Showing posts with label wanita. Show all posts
Showing posts with label wanita. Show all posts

21 January 2014

To Be A Mother




Saya tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Bahkan ketika sekarang saya sudah memasuki masa dimana saya sudah harus mulai nyicil mempersiapkan pernikahan, saya tetap tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Bagaimana nanti jika sudah berkeluarga, bagaimana jika nanti hamil dan punya anak, bagaimana nantinya saya dengan keluarga suami saya, bagaimana saya dengan masyarakat, apakah saya harus menjadi ibu rumah tangga full time atau saya harus mengejar karir. Membayangkannya saja sudah membuat saya mengernyitkan alis. Getting married sounds so scary, for me.

Mungkin saya yang terlalu berlebihan. Atau mungkin saya terlalu banyak menonton acara gosip atau sinetron di televisi. Tapi rasanya menjadi seorang ibu itu mengerikan.  Yes, mungkin saya yang terlalu berlebihan.

Ibu saya adalah seorang ibu yang nggak mau ribet. Bukan tipe ibu-ibu yang seneng belanja, baik ke mall atau ke pasar. Bukan tipe ibu-ibu yang rajin dan pintar memasak dan suka bereksperimen dengan berbagai resep masakan (harus saya akui, masakan bapak lebih enak daripada masakan ibu :D). Bukan ibu-ibu yang suka dandan. Dan tentu saja bukan ibu-ibu yang suka nonton acara gosip dan suka nangis kalo nonton sinetron. Ibu saya jauh dari gambaran ibu-ibu ideal masa kini. She said 'Aku bukan ibu-ibu mainstream'.

Ibu saya adalah seorang dosen di sebuah universitas swasta di Kota Yogyakarta. Sehari-hari beliau bekerja dari pagi hingga sore (tapi untungnya masih punya banyak waktu untuk keluarganya). Ibu saya lebih suka pakai kaos oblong, celana jeans, dan sepatu boot daripada memakai rok span dan blazer yang kinyis-kinyis. Urusan make up, ibu saya nggak mengenal yang namanya eyeshadow dan mascara. Cukup bedak dan lipstick berwarna merah terang. 

Ibu sendiri mengakui bahwa dirinya bukan ibu-ibu kebanyakan, bukan ibu-ibu idaman, dan dalam urusan mengurus rumah tangga, beliau bukan panutan yang baik :p.

Duh.. jadi besok aku harus berguru pada siapa?

Terbiasa hidup dengan ibu yang nyentrik membuat pikiran saya menjadi nyentrik juga hahaha. Lewat perbincangan dengan ibu, saya mendapat banyak gambaran mengenai hidup berkeluarga; bagaimana kita tetap harus menjadi diri kita sendiri, bagaimana kita tetap harus melakukan hal-hal yang kita sukai, bagaimana kita harus tetap berkarier, untuk mengejar cita-cita, untuk berkarya, dan yang paling penting adalah bagaimana mendapatkan karier yang bagus sekaligus juga dekat dengan keluarga.

It's not easy, though.

Kalau saya pribadi sih pengennya tetap berkarir. Percuma dong kuliah sampai S1 tapi nggak memanfaatkan ilmu yang didapat. Saya pengen berkarya dan bisa menginspirasi banyak orang. Tapi saya juga pengen berkeluarga - pengen punya anak(-anak) dan pengen ngerasain gimana ribetnya jadi ibu rumah tangga. Tapi tapi tapi..eh..kayaknya belum siap juga sih.

Makanya saya selalu kagum sama ibu rumah tangga full time. Bangun tidur sampai tidur lagi ngurusin keluarga. Rutinitas yang selalu sama, gitu-gitu doang, dan dilakukan sejak menikah sampai tua. Apa nggak bosen ya? Kalau saya sih sudah pasti bakalan bosen abis. Hahahaha. 

Menjadi ibu kok kayaknya berat ya. Berbagai macam pikiran dan ketakutan datang silih berganti di benak saya. Bisakah saya melewati ini semua? Bisakah saya nantinya menjadi ibu yang baik, istri yang baik, dan wanita karir yang baik pula? Mungkin jawabannya baru bisa saya temukan tiga atau empat tahun lagi. Ketika saya (akhirnya) berani memutuskan untuk berkeluarga.

Sekarang ngurusin skripsi dulu aja deh, biar cepet pendadaran.

09 September 2011

Independent-kah Kita ?

Dewasa ini peran perempuan sebagai salah satu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat sudah mulai diperhitungkan. Banyaknya organisasi yang menjunjung tinggi martabat perempuan sudah mulai marak di Indonesia. Munculnya aktivis-aktivis perempuan juga sudah mulai mencerahkan paham emansipasi wanita yang selama ini hanya kita anggap sebagai sebuah formalitas semata. Tak bisa dipungkiri bahwa gender kini bukan lagi sebagai penghalang kita, kaum perempuan, untuk bisa tampil di garis depan.

Namun pada kenyataannya, presentasi perempuan Indonesia yang menganggap diri mereka sebagai “perempuan independent” masih sangat minim bila dibandingkan dengan perempuan non independent yang jumlahnya sangat mengejutkan. Memang sangat ironis bila mengingat jumlah penduduk Indonesia yang majemuk. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah setiap perempuan mampu memaknai arti emansipasi yang telah diperjuangkan R.A Kartini sejak puluhan tahun yang lalu? Apakah genderisasi sudah benar-benar terhapus dari pikiran masyarakat kita?

Seorang perempuan bisa disebut independent bukan hanya didasari pada beberapa faktor keibuan saja atau jika dia bisa hidup berjuang sendirian tanpa tameng sesosok laki-laki. Namun yang paling penting jika perempuan itu berani menghadapi hidup dengan segala resiko yang akan ditanggungnya atas segala  keputusan yang telah ia ambil dalam menjalani garis hidupnya serta mampu mengubah pandangan negatif orang terhadap dirinya.

Contoh konkret dari seorang perempuan adalah seorang single mom, baik yang terjadi karena hasil dari ‘kecelakaan’ maupun bagi keluarga yang terpaksa harus kandas di tengah jalan. Secara kasat mata, yang pertama kali kita lihat biasanya dari aspek status sosial yang menggambarkan bahwa mereka-mereka ini adalah sosok yang kuat tanpa sosok laki-laki. Namun dibalik itu, ada hal yang lebih mendasar sehingga mampu menentukan sikap dan mengambil keputusan sendiri. Keberanian inilah yang menjadikan mereka menjadi sosok perempuan independent.

Lain halnya dengan kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka masih belum bisa mendapatkan hak-hak mereka, bahkan hak yang paling dasar sekalipun, salah satunya hak  untuk hidup. Mereka mengalami kekerasan fisik dan yang paling parah harus menghembuskan nafas   terakhir di tangan orang terdekat mereka. Ironis sekali. Di sisi lain, aktivis muda menyerukan emansipasi, namun di belahan dunia lain masih banyak perempuan yang belum mencicipi emansipasi itu sendiri.

Tak salah apabila ada anggapan bahwa di tangan wanita semua akan berjalan dengan baik. Namun yang patut diingat, untuk mewujudkan itu semua, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berpartisipasi. Tak peduli apa jenis kelaminnya. Jadi secara tidak langsung laki-laki juga harus ikut andil.

Sudahkah kita menjadi perempuan independent?