06 April 2011

Tik Tik Tik

“Bagus, jika kau telah menyihirku. Sekarang, tak perlu banyak alasan untuk jatuh menujumu. Aku. Hujan”

Perlahan aku melepaskan diriku dari jeratan awan, aku belum terbiasa menjadi hujan, aku bingung apakah aku ingin menjadi gerimis yang jatuh perlahan padamu, ataukah lebat yang bisa dengan cepat menujumu. Ah entah, aku hanya ingin jatuh padamu. Menyentuh lagi kulitmu.

***

Tik Tik Tik.

Aku meluruh. Aku sudah berubah menjadi ribuan peluru hujan. Siap menghujammu. Kau malah sembunyi di balik telindung peraduanmu. Dasar penyihir egois! Sudah berubah menjadi keinginanmu pun nasibku tetap sama saja. Aku, hujan dan sia-sia. Aku ingat, kau sudah 2 kali menyihirku. Pertama kau sihir aku menjadi kupu kupu, katamu aku indah. Dan indah itu kupu-kupu. Katanya aku membuat hidupmu berwarna-warni, maka itu dituangkan dalam sayapku. Tapi apa? Kau hanya mengamatiku dari balik tabung kaca, sesekali kau ajak aku berbicara, bercanda. Tapi aku sia-sia aku hanya menjadi hiasan semata. Kau tak pernah memaknaiku, aku tak pernah menempati sepetak sudut di hatimu. Aku selalu sia -sia

Gelisahku di depan perapian kayu. Aku tak mengira perpisahan dan ketiadaan bisa sehempas ini. Tak seperti senja, ini perpisahan yang tidak mengesankan. Pikiranku melesat jauh, membuatku selalu melihat langit dan berkaca pada cakrawala untuk kembali mengembalikanmu. Beribu mantra tak kuasa bisa merubahmu kembali dari hujan menjadi sosok yang selalu malu-malu yang luput dari perhatianku. Aku melaknatku atas ketidakmampuanku. Ini hujan terlama dalam hidup ku. Kemarau pun terasingkan. Aku beranikan diri untuk menyentuhmu, dalam bentuk ribuan tetesan. Sekarang, kutadah kau dalam cawan rindu. Kuendapkan hingga mengkristal biru. Di musim kemarau kuteguk kau hingga ke ceruk dahagaku.

Kau kini menyadari wujudku. Apakah kini kau menyadari maknaku? itulah aku sudah terpelanting jatuh masih menunggumu berdahaga. Penantian panjang untuk menjadi seteguk kasih, sealir makna. Kutunggu runcing rindumu di padang dejavu. Kini, dalam segala genangan waktu kuraut juga rinduku dengan waktu. Menyerut serat candumu satu per satu. Hingga habis, dan ketika saatnya telah tiba, sihir aku menjadi bah asmara.
Biarlah aku tinggal di tubuhmu wahai penyihir, mengendap bersama darah, berlayar di seluruh arteri nadi dan bermuara di jantung hatimu. Akhirnya citaku tercapai, menempati sudut hatimu dengan apapun bentukku.

By: sihirhujan

22 March 2011

Mengeja Rapot Kebebasan Beragama di Indonesia

Akhir-akhir ini masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan sedang mengemuka di masyarakat. Masih segar di ingatan kita peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu. Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, mengalami kekerasan dan teror fisik yang dilakukan oleh sekelompok oknum. Dan menilik beberapa waktu ke belakang, terjadi pula tindakan kriminal yang memakan korban beberapa orang jemaat dari Gereja HKBP (Huria Kristen Barak Protestan) di wilayah Ciketing, Bekasi. Satu orang dipukuli dan seorang lainnya ditusuk dalam perjalanan mereka untuk menghadiri kebaktian.

Harmoni umat beragama di negeri ini memang sedang mendapat ujian yang cukup serius. Emosi, provokasi, dan ketidakpatuhan aturan main yang sudah disepakati bersama di pihak lain melahirkan tindak kekerasan yang serius. Toleransi seperti kehilangan mantra ajaibnya. Dialog-dialog antar agama seperti hampir tanpa makna. Antara apa yang diajarkan oleh agama dengan praktek seperti begitu berjarak. Apa sesungguhnya yang harus dilakukan untuk menjaga harmoni kehidupan umat beragama di Indonesia?

Indonesia adalah negara multietnis dan multiagama dengan ragam variasi agama dan model-model pemahaman praktikal keagamaan yang tidak homogen. Disharmoni begitu mudah tercipta. Agama didefinisikan sebagai suatu kebenaran, sehingga berkonsekuensi pada anggapan ketersesatan seseorang yang tidak memegang teguh agama atau orang di luar agamanya. Lebih dari itu, bagi Karl Marx, agama adalah candu yang melekat pada diri masyarakat. Berdasarkan reaksi-praksi tersebut, terbentuklah semacam blok atau wilayah-wilayah agama yang melahirkan dikotomi ‘kami’ atau ‘mereka’. Nyaris tidak ada jembatan yang mengantarkan ‘kami’ dan ‘mereka’ pada suatu titik kebersamaan, sehingga menjadi ‘kita’. Ide pluralisme agama, yang salah satunya digemakan oleh Cak Nur, sesungguhnya ingin menjembatani ‘kami’ dan ‘mereka’ dan mengantarkannya untuk menjadi ‘kita’, yakni kesadaran bahwa semuanya adalah makhluk ciptaan Tuhan dalam derajat dan harkat, serta martabat yang sama; meskipun memiliki perbedaan persepsi dalam memandang Tuhan.

Konsep pluralisme agama bukanlah menyamakan semua agama, tetapi mengarahkan pemeluk agama untuk menghargai dan menghormati pemeluk agama lain dengan memahami bahwa pemeluk agama lain juga memiliki keyakinan yang sama tentang kebenaran agama yang dipeluknya. Masing-masing agama meyakini adanya Tuhan, dan karena keyakinan itulah mereka beragama. Selain itu masalah agama dan keyakinan adalah dominasi manusia secara individu. Tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada satu kekuatanpun yang diberi hak dan memiliki kemampuan mengatur hati dan pilihan manusia, kecuali si empunya sendiri. Kebebasan memilih agama melekat pada eksistensi manusia sebagai makhluk individu. 

Pada dasarnya, bila dilihat melalui dasar-dasar fundamental, masing-masing agama menawarkan konsep dan membiarkan orang yang ditawari untuk menggunakan haknya: menerima atau menolak. Menjadi sangat tidak relevan ketika kemudian umat beragama mencoba memaksakan kehendak terhadap orang yang berlainan agama, apalagi dengan jalan kekerasan, intimidasi, teror, agitasi, dan provokasi. Atau bahkan menciptakan suasana tidak kondusif yang merusak harmoni kehidupan beragama yang heterogen. 

Antara ajaran agama dengan sikap pemeluk agama memang tidak selalu selaras. Apa yang dilakukan oleh pemeluk agama tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai representasi dari ajaran agama yang diyakininya. Antara ajaran agama dengan fakta umat beragama tidak selalu linear. Para koruptor menyebut dirinya beragama, sementara ajaran agama justru melarang tindakan korup. Orang mengaku beragama, tapi akhlaknya terhadap sesama buruk. Kekerasan terhadap pemeluk agama, apalagi pelakunya beragama lain, dari agama manapun pelakunya, atau apapun motifnya, jelas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan oleh ajaran agama manapun. Semua pihak, manapun itu, harus saling menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi perbedaan agama dan keyakinan serta aturan main (hukum dan perundang-undangan) yang berlaku. 

It would be much better if we live together in harmony, right?

27 February 2011

Tentang Menunggu

kau pernah ajari aku
kalau hujan bukan untuk diraba,
tapi untuk dirasa
saat itu kau suruh aku pejamkan mata
dan mengulurkan tangan keluar jendela
saat itu hujan sedang deras luar biasa
kau suruh aku rasakan nada-nada
detak-detak hujan, katamu saat itu
kau suruh aku bebaskan pikiran
katamu aku orang yang rentan
dan kau tahu apa, saat itu apa kau kata benar adanya
aku merasa bebas,
aku sungguh merasa lepas
tapi sayang sungguh faktanya,
kau tak pernah tahu apa kurasa.

kau pernah ajari aku
kalau udara bukan hanya untuk dihirup
hanya itu katamu tidak hidup
kau bicara bahwa aku bisa membaui udara
lalu aku bisa bedakan mana oksigen dan karbon dioksida
kau juga berkata oksigen adalah untuk ku bernapas
seperti layaknya padi pada kapas
seperti layaknya tinta pada kertas
kau ajari aku hirup udara
selayaknya akau harus lepas derita
hei, tahukah kamu,
ketika kita bersama habiskan waktu,
sangat mudah rasanya itu.
semudah aku bernapas,
semudah tertawa lepas,
seperti yang kau ajarkan tempo hari
bahwa aku harus belajar menertawai diri sendiri
bahwa aku jangan terlalu kaku,
harus santai bawa hidupku,
harus maju bawa kakiku
dan tahukah kamu,
setelah itu pandanganku pada dunia jadi berubah
semua jadi terasa lebih indah
seperti embun pada daun-daun basah
sayang kau tak pernah tahu apa-apa kurasa setelah itu,
segala-gala dalam isi hatiku.

kau pernah ajari aku bagaimana cara merindu
bagaimana seseorang dapat berharga
bagaimana seseorang ubah lainnya
kau ajari aku untuk lanjutkan hidup
bagaimana tidak menyerah,
bagaimana tidak pasrah
kau ajari aku merasa, membau, bernapas, merindu
namun setelah itu,
adakah kau tahu dalam hatiku?

kau pernah berkata:
oksigen untukku bernapas,
lalu kubisa tertawa lepas,
bersama burung dan anai-anai topas.
suaramu selembut sutera,
ajari aku untuk bicara.
tapi kau tak pernah tahu apa kurasa.