23 September 2014

Pasca Sarjana

Source: http://www.browse.sg/wp-content/uploads/2014/07/graduation-hats1.jpg

Ini tulisan proper saya yang pertama selepas saja menjadi Sarjana. Iya, Sarjana Sosiologi. Hampir empat setengah tahun saya menghabiskan waktu di kampus tercinta Universitas Gadjah Mada untuk menyelesaikan studi saya di Jurusan Sosiologi. Saya ingat ketika OSPEK Jurusan beberapa tahun lalu. Beberapa kakak angkatan bertanya, apakah saya benar-benar meminati jurusan ini? Apakah Sosiologi pilihan pertama saya? Jawabannya bukan. Sampai sekarang pun jawaban saya belum berubah.

Lho?

Bisa dibayangkan, selama empat tahun lebih saya melewatkan hari-hari saya untuk mempelajari sesuatu yang bukan menjadi pilihan pertama saya. Kalau boleh dibilang, saya lebih menyukai hal-hal yang berbau design, seni, atau berhubungan dengan teknologi. Saya lebih menguasai Corel Draw dibandingkan dengan teori-teori Max Weber atau Karl Marx. Saya lebih bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuat sebuah design poster dibandingkan dengan menghabiskan waktu bersama tumpukan buku-buku teori. Ketika kuliah pun saya tidak sepenuhnya fokus. Lebih banyak bolosnya daripada masuknya. Lebih banyak titip absen daripada ikut kelasnya. Kalo nggak percaya, tanya aja teman titip absen saya, Ana. Walaupun saya nggak suka, walaupun sebenarnya saya nggak tertarik, tapi itu pilihan yang sudah saya ambil. Lha wong saya sendiri yang daftar, saya sendiri yang ujian, saya sendiri yang diterima. Kalau mau mundur kok rasanya nanggung. Lagian juga nggak ada jeleknya untuk belajar hal yang baru. Nyatanya, dengan penuh perjuangan setahun lebih ngerjain skripsi, saya bisa lulus juga. Thank God!

Empat tahun bukan hal yang singkat. Masa pacaran saya sama pacar yang ini aja belum menginjak angka empat. Tapi saya sudah belajar banyak. Serius, saya belajar banyak. Dan Sosiologi banyak mengubah persepsi saya. Tentang bagaimana melihat sesuatu, bagaimana memaknai sesuatu, bagaimana mengomentari sesuatu, yah begitulah. Seengaknya empat tahun nggak sia-sia. Huahahaha.

Saya masih punya mimpi yang sama: jadi enterpreneur, jadi jurnalis, jadi designer, jadi fashion-stylist, jadi detektif swasta. Tapi serius deh sekarang susah banget nyari kerjaan yang bisa sesuai passion gitu. Tantangan banget buat jobseeker macam saya ini. But I will work hard, no, extremely hard to get what I want. Wish me luck!

23 July 2014

Rerasan Tetangga

Bonjour! Selamat ya Indonesia punya presiden dan wakil presiden baru. Saya senang karena capres dan cawapres jagoan saya menang, dan senang juga karena bisa menjadi bagian dari pesta demokrasi tahun ini. Rupanya sudah lama saya nggak nulis, sampe blog ini rasanya banyak dihuni laba-laba liar. Sambil berbenah, saya mau cerita sedikit ya sambil latihan nulis. Jari-jari dan otak ini sudah kaku karena sudah lama nggak dilumasi. Kebetulan pas banget sama hari anak nasional, saya mau cerita sedikit soal anak.

Sudah beberapa hari ini saya tidur di rumah eyang. Ngga ada apa-apa sih, pengen aja. Kebetulan banget rumah eyang ada di tengah kota, jadi akses buat ngapa-ngapain dan kemana-mana lebih gampang. Ya maklum lah, rumah saya memang ada di pedalaman Sleman. Sinyal internet aja kadang ada kadang ilang. Sedih banget ya.

Di depan rumah eyang ini tinggal sebuah keluarga kecil yang punya dua orang anak. Mereka tinggal bersama nenek mereka. Sang Ayah bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah hotel di Jogja. Sedangkan sang ibu membuka sebuah warung makan ramesan di samping rumah. Anak yang pertama baru saja masuk SMP, barengan sama adik saya yang paling kecil. Dan adiknya baru berumur sekitar 3 atau 4 tahun. Adiknya yang satu lagi masih di dalam perut, karena ibunya memang sedang hamil tua. Dengan adanya anak kecil kaya gitu, suara tangisan dan rengekan lama-lama menjadi hal yang biasa bagi saya. Gimana enggak, tiap hari dia minta dibeliin atau dibikinin sesuatu. Dan harus pake acara menangis, merengek, merajuk, banting-banting barang, duh ngeliatnya aja nggak tahan banget. Ini anak baru umur 3 tahun tapi udah banting-banting barang gitu. Gimana kalo udah dewasa. Kayak siang kemarin nih. Saya lagi laptopan di samping jendela. Ibu si anak sedang menyapu. Lalu lewatlah pedagang es krim bergerobak..

Si anak: Ibuukkk..es krim
Namun si Ibu tetap cuek dan melanjutkan pekerjaannya.
Merasa permintaannya tidak diacuhkan, si anak mulai menangis dengan keras. Lebih tepatnya merengek, merajuk. Dan berlari mendatangi ibunya yang sedang menyapu.
Si anak: buuukk..es krim
Si ibu tersenyum, lalu berkata “Nggak..”

Merasa ditolak, si anak menjadi berang. Lalu dengan sengaja ia meninju perut ibunya yang sedang hamil tua. Si ibu terdiam sesaat, memegangi perutnya, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Rupanya ia kesakitan karena perutnya ditinju anaknya. Si anak juga berlari mengikuti sambil terus meninju ibunya, sambil merengek, merajuk, menangis dengan keras. Mungkin karena tidak tahan dengan suara tangisan, akhirnya si anak itu dibelikan es krim juga. Tangis berganti menjadi senyum girang. Apa yang diinginkan sudah didapatkan.

Saya terperangah. Tapi hanya bisa diam. Pemandangan yang aneh sekali menurut saya. Menurut saya, apa yang dilakukan si anak terhadap ibunya sudah kelewatan. Memukul ibu bagi saya adalah tindakan yang kurang baik. Bukan kurang, tapi sangat tidak baik. Menyakiti seseorang secara fisik, meskipun dilakukan oleh seorang anak kecil, meskipun juga dilakukan oleh atau kepada ibunya sendiri, bukanlah sebuah hal yang baik. Saya paling nggak suka kalau ada anak kecil yang menangis, merengek, merajuk, lalu memukul-mukul ibu atau ayahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Iyuh banget. Dan memukul ibu yang sedang hamil sampai ia kesakitan juga sungguuuhhh bukan tindakan yang baik. Herannya sih, ibunya cuma diem aja. Cuma bilang ‘jangan gitu yaa’ trus anaknya dibelai-belai gitu deh. Tetangga saya, yang juga ngeliat hal itu cuma bilang “Nek aku nduwe anak koyo ngono wis tak tapuki kuwi, wis tak seneni entek-entekan. Ngawur e, bahaya tenan.”

Kedengarannya jahat ya, tapi saya setuju. Tindakan seperti itu sudah membahayakan keselamatan si ibu dan bayi di kandungannya. Kalo tiba-tiba ketubannya pecah gimana? Kalo terjadi sesuatu sama bayinya gimana? Kalo pendarahan gimana? Kalo bayinya cacat gimana? Kalo meninggal gimana? Aduuhh amit-amit deh jangan sampe kejadian. Tapi memang ibunya nggak boleh diem aja kan. Kelihatannya jahat kalo orang tua marahin anaknya, bahkan mungkin sampe bentak-bentak. Tapi kalo ngga gitu, si anak nggak bakal sadar kalo dia udah ngelakuin hal yang bisa menyakiti bahkan membahayakan orang lain. Kalo nggak dimarahin, mungkin dia nggak bakalan tau kalo dia sudah melakukan suatu kesalahan. Kalo nggak dimarahin, dia nggak bakalan berubah.


Karena mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti setelah dia dewasa. Mungkin nanti setelah dia punya istri. Dan mungkin juga melakukannya tanpa rasa bersalah, karena dulu dia pernah melakukan hal yang sama dan didiamkan saja. Terus kalo kayak gitu harus nyalahin siapa?

Karena si ibu diam saja, dan saya juga nggak bisa berbuat apa-apa (iyalah siapa gueeee), yaudah akhirnya saya lanjut laptopan aja. Sambil berdoa semoga nggak ada orang tua lain yang kayak gini. *fiuh*

05 June 2014

Selfie: I Share, Therefore I Am


Photo by: Alfonsus Darmawan, model: Antonius Novan
Pernahkah kamu melihat seseorang yang memotret dirinya sendiri menggunakan ponsel atau kamera digital? Atau kamu sendiri pernah melakukan hal itu? Itulah seni berfoto narsis yang dikenal dengan sebutan 'selfie' atau 'self-potrait.' Selfie merupakan gaya foto yang menampilkan diri sendiri entah itu wajah, seluruh tubuh atau hanya bagian tubuh tertentu. Foto selfie dilakukan oleh diri sendiri tanpa meminta bantuan orang lain untuk memotret. Saat melakukannya, si pelaku selfie akan memegang ponsel berkamera atau kamera dengan salah satu tangannya dan mengarahkan lensa ke bagian yang ingin difoto. Selfie memang sedang populer. Sampai-sampai kata ‘selfie’ dinobatkan sebagai Oxford English Dictionary's 2013 Word Of The Year. Seperti dikutip dari web BBC, kamus Oxford mendefinisikan kata selfie sebagai sebuah aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, yang umumnya menggunakan ponsel atau webcam, kemudian mengunggahnya ke situs media sosial. 

Perilaku 'narsis' di media sosial ini berlaku universal. Bukan cuma masyarakat biasa, kalangan elit seperti presiden, pejabat, dan selebritis pun sudah ketularan perilaku ini. Survey dari Pew Internet & American Life Project menyatakan, 54 persen pengguna internet punya kebiasaan mengunggah potret dirinya ke Facebook, Twitter atau jejaring sosial lainnya. Tujuannya tidak lain sekadar mengekspresikan diri atau ingin menginformasikan keberadaannya pada saat itu. Misalnya selfie dengan background tempat liburan, selfie bareng artis idola, bersama tokoh populer, di lokasi bencana, dan lain sebagainya.

Selfie sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bahwa kata ‘Selfie’ atau ‘self-potrait’ pertama kali dipakai pada tahun 1839. Kala itu Robert Cornelius adalah orang pertama di dunia yang melakukan selfie. Ketika zaman kamera polaroid ngetren di tahun 70-an, Andy Warhol juga melakukan hal serupa. Ia kemudian dikenal sebagai orang ke-2 di dunia yang melakukan selfie. Putri Kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna, adalah remaja yang diketahui pertama kali mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya pada tahun 1914.



Kenapa orang suka melakukan selfie?

Dr Pamela Rutledge, Psikolog asal Boston mengungkapkan bahwa dalam Selfie “we see ourselves alive and dynamic, a person in progress” (bbc.co.uk). Dr Rutledge juga menjelaskan, manusia pada dasarnya suka mencoba identitas-identitas baru, dan selfie mengakomodasi kesenangan tersebut. Selfie tells other people how we want to be seen. Seseorang yang gemar berfoto selfie bisa memotret dirinya dalam jumlah puluhan bahkan ratusan. Namun tidak semua foto tersebut dipublish, hanya beberapa foto yang ia sukai saja. Sehingga tak jarang banyak pula yang menganggap kaum selfie sebagai kaum yang ‘haus perhatian’.


Selfie memang dekat dengan remaja atau orang-orang yang berjiwa muda. Karena keterbatasan teknologi, pada awalnya selfie hanya dilakukan sendirian. Biasanya, TKP (Tempat Kejadian Pemotretan) favorit adalah di depan cermin besar (seperti di toilet mall) atau di kursi penumpang mobil. Pose favorit para remaja (terutama perempuan) adalah dengan memajukan bibir (manyun/monyong) yang sering disebut pose duckface. Tentu tidak ada yang salah dengan ‘memotret diri sendiri’, tapi memposting selfie ke ranah digital bisa jadi indikasi bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.

Memotret diri sendiri kemudian dipajang di internet adalah salah satu aktivitas jagad maya yang masuk kategori narsisme. Pengguna selain ‘pamer’ diri juga ingin mendapat perhatian dari siapa saja yang melihat foto itu. Namun, jika kita bukan Ellen DeGeneres, bukan artis papan atas yang memiliki jutaan penggemar, berhematlah dalam hal selfie ini. Studi yang dilakukan oleh Birmingham Business School menunjukkan, semakin sering kita menyebar foto selfie via media sosial, semakin menyebalkanlah kita di mata banyak orang. Inilah perilaku yang paling menyebalkan di media sosial, dan membuat pelakunya dikucilkan. 

Hasil penelitian Asosiasi Psikiater Amerika mengungkap bahwa kebiasaan selfie adalah sebuah bentuk dari gangguan kejiwaan yang serius. Para psikiater AS tersebut menggolongkan kelainan jiwa selfitis ini dalam 3 kelompok, yaitu Selfitis Pinggiran, Selfitis Akut, dan Selfitis Kronis. Selfitis Pinggiran adalah kecenderungan seseorang mengambil foto diri, sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari, tapi tidak mengunggah hasil fotonya ke jejaring sosial miliknya. Sementara itu Selfitis Akut dikategorikan bagi seseorang yang memotret diri sekurang-kurangnya tiga kali dalam sehari dan mengunggah tiap hasil foto diri tersebut ke media sosial. Dan yang terakhir, Selfitis Kronis adalah dorongan tak terkendali untuk mengambil gambar diri sendiri sepanjang waktu, dan mengunggah foto-foto tersebut ke media sosial lebih dari enam kali sehari.

Dr Pamela Rutledge menyebut “Kegiatan memposting foto selfie menunjukkan orang tersebut kesepian, butuh pengakuan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.” Bahkan Dr Pamela menambahkan orang yang memposting foto selfie dengan pose duckface biasanya tidak terlalu pintar, “Pose dengan ekspresi wajah bebek ini menunjukkan rendahnya kepercayaan diri dengan wajah natural dan takut tidak terlihat menarik.” Karena merasa tidak cantik, beberapa orang menggunakan filter foto secara berlebihan sehingga hasilnya berbeda jauh dengan kenyataan. Ini adalah efek negatif dari selfie: gaya hidup pencitraan; di mana orang mulai menciptakan tuntutan pada diri sendiri untuk mendapatkan penilaian terbaik dari publik terhadap mereka.

Selfie adalah bentuk aktualisasi diri, sebuah kebutuhan sebagai mahluk sosial yang harus dipenuhi ketika kebutuhan dasar telah terpenuhi. Selfie sah-sah saja dilakukan asalkan pelaku selfie juga melihat situasi dan kondisi. Selfie manner juga harus dipertimbangkan ketika melakukan selfie. Apalagi kini dengan hadirnya beberapa inovasi seperti monopod alias tongsis (tongkat narsis) dan kamera depan pada ponsel, kegiatan selfie pun semakin mudah dilakukan. Selfie bersama banyak orang pun jadi tidak ribet lagi. Kegiatan ini pun bergeser maknanya dari sekedar bentuk eksistensi di media sosial menjadi sarana (media) untuk benar-benar bersosialisasi. 

Selfie, yuk!

(dimuat di Bulletin Lilin edisi Mei 2014)