01 August 2011

Lelaki(ku), Hujan

Panggil dia lelaki hujan. Dia adalah satu satunya lelaki yang mentasbihkan dirinya sebagai kekasih hujan. Meski berjuta juta orang di luar sana mengaku mencintai hujan, tapi aku percaya, bahwa cinta hujan hanyalah untukku.

Saat hujan mengirimkan tubuhnya sendiri ke bumi, saat itulah kulepaskan segala kerinduan yang terperangkap dalam diri. Kerinduan seorang kekasih yang terlalu lama ditinggal pergi.

Saat hujan tiba, segera aku menuju ke halaman. Seperti seorang anak kecil yang diberi hadiah oleh ayahnya, aku akan melompat lompat kegirangan, membuka tangan lebar-lebar lalu memeluk hujan erat erat. Seakan tak ingin melepaskan.

Sambil bernyanyi kecil, kurasakan jari jari hujan yang lembut membelai wajahku, membasahi tiap inchi tubuhku. Kadang dia bertingkah agak nakal, mencubit lenganku.

Kudongakkan wajahku ke atas, biar kuterima seluruh mantranya, biar meresap ke tubuhku segala cintanya, biar disapu bersih rindu rindu yang tersisa.

Diiringi tetabuhan ranting pohon, dan petikan daunan, hujan akan bernyanyi. Lalu akupun diajak berdansa. Menari tanpa aturan, menari sesukanya. Setelah itu orang orang akan menganggapku gila. Tapi, siapa peduli, itu sudah biasa.

Saat lelah menyergap, kami beristirahat, duduk duduk di beranda. Menikmati segelas kenangan, menghangatkan diri dengan obrolan. Sambil mengobrol, sesekali kucuri pandang manis wajah hujan.

Namun ada waktunya hujan harus pergi. Melanjutkan kembali pengembaraannya. Mengirimkan jutaan rindu ke seluruh bumi. Saat itu pula kesedihan harus dilahirkan dari rahim perpisahan.

Sebuah kecupan mesra dan segenggam petrichor selalu ia tinggalkan padaku sebagai cinderamata, sebelum dia akhirnya benar benar menghilang.

***

Musim akan terus memainkan perannya, supaya dunia tetap pada lintasannya. Dia putarbalikkan cuaca, dia henti dan jalankan udara, dia terbangkan hujan ke negeri negeri-negeri tak berpeta.

Saat daun jati berjatuhan karena digoda kemarau, saat hewan hewan berlarian ke negeri yang tak terjangkau, saat itulah rinduku (kembali) tumbuh menjamur dimana mana.

Aku tak pernah tahu, dan tak pernah bertanya kapan hujan akan pergi, dan kapan hujan akan kembali. Mungkin dia akan tiba tiba muncul minggu depan, mungkin dia akan mampir bulan depan, mungkin juga menculikku tahun depan.

***

Hujan semakin hari semakin menjauh, namun rinduku padanya bukannya makin rapuh tetapi malah akan bertambah. Ya, karena aku cinta kekasihku. Karena aku mencintai hujan. Karena aku adalah kekasih hujan.

| @sihirhujan

Sel(fish)/'selfisy'/ks ;egois

Suatu hari saya berantem hebat sama pacar . Masalahnya sepele, cuma gara-gara saya nge-repeat satu lagu sampe 5 kali and more. Dan saya tetap mempertahankan lagu itu untuk diputar. Kita berantem di jalan dengan kondisi jalanan sangat padat, bahkan untuk merayap aja puji Tuhan. Oke, jadi perpaduan antara panas, macet, silau (no sunglasses btw), dan berantem. Can you imagine? Dan kita harus terjebak di kondisi yang mematikan seperti itu. Saya emosi dan dia emosi. Dan saya menyetir dengan muka merah, mostly because of the fvckin beam. Lalu biasanya orang akan bertanya, trus salah siapa doong?

Saya maupun dia punya alasan sendiri-sendiri. Saya punya kebiasaan muter lagu fav, sampai dapet feelnya. See? Gak salah dong menikmati musik dengan cara seperti itu? Bahkan kalo perlu sampai saya menghayati lagunya. Dan buat dia, itu bentuk penyiksaan. First; He doesn't like the song, second; It makes him so bored.

Dan pada dasarnya saya orang yang sangat liberal. Saya menjawab, "Yang, kamu juga boleh kok nge-repeat lagumu sepuluh kali." Tapi sebenernya faktanya, gak ada satupun lagu di mobil yang merupakan lagu favnya.  Jadi sia-sia kalau dia berniat memutar satu lagu sampai sepuluh kali, karena semua lagu dimobil adalah laguku.

Akhirnya saya berjalan dengan ego saya dan dia dengan egonya. Dan saya mikir, egois banget sih nih orang, gak liat apa saya butuh hiburan. Maksudnya, hell~0 lagu yang saya puter juga gak busuk-busuk amat, dan gak najis najis bala-bala, tapi kenapa segitunya sih menolak lagu saya (ditambah itu merupakan lagu fav saya).

Sekitar seratus meter saya mengemudi, ada motor nyalip dan mau belok ke kanan. Sementara posisi saya dikanan ya tolong, jadi itu motor dengan indahnya nyerempet mobil saya ditambah ngesot 5 meter, dan ngebawa-bawa mobil saya. By the way horor juga ketika kejadian itu berlangsung. Dan sepertinya agak parah. Mobil saya berhenti setelah ditarik rem tangan oleh dia, dan saya cuma bisa beku ditempat.

Pacar turun mobil, and he handled it. Look so heroic! Untungnya itu pengendara motor yang ternyata mas-mas gila nggak apa-apa,  hanya robek celananya, berdarah sedikit, tapi motornya lumayan parah.
Dan pacar yang menangani itu semua, plus bayar ganti rugi dll. Saya cuma menepikan mobil dan diem beberapa menit -karena shock.

Setelah itu semua selesai, pacar balik ke mobil dan bilang, "Liat aku yang, masih sanggup bawa mobil pulang?"

Saya menggeleng dan nangis, trus dia nggak meluk saya kayak di film-film (karena dia memang tidak romantis, underline it please), tapi dengan wise dia menenangkan saya dan bilang, "Motor itu kok yang salah, bukan kamu. Tapi, nyetir sambil emosi gak bagus kan? Yaudah, aku yang nyetir pulang sekarang."

Sepanjang perjalanan pulang, dia nenangin saya dan ngelus-ngelus kepala saya, dan saya merasa seperti kucing kecil yang ketakutan. Bahkan saya lupa tadi sempat saya berubah menjadi monster.

Dan sepanjang perjalanan saya mikir, egois itu nggak cuma berakibat bikin muka kita tambah tua, atau bibir kita mengerucut, dan membuat hati kita kotor. Tapi juga bisa membuat kita kecelakaan! Coba tadi saya nggak egois, pasti saya nggak akan berantem, dan saya nggak akan emosi, dan (mungkin ternyata) saya mengemudikan mobil terlalu cepat, dan saya nggak menyadari kalau ternyata itu mobil melaju dengan sangat cepat dan menyebabkan kecelakaan. Apapun itu, dampak yang amat sangat buruk dan horor.

Tapi, detik itu juga saya sadar, ketika lo peduli sama orang lain, lo bisa ngalahin rasa egois lo. Coba misalnya (ternyata) dia gak perduli sama saya, dan dia masih tetap emosi ketika kita kecelakaan, mungkin dia akan mengatakan, "Oh kecelakaan ya? Keciaaaan deh lo. Sukurin! Urusin tuh semua sendiri. Gue gak ikut-ikutan yaaaaa. Byebye muah muah." Dan dia melenggang pergi, lalu apa jadinya saya?

30 July 2011

Repost: On In Love and Not Being Able to Write Pretty Words


Kata orang, kalo mau ngeblog,
tulislah perasaan paling kuat yang lagi kamu rasakan.

Well, saya lagi jatuh cinta,
dan saya ingin menulis tentang itu.

Now, this is the problem. Saya takut menulis tentang cinta. You know, tulisan tentang cinta, adalah tulisan yang paling susah untuk ditulis. Karena, sangat susah menulis tentang cinta tanpa terlihat dangdut, corny, atau downright menya-menye. Saya tidak ingin tulisan yang saya buat jadi terlihat seperti surat cinta mbak-mbak dan mas-mas pembantu rumah: “Kalau kamu jadi madu, aku jadi lebahnya.” Hoek. Atau, “Kalau kamu jadi kumbang, aku jadi sepedanya… sepeda kumbang.” Dobel hoek.

For me, what I have with you now,
lebih dari analogi yang melibatkan serangga.

Hmmmmm…

Tapi kalau mau dianalogikan, let me get a shot: falling in love with you is like prasmanan tanpa pernah terpuaskan. Semua detail-detail sifat yang kamu tawarkan: quirkiness kamu, ketidaklaziman kamu, kemengertian kamu terhadap keanehanku (begitu pun sebaliknya), seperti di tawarkan dalam piring-piring buffet dengan silver platter yang menyala rapih. Dan kuambil. Kukonsumsi. Namun, aku masih kelaparan. Lalu kuambil, kukonsumsi kembali. Dan aku, tetap kelaparan. Saya bisa menyalahkan ini kepada sifat aku yang menagih -dan tidak pernah puas-, atau kepada kamu yang terus menawarkan cita-rasa yang tak kunjung habis. Atau, kepada keduanya. I can only sum it up: I. Can’t. Get. Enough. Of. You.

Tuh kan. Maybe I can’t find cool analogies, pretty metaphors, or write a lovey dopey poem (you know, yang kayak “ketika langit tak berbintang, maka aku..”. Damn, Triple hoek dengan cuh), I definitely can’t write music. I’m a comedy writer, therefore I’m not even good with words for these kind of things.

So, I’m gonna make this ultra-simple,
the most primitive form of telling how I feel: “I love you”.

And I love being with you! I love your giggle, your silly grin, your energetic story-telling (with your hands waving aroud), your sharp bitchiness. I love our awkwardness when our hands meet, and the fact we act it cool. Oh and I love the way you walk, the way you dance, the way you sing (God, the way you sing make angels sound like Doraemon!) and how you apply your personality in a paste. I love the look in your eyes when you showed me your photos, those reflective eyes, longing for perfection, filled with deep thoughts and ambitions. The ambitions that I share. The way of thinking that I understand. The unconventional person, you are. You are the odd-shaped jigsaw puzzle that I’m looking to fit. And you completed me.

Thus, when they ask me: why do you love him?
I can safely say: what is not to love?

So, I am welcoming you to my life.
Now, let’s do this together, love. 

PS: There. The first rule of blogging: write what you feel. Safely done. No insects involved.



Source: here