09 September 2011

(Per)jalan(an)


Mengapa engkau berdiri angkuh di atas sana?
Hingga aku harus menengadahkan kepalaku
Hanya untuk sekedar menampar tipis
Yang seperti beberapa mili di depanku

Tapi aneh,
Aku tak mampu menjangkaumu.

Di lain hari aku mencoba
Memanjat tebing ini, dimana kakimu berpijak

Dan setiap selangkah aku berhasil menapak
Terlihat engkau seperti ke atas pula

Entahlah,
Kepalamu hampir menyentuh biru yang terluka.

Disana engkau terlihat semakin angkuh
Tawamu mengisyaratkan ejekan

Detik berikutnya, langkahku melemah
Tersadar aku pada transparansi dunia
Semua begitu jelas, tapi aku menendangnya
Melompat dan mencoba tak melihat
Kembali menapak pelan _ jatuh

Selang waktu aku lupa dengan kokohnya dirimu
Jauh di atas sana, tak tersentuh...
Menyempurnakan nafasku untuk tergugah
Melihat ke bawah, dan heiii
Aku menemukannya!

Sendangsono, 26 Agustus 2011, sebuah refleksi.

Gadis Pantai: Gambaran Posisi Perempuan Dalam Dunia Kepriyayian Jawa

Sebuah resensi novel karya Pramoedya Ananta Toer



Pramoedya Ananta Toer selalu berhasil mengubah persepsi seseorang akan suatu cerita. Yang beliau ceritakan bukanlah cerita dengan banyak istilah ilmiah, atau cerita dengan bahasa tingkat tinggi yang sulit dicerna. Hanya roman, cerita yang ditulis dengan sudut pandang berbeda. Tentang Gadis Pantai, gambaran kehidupan masyarakat pesisir kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Gadis Pantai hanyalah gadis berumur empat belas tahun. Tidak bernama. Kulitnya langsat, tubuhnya kecil mungil dengan hidung kecil dan mata setengah sipit, yang dengan mudah membuat para pembesar jatuh hati. Ia adalah gambaran kembang desa nelayan di seluruh pantai keresidenan Jepara. Kehidupannya sehari-hari sama dengan para gadis pantai lainnya. Ia bermain di pantai bersama teman-temannya, menunggu para nelayan berangkat dan pulang melaut, membawa ikan hasil tangkapan, dan mengolahnya untuk dijual kembali. 

Suatu hari datanglah utusan dari kota. Utusan itu tinggal beberapa hari di kampung, dan pada hari ketiga dibawalah Gadis Pantai beserta Lurah Desa dan sanak keluarganya ke kota. Gadis Pantai telah dinikahkan dengan sebilah keris, yang merupakan wakil suaminya - seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Seorang pembesar yang disebut Bendoro.

Gadis Pantai dan keluarganya dibawa ke rumah besar tempat Bendoro tinggal. Tubuhnya diselimuti kain sutra halus dan perhiasan-perhiasan yang tak pernah ia kenakan sebelumnya. Wajahnya dipoles dengan bedak dan make up. Ia memakai alas kaki yang terbuat dari bahan berkualitas bagus. Tetapi ia sendirian. Keluarganya harus meninggalkannya untuk tinggal disana, karena sekarang ia adalah istri Bendoro.

Kehidupan di rumahnya yang sekarang sama sekali berbeda dengan kehidupannya di kampung nelayan dulu. Ada banyak aturan untuk setiap gerak-gerik. Harus begini, harus begitu, tidak boleh begini, tidak boleh begitu, kehidupan Gadis Pantai (atau yang sekarang disebut Mas Nganten) terkurung dalam rumah yang penuh dengan aturan. Seperti tikus dalam perangkap. Ia sendirian, tak berkawan, hanya ada bujang yang siap menemani dan melayaninya dua puluh empat jam penuh.

Kedudukan Gadis Pantai memang terangkat, begitu pula keluarganya di kampung nelayan. Kini ia adalah istri seorang pembesar santri setempat, dan istri seorang pejabat Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda. Tapi kedudukannya yang sebenarnya hanyalah sebagai Bendoro Putri, perempuan yang melayani “kebutuhan” seks laki-laki sebelum laki-laki tersebut memutuskan untuk menikah resmi dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.

Gadis Pantai tidur dengan pembesar itu, melayani semua kebutuhannya, membantu mengurus rumah dan memerintah di Komplek Keresidenan, paviliun, kandang-kandang, bahkan sebuah masjid. Ia memegang kendali di seluruh keresidenan tersebut. Termasuk ketika terjadi pencurian uang, ia harus merelakan bujangnya dikeluarkan dari residen dan digantikan oleh pelayan lain. Mardinah namanya. Umurnya sama-sama empat belas tahun, parasnya cantik, kulitnya mulus, dan ia janda. Hanya saja keberadaan Mardinah mengancam eksistensinya dalam rumah itu. Mardinah secara hierarkis memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Gadis Pantai. Ia adalah seorang anak juru tulis dan berasal dari kota. Berbeda dengan Gadis Pantai yang hanyalah anak seorang nelayan kampung. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Gadis Pantai belajar untuk mencurigai seseorang. Ia tak lagi lugu dan mempercayai semua kata-kata yang masuk ke telinganya. Ia mulai berhati-hati, terutama pada Mardinah.

Pada suatu waktu, Gadis Pantai pulang ke kampungnya di kampung nelayan sana. Dibawanya serta Mardinah atas perintah Bendoro. Namun keadaan di kampung sama sekali berbeda ketika Gadis Pantai datang. Ia kini dianggap sebagai “Ndoro”. Kebebasannya dirampas, dan ia sadar betul akan hal itu. Tidak boleh ikut melaut, tidak boleh memasak dan turun ke dapur. Hanya boleh duduk dan tiduran di dipan. Segala kebutuhannya dilayani dan dipenuhi. Bahkan oleh orangtuanya sendiri, yang tertunduk hormat pada anak gadisnya yang sekarang bukan milik mereka lagi.

Dan ia hamil! Ia mengandung anak Bendoro, anak yang kelak akan melanjutkan perjuangan Bendoro. Pernikahan itu memang membangkitkan prestise Gadis Pantai. Derajatnya naik dan ia “dipandang”. 

Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ketika Gadis Pantai melahirkan seorang anak perempuan, ia diusir. Anaknya ditahan dan tidak boleh dibawa bersamanya. Orang yang selama ini memilikinya, tega membuangnya begitu ia melahirkan anak perempuan.

Dalam usia yang begitu mulia, Gadis Pantai sudah kehilangan segalanya. Tidak punya suami, tidak punya rumah, tidak punya anak (karena anaknya diambil dari tangannya), tidak punya pekerjaan, bahkan ia kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Roman ini diceritakan dengan indah dan mempesona. Lewat roman ini, Pramoedya Ananta Toer, sekali lagi berhasil menunjukkan adanya praktek feodalisme Jawa yang tidak berperikemanusiaan. Melalui novel ini Pramoedya juga menuturkan realita yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Jawa pada era itu, bahwa kedudukan wanita dalam sebuah keresidenan yang megah dan terpandang, dengan embel-embel panggilan “Bendoro”, ternyata hanyalah sebuah ironi. Wanita hanya dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki yang dengan mudah didepak bila sudah tidak berguna lagi.

Sungguh ironis.

Independent-kah Kita ?

Dewasa ini peran perempuan sebagai salah satu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat sudah mulai diperhitungkan. Banyaknya organisasi yang menjunjung tinggi martabat perempuan sudah mulai marak di Indonesia. Munculnya aktivis-aktivis perempuan juga sudah mulai mencerahkan paham emansipasi wanita yang selama ini hanya kita anggap sebagai sebuah formalitas semata. Tak bisa dipungkiri bahwa gender kini bukan lagi sebagai penghalang kita, kaum perempuan, untuk bisa tampil di garis depan.

Namun pada kenyataannya, presentasi perempuan Indonesia yang menganggap diri mereka sebagai “perempuan independent” masih sangat minim bila dibandingkan dengan perempuan non independent yang jumlahnya sangat mengejutkan. Memang sangat ironis bila mengingat jumlah penduduk Indonesia yang majemuk. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, benarkah setiap perempuan mampu memaknai arti emansipasi yang telah diperjuangkan R.A Kartini sejak puluhan tahun yang lalu? Apakah genderisasi sudah benar-benar terhapus dari pikiran masyarakat kita?

Seorang perempuan bisa disebut independent bukan hanya didasari pada beberapa faktor keibuan saja atau jika dia bisa hidup berjuang sendirian tanpa tameng sesosok laki-laki. Namun yang paling penting jika perempuan itu berani menghadapi hidup dengan segala resiko yang akan ditanggungnya atas segala  keputusan yang telah ia ambil dalam menjalani garis hidupnya serta mampu mengubah pandangan negatif orang terhadap dirinya.

Contoh konkret dari seorang perempuan adalah seorang single mom, baik yang terjadi karena hasil dari ‘kecelakaan’ maupun bagi keluarga yang terpaksa harus kandas di tengah jalan. Secara kasat mata, yang pertama kali kita lihat biasanya dari aspek status sosial yang menggambarkan bahwa mereka-mereka ini adalah sosok yang kuat tanpa sosok laki-laki. Namun dibalik itu, ada hal yang lebih mendasar sehingga mampu menentukan sikap dan mengambil keputusan sendiri. Keberanian inilah yang menjadikan mereka menjadi sosok perempuan independent.

Lain halnya dengan kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka masih belum bisa mendapatkan hak-hak mereka, bahkan hak yang paling dasar sekalipun, salah satunya hak  untuk hidup. Mereka mengalami kekerasan fisik dan yang paling parah harus menghembuskan nafas   terakhir di tangan orang terdekat mereka. Ironis sekali. Di sisi lain, aktivis muda menyerukan emansipasi, namun di belahan dunia lain masih banyak perempuan yang belum mencicipi emansipasi itu sendiri.

Tak salah apabila ada anggapan bahwa di tangan wanita semua akan berjalan dengan baik. Namun yang patut diingat, untuk mewujudkan itu semua, seluruh lapisan masyarakat harus ikut berpartisipasi. Tak peduli apa jenis kelaminnya. Jadi secara tidak langsung laki-laki juga harus ikut andil.

Sudahkah kita menjadi perempuan independent?