Showing posts with label cerita. Show all posts
Showing posts with label cerita. Show all posts

23 July 2014

Rerasan Tetangga

Bonjour! Selamat ya Indonesia punya presiden dan wakil presiden baru. Saya senang karena capres dan cawapres jagoan saya menang, dan senang juga karena bisa menjadi bagian dari pesta demokrasi tahun ini. Rupanya sudah lama saya nggak nulis, sampe blog ini rasanya banyak dihuni laba-laba liar. Sambil berbenah, saya mau cerita sedikit ya sambil latihan nulis. Jari-jari dan otak ini sudah kaku karena sudah lama nggak dilumasi. Kebetulan pas banget sama hari anak nasional, saya mau cerita sedikit soal anak.

Sudah beberapa hari ini saya tidur di rumah eyang. Ngga ada apa-apa sih, pengen aja. Kebetulan banget rumah eyang ada di tengah kota, jadi akses buat ngapa-ngapain dan kemana-mana lebih gampang. Ya maklum lah, rumah saya memang ada di pedalaman Sleman. Sinyal internet aja kadang ada kadang ilang. Sedih banget ya.

Di depan rumah eyang ini tinggal sebuah keluarga kecil yang punya dua orang anak. Mereka tinggal bersama nenek mereka. Sang Ayah bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah hotel di Jogja. Sedangkan sang ibu membuka sebuah warung makan ramesan di samping rumah. Anak yang pertama baru saja masuk SMP, barengan sama adik saya yang paling kecil. Dan adiknya baru berumur sekitar 3 atau 4 tahun. Adiknya yang satu lagi masih di dalam perut, karena ibunya memang sedang hamil tua. Dengan adanya anak kecil kaya gitu, suara tangisan dan rengekan lama-lama menjadi hal yang biasa bagi saya. Gimana enggak, tiap hari dia minta dibeliin atau dibikinin sesuatu. Dan harus pake acara menangis, merengek, merajuk, banting-banting barang, duh ngeliatnya aja nggak tahan banget. Ini anak baru umur 3 tahun tapi udah banting-banting barang gitu. Gimana kalo udah dewasa. Kayak siang kemarin nih. Saya lagi laptopan di samping jendela. Ibu si anak sedang menyapu. Lalu lewatlah pedagang es krim bergerobak..

Si anak: Ibuukkk..es krim
Namun si Ibu tetap cuek dan melanjutkan pekerjaannya.
Merasa permintaannya tidak diacuhkan, si anak mulai menangis dengan keras. Lebih tepatnya merengek, merajuk. Dan berlari mendatangi ibunya yang sedang menyapu.
Si anak: buuukk..es krim
Si ibu tersenyum, lalu berkata “Nggak..”

Merasa ditolak, si anak menjadi berang. Lalu dengan sengaja ia meninju perut ibunya yang sedang hamil tua. Si ibu terdiam sesaat, memegangi perutnya, lalu berlari masuk ke dalam rumah. Rupanya ia kesakitan karena perutnya ditinju anaknya. Si anak juga berlari mengikuti sambil terus meninju ibunya, sambil merengek, merajuk, menangis dengan keras. Mungkin karena tidak tahan dengan suara tangisan, akhirnya si anak itu dibelikan es krim juga. Tangis berganti menjadi senyum girang. Apa yang diinginkan sudah didapatkan.

Saya terperangah. Tapi hanya bisa diam. Pemandangan yang aneh sekali menurut saya. Menurut saya, apa yang dilakukan si anak terhadap ibunya sudah kelewatan. Memukul ibu bagi saya adalah tindakan yang kurang baik. Bukan kurang, tapi sangat tidak baik. Menyakiti seseorang secara fisik, meskipun dilakukan oleh seorang anak kecil, meskipun juga dilakukan oleh atau kepada ibunya sendiri, bukanlah sebuah hal yang baik. Saya paling nggak suka kalau ada anak kecil yang menangis, merengek, merajuk, lalu memukul-mukul ibu atau ayahnya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Iyuh banget. Dan memukul ibu yang sedang hamil sampai ia kesakitan juga sungguuuhhh bukan tindakan yang baik. Herannya sih, ibunya cuma diem aja. Cuma bilang ‘jangan gitu yaa’ trus anaknya dibelai-belai gitu deh. Tetangga saya, yang juga ngeliat hal itu cuma bilang “Nek aku nduwe anak koyo ngono wis tak tapuki kuwi, wis tak seneni entek-entekan. Ngawur e, bahaya tenan.”

Kedengarannya jahat ya, tapi saya setuju. Tindakan seperti itu sudah membahayakan keselamatan si ibu dan bayi di kandungannya. Kalo tiba-tiba ketubannya pecah gimana? Kalo terjadi sesuatu sama bayinya gimana? Kalo pendarahan gimana? Kalo bayinya cacat gimana? Kalo meninggal gimana? Aduuhh amit-amit deh jangan sampe kejadian. Tapi memang ibunya nggak boleh diem aja kan. Kelihatannya jahat kalo orang tua marahin anaknya, bahkan mungkin sampe bentak-bentak. Tapi kalo ngga gitu, si anak nggak bakal sadar kalo dia udah ngelakuin hal yang bisa menyakiti bahkan membahayakan orang lain. Kalo nggak dimarahin, mungkin dia nggak bakalan tau kalo dia sudah melakukan suatu kesalahan. Kalo nggak dimarahin, dia nggak bakalan berubah.


Karena mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti setelah dia dewasa. Mungkin nanti setelah dia punya istri. Dan mungkin juga melakukannya tanpa rasa bersalah, karena dulu dia pernah melakukan hal yang sama dan didiamkan saja. Terus kalo kayak gitu harus nyalahin siapa?

Karena si ibu diam saja, dan saya juga nggak bisa berbuat apa-apa (iyalah siapa gueeee), yaudah akhirnya saya lanjut laptopan aja. Sambil berdoa semoga nggak ada orang tua lain yang kayak gini. *fiuh*

23 March 2012

Bahagia Bisa Berbahagia

(BERIKUT pengakuan Pak Mena, penjaga mercusuar di pantai terpencil. Sampai hari ini, masih bekerja di tempat tersebut. Kadang batuk-batuk, dan keluhannya susah tidur).

"Saya ini hanya orang kecil. Tidak pintar bicara. Hidupnya pas-pasan. Tinggalnya saja di tempat terpencil. Semua saudara saya mengembara dan tinggal di kota. Saya seumur-umur disini. Menjadi penjaga mercusuar. Ada tenaga lain. Tapi baru setahun dua sudah tak tahan. Ganti berganti teman. Saya tetap menjaga. Begitu terus.

Saya ini orang kecil, tak punya arti apa-apa. Kalau saya mati pun tak ada yang kehilangan. Kalau saya sakit tak ada yang ikut sedih. Saya jarang ngomong, sama siapa? Teman dekat hanya ombak laut, burung, dan ikan di dalam laut. Bau tubuh saya sudah asin.

Pernah suatu kali di atas menara, malam-malam, saya berniat terjun. Toh hidup ini sudah tak ada artinya. Pikiran lagi buntu. Kalau saya hilang, belum tentu ketahuan, sebulan kemudian ditemukan mayatnya. Ketika mau loncat saya dengar ada suara orang nembang, bersenandung. Luar biasa, karena selama bertugas baru sekali ini ada suara tembang. Kalau hantu, mana bisa menembang lagu dengan begitu bagus. Saya turun dan mencari arah suara.

Di pantai tengah malam saya melihat seorang lelaki, tua, jalan. Kadang ke air, kadang ke tepi. Jalannya terseok-seok. Baru setelah dekat terlihat, lelaki tua itu memakai penutup mata. Pantas jalannya oleng. Saya tarik ke tepian agar tak terseret ombak.

"Apa yang Bapak cari?"
"Saya mencari jalan."
"Mau kemana? Dari mana? Apa yang Bapak lakukan? Kenapa mata Bapak ditutup? Bapak sakit?" Banyak sekali pertanyaan saya. Senang rasanya bertemu orang lain.

Lelaki tua itu membuka penutup matanya. Memberikan ke saya, agar saya menutup mata.

"Cobalah jalan kembali ke menara."
"Kenapa?"
"Coba saja."

Daerah pantai saya hapal. Juga jalan kembali ke menara. Tapi toh beberapa kali menginjak karang sehingga terjatuh. Alangkah bodohnya saya mengikuti perintahnnya. Sampai di dekat tangga, saya sudah tak mampu. Saya buka penutup mata.

"Siapa Bapak? Apa maksud Bapak sebenarnya?"

Lelaki tua itu tersenyum, menepuk pundak saya. "Siapa nama saya tidak penting untuk diingat. Bagi banyak orang, saya senang jika menjadi paman bagi mereka. 
Kamu sudah mencoba jalan dalam gelap? Walau kamu hapal jalanan, masih saja nubruk sana-sini. Saya mencoba juga, dan tak mampu. Kita yang dalam kegelapan itu adalah sampan, perahu, rakit yang melewati laut. Tanpa lampu sorot dari mercusuar, mereka akan berada dalam kegelapan. Tak tahu arah. Kamulah yang memberi arah. Apa yang kamu lakukan sangat bermakna bagi orang lain. Yang setiap malam melalui laut."
"Bagaimana Bapak bisa tahu kerisauan saya?"
"Saya juga merasa pekerjaan saya sia-sia. Tapi kalau yang saya lakukan bisa membahagiakan orang lain, saya akan merasa bahagia. Saya tidak merasa sia-sia."

Lelaki tua itu tinggal cukup lama. Lelaki tua itu mengembalikan harga diri saya. Saya tak perlu bunuh diri. Walaupun kecil dan tak berarti, saya dibutuhkan orang lain.

Baru kemudian saya tahu lelaki tua itu disebut Mandoblang. Atau Paman Doblang. Mandoblang memanglah seorang paman yang baik bagi para ponakan. Tak mungkin kedatangannya ke menara secara kebetulan. Mandoblang khusus mendatangi.

Dialah paman dalam arti sesungguhnya."



(Cerita: Arswendo Atmowiloto, Majalah INA No.32/TH.I/Minggu ke-2)