabiskan segelas kopi itu dalam waktu berjam-jam tanpa sedikitpun mengeluh akan rasanya yang pahit?

Setelah saya ‘minum delapan belas gelas kopi’, saya mendapat jawabannya. Bukan salah kopinya. Bukan salah gulanya. Bukan pula salah oreo. Semua ini terjadi karena saya memaksa kopi yang saya buat untuk menjadi sesuai dengan selera saya. Saya mencampuradukkan ramuan yang salah. Saya ingin kopi saya manis, tetapi saya menambahkan terlalu banyak gula sehingga rasanya terlalu manis. Lalu saya akan mencoba mengurangi rasa manis kopi itu dengan menambahkan air panas. Tetapi hal itu justru membuat kopi saya hambar. Dan saya akan menambahkan gula lagi sampai kopi itu terasa pas. Sayangnya, rasa kopi itu tidak pernah pas. Saya menambahkan air dan gula terlalu banyak, dan saya membuat kopi itu menjadi encer. Begitu seterusnya sampai saya menyerah dan membuang semua percobaan saya ke bak cuci piring. Saya justru membuang-buang bahan dan melakukan sesuatu yang sia-sia. Jelas, saya tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuangnya begitu saja.

Sama seperti hidup saya selama ini. Saya mencoba menutupi rasa pahit dengan menambahkan rasa manis yang terlalu banyak. Sampai akhirnya menjadi terlalu manis dan saya muak dengan kemanisan itu. Saya hanya melihat dari satu sisi rasa: pahit atau manis, bukan pahit dan manis. Saya tidak pernah mencoba untuk meresapi rasa yang ada. Saya tidak pernah mencoba mengkombinasikannya. Saya hanya ingin rasa yang saya sukai, dan membuang rasa yang saya tidak suka (atau mencoba menghilangkannya dengan menambah ‘rasa manis’ yang lain). Parahnya, saya tidak mau mencoba merasakan rasa pahit itu. Padahal dari rasa pahit itulah nantinya saya akan mendapatkan rasa yang pas – rasa kopi klasik seperti yang saya inginkan, pahit tetapi manis.  

Pada kopi ke delapan belas saya hari ini, saya mencoba membuat kopi dengan ramuan yang benar: dua sendok kopi kapal api klasik, air panas, dan tiga sendok gula dalam mug putih kesukaan saya. Pada awalnya memang terasa pahit. Saya sempat berhenti dan berpikir untuk meninggalkan kopi ini. Lalu kopi itu mengendap. Ampasnya terkumpul di dasar. Saya mengaduk kopi itu lagi dan mencoba merasakannya. Panas dan masih pahit. Tapi dari rasa pahit itu muncul sensasi yang memaksa saya untuk minum seteguk lagi. Masih terasa pahit. Lalu saya mencoba merasakan rasa pahit dari kopi yang saya buat. Menikmatinya seteguk demi seteguk. Perlahan-lahan. Sambil mendengarkan suara jangkrik beradu dengan malam. Tanpa sadar saya sudah menghabiskan secangkir kopi. Tanpa mengeluhkan rasa pahit – bahkan saya tidak merasa pahit sama sekali. Rasanya pas dan nikmat.

Mungkin harus begitu caranya. Tidak perlu dipaksa untuk menjadi manis. Tidak perlu dipaksa untuk dihabiskan. Tetapi dari rasa yang tidak manis itu akan muncul rasa yang berbeda, yang memaksa saya untuk meneguk lagi kopi pahit itu, merasakan (sedikit) rasa manisnya, sampai akhirnya tidak ada setetespun kopi yang tersisa. Bahkan ampasnya pun tidak.







Terima kasih untuk setiap tegukan kopi klasik ini, teman.
You are my bittersweet cups of coffee and I wanna keep drink you all.

* this is my birthday reflection. Happy Birthday to me, anyway :)